1610. Kuasa Sebagai 'Komoditas'
01-03-2025
Kuasa sebagai komoditas bisa dihayati sebagai salah satu penampakan dari bentuk accumulation by dispossession: finansialisasi. Atau kalau memakai kata-kata Adam Smith, telah lenyap apa yang disebut sebagai famous sect itu. Atau kalau memakai sudut pandang Marx, sungguh banyak bagian dari ‘bangunan atas’ itu telah ‘menyerah total’ terhadap kekuatan determinan dari ‘basis’. Olah kuasa kemudian ada yang menghayati secara over-deterministik terkait dengan adanya sifat penentu dari relasi kekuatan-kekuatan produksi yang ada di basis. Tulisan ini lebih pada bagaimana itu ‘bekerja’ di dunia ‘pakta dominasi sekunder’ lengkap dengan para ‘penumpag gelap’-nya. Penumpang gelap yang sangat licik dalam memperkaya diri dan komplotannya dengan berselancar di atas gelombang over-deterministik di atas.
Penampakan vulgar sebagai pintu masuk bahasan adalah di jaman old, ketika disinyalir 30 persen ‘bantuan’ Bank Dunia (yang disetir oleh pihak-pihak yang bercokol di ‘pakta dominasi primer’) mengalami kebocoran. Dan, Bank Dunia nampak santai-santai saja. Perang Dingin saat itu dan lanjutannya itu bisa dimaknai juga beredar di ‘bangunan atas’, dan bagaimana ‘kekuatan pengetahuan’ atau katakanlah juga ‘kekuatan ideologi’ itu dilawan? Dengan uang, dengan segala kenikmatan yang dapat diperoleh dengan uang. Dalam ‘skenario’ seperti itulah para penumpang gelap terus saja bermunculan. Ingat ketika muncul rekaman pejabat dan salah satu anggota parlemen pada awal-awal tahun 2000-an terkait dengan bagaimana ‘menilap atau menggangsir’ bantuan untuk kontra-terorisme yang berasal dari bermacam sumber yang ada di ‘pakta dominasi primer’? Maka tidak hanya ketrampilan sebagai ‘penumpang gelap’ saja, tetapi terus berkembang juga sebagai para ‘pencipta monster’. ‘Monster-monster’ yang akan mendatangkan ‘bantuan’ dari pihak yang ada di ‘pakta dominasi primer’ untuk dibasmi, dan cerita selanjutnya akan selalu sama, bagaimana ‘bantuan’ itu akhirnya akan ramai-ramai digangsir.
Tidak hanya ‘bantuan’ dalam bentuk uang saja yang dibidik, tetapi juga dukungan bagi tegaknya rejim. Dengan mendapatkan dukungan dari ‘pakta dominasi primer’ ditambah dengan ancaman dari ‘monster-monter’ binaan itu, maka ugal-ugalan dalam korupsi-pun akan dibiarkan, persis seperti cerita 30 persen kebocoran bantuan Bank Dunia di jaman old seperti sudah disinggung di atas. Bahkan sekarang ada yang mengatakan kebocoran anggaran sudah sampai lebih dari 50 persen. Tetapi apakah ‘kekuatan uang’ itu akan berjalan dengan mulus-mulus saja tanpa dukungan dari ‘kekuatan kekerasan’? Perjalanan panjang manusia menunjukkan bahwa apa-apa yang ada di ‘bangunan atas’ itu sungguh bisa mempengaruhi ‘kekuatan uang’. Apalagi jika ada, katakanlah semacam: partai pelopor itu, suatu klaster yang dengan susah payah mampu ‘menjaga jarak’ dari kekuatan determinan ‘uang’. Maka di sini nampak strategisnya usulan Rizal Ramli dan Anies Baswedan dan juga banyak pihak lain supaya partai politik itu ‘dibiayai’ oleh negara. Maka tak mengherankan ‘kekuatan uang’ itu masih perlu dikawal oleh ‘kekuatan kekerasan’. Dan bahkan kadang tidak nampak lagi siapa mengawal siapa, tetapi jelas ada ‘persekutuan gelap’ atau ‘terang’ antara kekuatan uang dan kekuatan kekerasan. Antonio Negri dan Michael Hardt dalam Empire (2000) jelas menempatkan kekuatan uang dan kekuatan kekerasan itu sebagai satu ‘paket’ dalam bangunan Empire. Atau 25 tahun kemudian kita bisa lihat melalui pethakilannya Trump dkk itu. Dari hal-hal di atas maka segera nampak sedang terjadi holocaust terhadap ‘akal sehat’. Melaui bermacam rutenya, akal sehat kemudian terus saja dibiarkan dalam kondisi ‘stunting’. Bahkan jika ada kesempatan, dibunuh pelan-pelan. Brutal. *** (01-03-2025)
