1695. Kamera Kesayangan Penguasa

18-06-2025

Sering sik-penguasa kemana-mana menenteng sebuah kamera kesayangan, camera obscura. Camera obscura dipakai sebagai metafora oleh Marx tidaklah di ruang kosong, tiba-tiba saja mendadak demen dengan istilah camera obscura tersebut. Marx lahir-besar-dan meninggal di tengah-tengah kebrutalan kapitalisme abad 18-19. Pesannya mungkin bisa kita bayangkan: ketika sik-penguasa selalu menenteng camera obscura, maka itu sebenarnya mengindikasikan sedang terjadi hal brutal di ‘basis’.

Jika bicara soal ‘basis’ maka sebagian besarnya kita bicara soal ‘akumulasi’, soal ‘mencari rejeki’. ‘Akumulasi’ yang dalam ‘kapitalisme awal’ akan mendasarkan diri pada ugal-ugalannya menghisap ‘nilai lebih’. Jika bayang-bayang feodalisme masih lekat, maka tanah-pun akan disewakan juga, dalam hal ini ‘tanah kekuasaan’: jabatan. Rent seeking activities-pun berkembang dengan begitu ugal-ugalannya. Gelombang globalisasi pertama salah satu yang sampai ke republik adalah di masa penjajahan: UU Agraria 1870. Ada yang berpendapat dekade 1970-an adalah gelombang globalisasi baru, seiring naiknya paradigma neoliberalisme. Salah satu yang semakin menampakkan diri adalah volume perdagangan di pasar keuangan menjadi jauh melampaui volume perdagangan komoditas. Berangkat dari Konsensus Washington (1989), sepuluh tahun kemudian David Harvey melihat karakteristik akumulasi di era neoliberalisme itu sebagai accumulation by dispossession, dengan fitur-fiturnya: privatisasi, finansialisasi, manajemen/manipulasi krisis, dan terkait dengan state redistributions. Jadi bisa dibayangkan, ada hikayat rampok-rampokan di sini, di tingkat individu: rampok ‘nilai lebih’ buruh, rampok di pasar oleh ‘kucing-kucing gendut’ itu, dan rampok ‘nilai lebih’ negara. Dari pengalaman di banyak komunitas, negara-bangsa yang berhasil mengendalikan bermacam dimensi perampokkan inilah yang sebenarnya mampu meningkatkan kesejahteraan bersama secara berkelanjutan. Tidak mudah terkejut-kejut ketika kapitalisme mendadak krisis.

Tetapi fokus tulisan ini adalah soal kebrutalan di ‘basis’ dan demennya sik-penguasa akan camera obscura. Camera obscura terus saja ditenteng untuk menjungkir-balikkan realitas brutal di ‘basis’. Bahkan tidak hanya masa sekarang jadi bidikan, tetapi juga masa lalu dan masa depan. Sulitnya lapangan pekerjaan sekarang ini cukup dibuatkan ‘bazar lowongan kerja’, misalnya. Mengapa masa lalu dan masa depan juga terlibat dalam bidikan? Karena segala kenikmatan -bagi yang menikmati, brutalnya ‘basis’ ini tentu ada yang tidak mau kehilangan segala kenikmatan yang sudah dinikmati. Para perampok itu tentu maunya kenikmatan tanpa putus. Masalahnya ‘komunitas perampok’ ini mempunyai potensi besar untuk bertabrakan satu sama lain. Ruang rampok bisa-bisa dirasakan sudah tidak mampu menampung segala hasrat yang bergejolak. Maka apa yang dikenal sebagai imperialism itupun menggoda juga. Intinya, mengambil tata kelola di luar ‘habitat’nya secara sewenang-wenang untuk masuk dalam tata kelola dirinya. Beberapa fitur accumulation by dispossession seperti sudah disebut di atas pada dasarnya juga adalah bentuk imperialisme (baru). Apa yang sebenarnya merupakan ranah negara kemudian ‘dipaksa’ untuk dialih-kelola melalui privatisasi, finansialisasi, manajemen/manipulasi krisis, dan state redistributions. Lihat misalnya bagaimana Proyek Strategis Nasional itu jika dilihat dari kacamata state redistributions dalam konteks di atas. Atau kasus empat pulau di Aceh baru-baru ini. Dan juga tentu, bermacam yang terjadi di Papua, dan wilayah lainnya.

Ada hal besar dibalik penampakan rampok-merampok ini: keadilan-ketidakadilan. Dalam praktek, rampok-merampok inipun kadang sulit dibongkar karena adanya ‘teori’ yang berjilid-jilid, dari soal kebebasan, trickle-down effect, sampai efisiensi, misalnya. Munculnya istilah ‘efisiensi-berkeadilan’ dalam amandemen UUD 1945 bukannya tanpa perdebatan sengit. Ada perdebatan yang intens antara kubu efisiensi (Sjahrir, Boediono, dan yuniornya saat itu: SMI) dan kubu keadilan (Mubyarto dkk). Apakah istilah ‘efisiensi-berkeadilan’ adalah kompromi? Lalu bagaimana dalam praktek, sebab bagaimanapun juga itu adalah ‘perintah konstitusi’? Faktanya, selama lebih dari 20 tahun ekonomi lebih dikomandani oleh kubu efisiensi, bisa kita lihat dengan telanjang bagaimana ketidak-adilan semakin telanjang pula. Dan karena esensinya adalah rampok-merampok (yang berujung merebaknya ketidak-adilan), pada titik tertentu untuk mendukung imperalisme (baru) itu maka kekerasanlah yang akan memberikan back-upnya. Sejarah telah memberikan pelajarannya. Sejarah ‘spiral kekerasan’. Jika sudah sampai titik itu, sebaiknya kamera kesayangan itu disimpan lebih dulu. Lebih baik lagi, segera saja camera obscura itu tidak digunakan, sehingga darah tidak perlu mengalir. *** (18-06-2025)

camera obscura

1696. Menulis Ulang Masa Depan

20-06-2025

Delapan bulan terakhir rasa-rasanya adalah bulan-bulan yang menjengkelkan.