1611. BJ and the Cov.
03-03-2025
Boris Johnson akhirnya harus mundur dari kursi Perdana Menteri Inggris (menjabat: Juli 2019-September 2022) karena skandal ‘party-gate’. Skandal menyeruak ke publik karena ia bersama beberapa anggota Partai Konservatif menggelar pesta kecil saat pandemi COVID menggila. Jika dilihat dari pendapat Carl Schmitt se-abad lalu yang pernah mengatakan bahwa “sovereign is he who decides on the state of exception” maka pethakilannya BJ di atas memang menjadi sangat mengganggu. Pesta-hèpi-hèpi itu seakan terhayati khalayak sebagai keretakan kemampuan dalam membangun keputusan di tengah kedaruratan akibat pandemi. Mungkin saja masih jauh disebut sebagai ‘golf-gate’ ketika baru saja membuat heboh saat pertemuan dengan Zelensky di Gedung Putih beberapa hari sebelumnya, dan bersamaan adanya pertemuan pemimpin Eropa di Inggris terkait respon pertemuan tersebut, Trump justru hèpi-hèpi main golf di Palm Beach yang sekali mainnya seharga 3 juta dollar AS. Di tengah-tengah juga hebohnya soal efisiensi bermacam hal di AS sono. Atau bisakah kita bayangkan jika Ronald Reagen naik sebagai Presiden AS tahun 1980 tidak didahului dengan naiknya Thatcher sebagai PM Inggris di tahun 1979? Sejarah menunjukkan bagaimana erat-dekatnya perjalanan sejarah AS dan Inggris, dalam banyak aspeknya. Ketika neoliberalisme didorong semakin dominan, Thatcher mampu menampakkan diri sebagai apa yang disebut Adam Smith sebagai ‘famous sect’, sik-‘sekte agung’ yang mempunyai keutamaan lebih dari yang pada umumnya bergelut dalam ‘pasar’. Lebih, terutama dalam hal ‘tahu batas’.
Apakah hampir 50 tahun setelah Thatcher neoliberalisme mengalami transformasi menjadi neo-neoliberalisme? Ketika keserakahan menjadi sudah begitu tak terkendalinya? Dan soal kesejahteraan bersama -the wealth of nations, kemudian seperti diyakini oleh Adam Smith sebagai hal yang tidak ditujukan pada awalnya, tetapi sebagai ‘akibat sampingan’ saja dari sejahteranya individu-individu akibat dari mengejar kepentingan dirinya masing-masing? Dari bermacam peristiwa masa lalu, nampaknya pertanyaan apakah sejarah akan ‘ditentukan’ oleh hadirnya ‘orang besar’ yang mampu menangkap ‘ide-ide besar yang melayang-layang’ vs ruang penentu yang ada dalam relasi-relasi kekuatan produksi di ‘basis’ bisa saja sudah bukan hal dikotomis lagi. Tetapi dua hal yang menjadi berpengaruh karena ada dalam ketegangannya. ‘Keprimeran politikal’ dan ‘keprimeran ekonomikal’ itu ternyata saling berkelindan dalam ketegangannya. Paling tidak sebenarnya ini sudah bisa diraba dimana ‘partai besar’ yang mampu menangkap ‘ide-ide besar yang melayang-layang’ pagi-pagi sudah diintrodusir melalui ‘partai pelopor’, se-abad lalu.
Republik bertahun terakhir adalah bahan pelajaran berharga terkait dengan kesewenang-wenangan keserakahan itu. Ketika segala keserakahan -greed is good kata film Wall Street (1987), itu tidak hanya soal mengejar kepentingan diri lagi, tetapi juga telah mengkooptasi secara ugal-ugalan bermacam ‘bangunan atas’ termasuk dalam hal ini: politik. Bahkan tidak hanya politik, lembaga agamapun terus saja digoda dengan tawaran yang sungguh menggiurkan, mulai dari tambang sampai terlibat dalam bisnis SWF. Tak ketinggalan pula lembaga pendidikan. Puncak dari ‘rasio’ yang diperbudak oleh ‘hasrat’ itu semakin menampakkan dirinya saja. Politik negara kemudian dikelola secara kucluk-kucluk-an, penuh joget sana joget sini, asal mangap asal njeplak, dan apakah agama dan pendidikan juga akan bernasib sama? Akankah dalam upaya mensejahterakan warganya China akan menjadi model? Tetapi China akan menghukum mati para koruptornya! Dan tanpa itu tidak ada China yang seperti sekarang ini. Dan bagaimana setelah China semakin mantap di ‘pakta dominasi primer’ seperti sekarang ini? Akankah buku-buku tentang imperialisme juga harus dipelajari lagi? *** (03-03-2025)
1612. Korupsi di Era Disinformasi
05-03-2025
Kata Carl Schmitt se-abad lalu, konsep negara modern adalah sekulerisasi dari konsep teologi. Tetapi bagaimana jika ‘kitab’ negara modern penuh dengan disinformasi? Apapun itu, yang disebut dengan ‘modern’ itu juga lekat dengan hal ‘informasi’. Dari peristiwa masa lalu, bahkan yang dilihat oleh Carl Schmitt di atas (konsep negara modern) berkembang dengan pintu masuk ditemukannya mesin cetak massal oleh Johann Guttenberg di sekitar tahun 1450-an. Ben Anderson dalam Imagined Communities (1983) menguraikan banyak hal tentang dampak penemuan mesin cetak massal ini, termasuk juga apa yang disebutnya sebagai ‘kapitalisme cetak’. Selain juga tentu bagaimana di ujung sana kemudian muncul ‘komunitas terbayang’ itu.
Sebenarnya yang disebut ‘kitab’-nya negara modern bisa kita hayati sebagai buah dari kesepakatan-kesepakatan. Dengan kesepakatan-kesepakatan yang dimungkinkan untuk dimajukan maka apa yang dibayangkan oleh Hobbes sebagai state of nature itu bisa dihindari. Kesepakatan yang mungkin saja menampakan diri sebagai ‘dasar negara’ misalnya. Atau lainnya. Di balik hadirnya sebuah kesepakatan ada bahasa. Bahasa yang semakin berkembang ketika kaki depan dibebaskan dari fungsi berjalannya dan kemudian menjadi semakin mampu untuk melakukan gerakan-gerakan motorik halus. Ini akan memberikan stimulasi berkembangnya area otak yang bertanggung jawab terhadap kemampuan berbahasa. Bahasa verbal berkembang dengan sebelumnya ada bahasa isyarat. Bahasa kemudian tersimpan dalam bunyi-bunyian atau gerak, atau di atas batu, dinding gua, manuskrip, kemudian bisa diperbanyak melalui mesin cetak massal, dan kemudian sekarang secara digital. Hidup bersama seperti apa yang bisa dibayangkan ketika bahasa masih belum tersimpan di luar bunyi-bunyian atau gerak isyarat? Dan sesudah tersimpan dalam gulungan manuskrip yang serba terbatas itu? Bagaimana ketika sudah mampu menjangkau khalayak kebanyakan melalui proses cetak dan digital?
Ketika intersubyektifitas masih dalam lingkar terbatas dan digabungkan adanya ‘monopoli informasi’ di era oralitas dan manuskrip misalnya, segala kesepakatan diserahkan pada yang paling banyak memegang informasi, apapun itu disebut saat itu. Tetapi bagaimana ketika intersubyektifitas di café-café di Perancis sono jaman doloe itu dengan masing-masing sudah baca ini dan itu, termasuk ensiklopedia yang sudah dicetak dalam jumlah banyak? Maka horison masing-masing, sadar atau tidak, semakin dimajukan. Kesadaran kolektif juga berkembang. Dan ini kemudian juga akan meluaskan ‘ruang persepsi’, sehingga ketika fakta-fakta sekitar memberikan impulsnya, apa yang kita sadaripun akan terbangun dengan kemungkinan semakin luas. Sama-sama membaca buku A yang akan memberikan memberikan impuls pada kita, tetapi mungkin saja yang di-‘stabilo’ berbeda dari waktu ke waktu. Atau digambarkan oleh Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan sebagai ‘perbandingan’, sebuah pemandangan akan dilukis secara berbeda oleh pelukis dalam ‘modus’ mitis, ontologis, dan fungsionil.