Peristiwa ulangan tiap lima tahun di republik pada dasarnya adalah untuk ‘menulis ulang masa depan’. Masa depan, paling tidak lima tahun ke depan seakan sedang ditulis ulang melalui janji-janji kampanye. Jadi sungguh salah kaprah jika peristiwa pemilihan itu dimaknai sebagai pesta (demokrasi) seperti di jaman old. Seribu persen salah kaprah. Tetapi mengapa istilah ‘pesta demokrasi’ ini bisa bertahan lama di jaman old? Tentu ada faktor ‘takut’-nya, tetapi lebih dari itu, kalau istilah ‘pesta demokrasi’ itu adalah sebuah ‘surface frame’ (Lakoff), ia bisa dengan mudah digantungkan karena ada ‘deep frame’-nya, yaitu: re-pelita. Repelita (rencana pembangunan lima tahun) dengan segala hikayat pembangunan-isme, stabilitas, dan tinggal landas-nya. Dongeng ‘massal’ di tengah-tengah puncak modus komunikasi man-to-mass via media cetak, film, radio, dan terutama televisi, serta adanya latar belakang Perang Dingin memang kemudian mempunyai potensi lebih besar untuk berhasil. Maka pemilihan umum sebagai pesta itu layaknya ‘libur kenaikan kelas’ saja untuk kemudian ‘naik kelas’ di repelita berikutnya. ‘Masa depan’ itu sudah jelas: ada di ‘sekolah’ tinggal landas yang akan lulus nanti pada lima repelita kemudian, jadi tidak usah ditulis-tulis ulang lagi melalui janji-janji kampanye. Rutenya ‘garis lurus’ yang sadar atau tidak mengingkari kemungkinan ‘patahan-patahan dialektis’.

Latar belakang Perang Dingin sedikit banyak telah ‘mengaburkan’ juga apa yang sebenarnya menjadi tantangan besarnya. Seakan bermacam tantangan besar itu tersederhanakan menjadi soal kita dan mereka dalam dunia yang memang sedang dalam situasi ‘bipolar’ itu. Yang sedang ada di ‘pakta dominansi primer’ itu akan ‘ikut-ikut saja’ selama masuk dalam kubu-polar mereka. Akhirnya yang terbangun adalah relasi patron-klien. Selama sik-klien memberikan ‘kewajibannya’ pada sik-patron maka perlahan sik-klien merasa bisa semau-maunya. Terlebih kemudian ia membangun sendiri relasi patron-klien di bawahnya juga. Jalur ABG di jaman old sedikit banyak menggambarkan bagaimana itu berjalan. Termasuk bagaimana upeti-setor kemudian melekat-erat di dalamnya. Rent-seeking activities pun kemudian merebak dimana-mana. Tak jauh-jauh amat dari dunia feodalisme jaman doeloe, hanya saja yang ‘disewakan’ sekarang adalah jabatan.

Paling tidak 10 tahun terakhir kita bisa melihat dengan mata telanjang bagaimana suasana feodalisme ini dibangun dengan tanpa sungkan lagi. Bahkan dengan segala pernak-pernik yang melekat pada tubuh. Vulgar. Maka tidak mengherankan bagaimana rent-seeking activities itupun berkembang secara ugal-ugalan pula. Imajinasi tentang ‘nobility obligate’ (noblesse oblige) yang semestinya lekat dalam jabatan publik pun melenyap dengan tanpa beban lagi. Seakan ugal-ugalannya dalam mencari kekayaan itu sungguh berpengaruh dalam perilaku. Apalagi perudangan-peraturan-hukum seakan ada di tangan ‘sik-raja’. Semau-maunya. Lupa bahwa ‘lanskap kejadian’ sudah berubah, paling tidak sudah bukan lagi di puncak modus komunikasi man-to-mass, tetapi di Jaman Informasi ini modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital-internet telah menjadi yang dominan. Kita melihat misalnya, bagaimana khasiat dari aksi para buzzerRp itu ternyata mempunyai waktu kedaluarsa yang pendek, jauh lebih pendek dari sakitnya luka-luka yang diakibatkan oleh perilaku yang sering sudah mirip binatang itu. Komunitas dimanapun, tentu mempunyai kemampuan untuk belajar (bersama).

Menurut Hobbes, kuasa tidak hanya soal hasrat yang akan dibawa sampai mati, tetapi juga untuk melindungi apa-apa yang sudah diperolehnya. Apalagi dalam konteks di atas, jika segala kenikmatan itu lebih diperoleh karena kuasa, dari ‘jualan’ kuasa, misalnya. Korupsi, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, pemburuan rente, dan banyak lagi ‘sanak saudaranya’. Inilah mengapa delapan bulan terakhir ini, meski sudah ganti pemerintah tetap saja nuansa menjengkelkan terus saja menggelayut lekat. *** (20-06-2025)