Disinformasi akan selalu ada dari waktu ke waktu. Tetapi dalam ‘dunia Orwellian’ disinformasi dalam bermacam bentuknya seakan menjadi pilar dari tegaknya kuasa absolut. Seakan-akan hidup bersama dikelola melalui ‘manuskrip disinformasi’. Tidak usah jauh-jauh, republik bertahun terakhir seakan berlangsung dengan salah satu pilar utama adalah disinformasi ini juga. Maka ungkapan Abraham J. Heschel di sekitar 1960-an: “teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi bintang itu sendiri, tetapi teori tentang manusia akan mengubah manusia secara mendasar,” seakan sampai pada salah satu buktinya, bagaimana jika ‘manusia berkuasa’ meyakini diri bahwa ia berkuasa atas segala (dis)informasi? Bukankah kita bisa melihat bagaimana perilaku ‘pra-modern’ kemudian membesar? Katakanlah, potensi feodalismepun kemudian akan membesar juga, komplit dengan lingkaran para aristokratnya. Korupsipun kemudian menggila karena semua akan ‘selesai’ dengan olah (dis)informasi. Apalagi ada keyakinan bahwa ‘logika waktu pendek’ itu tidak hanya menerjang ranah media massa saja. Bahkan ‘kitab-manuskrip-disinformasi’ inipun akan menempatkan segala kesepakatan yang telah disepakati ada di bawah kendalinya. Semau-maunya. Diingkari, dirubah, dicabut dengan tanpa beban lagi. Dan bagaimana ketika bermacam ‘impuls’ yang berasal dari bermacam kekuatan produksi sampai padanya? Maka tidak akan aneh jika ia kemudian menjadi mudah-mudah saja untuk menyerap ketika bermacam kekuatan produksi itu juga semau-maunya dalam keserakahannya. Bahkan kemudian merasa itulah habitatnya. Ataukah memang pada dasarnya kekuatan produksi yang semau-maunya itu yang melahirkannya? Akankah sejarah berulang dengan kata kuncinya: revolusi? *** (05-03-2025)
1613. YMBBT
07-03-2025
“Tok, kok serius banget, lagi gawé opo?” Likwan takon nang Totok sing gèk ngadepi laptop kanthi serius. Ora main-main. Soré kuwi sak gerombolan nongkrong bareng nang cakruké Nyah Ndut.
“Nggawé konsep spanduk, Lik …” Jawab Totok karo tetep serius nang ngarep laptopé.
Kang Yos terus mlirik nang laptopé Totok, terus takon mergo penasaran: “YMBBT kuwi opo?”
“Ngko ono keterangané nang ngisoré Kang … Nganggo huruf cilik-cilik … Iki durung rampung …. Sabar-sabar ….”
“Cuk Bowo nyelo karo rodo gregeten: “Lha kuwi opi Toook ….”
“YMBBT Cuk?”
“Hè’èh Tok, lha opo manèh?!”
“Kuwi singkatan seko: Yang Mulia Bajingan-bajingan Tengik Cuk?
“Kok ora mung ‘bajingan’ Tok, kan luwih simpel …”
“Ora Cuk, saiki ‘bajingan tengik’-é wis beranak-pinak … Wis pecicilan nang endi-endi … Tanpa beban manèh Cuk ….”
Cak Babo nimbrung: “Ngono yo Tok …”
“Hè’èh Cak ….”
Mas Amir: “Kok nganggo tengik-tengik-an barang to Tok?”
“Soalé Mas ….” Totok mandeg sedhélok, njupuk ududé Likwan, terus lanjut jawab: “Soalé Mas …, cangkem karo silit wis ora ono bedané manèh …”
Nyah Ndut: “Omongan karo entut wis ora ono bédané Tok?”
“Hè’èh Nyah, persis ngono kuwi …..”
“Asu kabèh Tok?”
“Hè’èh Cuk, asu kabèh …”
“Terus dadi ‘republik asu’ kuwi ….”
“Ora Kang …., ‘republik entut’ …”
“Ngono yo Tok …”
“Hè’èh Cak …” (07-03-2025)
1614. Ora Daftar Nyah?
09-03-2025
“Ora ndaftar Nyah?”
“Ndaftar opo Cuk …?”
“Koperasi désa abang-ireng kuwi Nyah ….”
“Ora Lik …”
“Nopo ora ndaftar Nyah?”
“Kuwi kan asliné persiapan partai Cak …”
“Partai opo Nyah?”
“Partai politik …”
“Partai super-kucluk kuwi yo Nyah …”
“Ya’é Kang …. Terus kiro-kiro taktik-é bèn menang suk-suk-mbèn piyé carané yo Kang …”
Likwan sing jawab: “Beli suara Nyah …”
“Nyogok-serangan fajar, sebar dhuwit sebar sembako ngatur-ngatur KPU ditambah intimidasi seko sing duwé bedil yo Lik … Lha dhuwit seko ngendi …?!”
Totok cepet nyahut: “Seko dhuwit oplosan Nyah …”
“Ngono yo ... Oplosan bènsin kaé Tok …?”
“Ya’é ….” *** (09-03-2025)