1605. "Biaya Kedaulatan" Sebagai 'Eksternalitas'? (1)

19-02-2025

Limapuluh tahun lalu (1974) buku Peter L. Berger Pyramids of Sacrifice: Political Ethics and Social Change terbit untuk pertamakalinya. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Piramida Kurban Manusia, tahun 1982 dengan penerbit LP3ES. Pesan utama dari buku itu mungkin dalam ranah ekonomi akan bersinggungan dengan konsep eksternalitas, terlebih dalam hal ini yang negatif. Kadang dalam perdebatan menjadi semakin tajam ketika dua eksternalitas ini, yang negatif dan positif berbenturan. Maka sangat tepat jika kemudian buku Peter L. Berger di atas mengkaitkan dengan soal etika meski tidak bicara soal ekonomi.

Jika ada investor membangun mall dan setelah jadi ternyata di depan pintu masuk terjadi kemacetan luar biasa -yang tidak ingin nge-mallpun ikut terdampak, maka kadang (kemacetan) itu disebut sebagai eksternalitas (saja). Dan kemudian lepas tangan. Tetapi bagaimana jika ‘eksternalitas’ itu tidak hanya membayang sebagai ‘piramida kurban manusia’ atau juga tingginya ‘biaya sosial’ tetapi juga mulai menyinggung soal ‘biaya kedaulatan’? ‘Piramida kemegahan-keuntungan properti’ misalnya, tidak peduli lagi ada ‘penumpang gelap’ yang perlahan mengancam kedaulatan negara. Kedaulatan yang doeloe dibayangkan dan diperjuangkan bisa untuk menghapus ‘biaya kemanusiaan’ dan ‘biaya sosial’ akibat dari penjajahan yang sangat bernafsu membangun ‘piramida kesejahteraan’-nya sendiri itu. Jaman now, bahkan ada ‘biaya planet’ yang semakin mahal saja dengan semakin menguatnya kedaruratan iklim.

Maka memang di sana-sini perjalanan manusia selalu saja akan bertemu dengan peristiwa di mana rasio diperbudak oleh hasrat, seperti dilihat oleh David Hume sebagai sebuah kemungkinan. Karena soal etika akan selalu lekat dengan timbang-menimbang, maka ketika rasio diperbudak oleh hasrat, etikapun akan tertekan. Kejahatan hasrat akan dengan mudah menemukan tandemnya, kejahatan logika, meminjam istilah Albert Camus. Bermacam logika akan (di)jungkir-balik(an), termasuk di sini logika penyidikan dan logika hukum, misalnya. Juga soal dis-informasi dengan segala olah emosinya, baik oleh buzzer-buzzer atau yang sedang main ‘ideologi-ideologian’. Sok NKRI harga mati, tetapi di balik itu ada kejahatan hasrat yang tidak pernah padam, misalnya. Atau tudang-tuding terkait radikalisme untuk menyembunyikan radikalnya kejahatan hasrat yang digendongnya. Tak mengherankan muncul pula para spesialis ‘pencipta monster’ komplit dengan ketrampilan ‘how to train your monster’-nya. *** (19-02-2025)

1606. "Biaya Kedaulatan" Sebagai 'Eksternalitas'? (2)

20-02-2025

Istilah eksternalitas diperkenalkan pertama kali oleh ekonom Inggris Alfred Marshall dalam bukunya Principles of Economics, tujuh tahun setelah Karl Marx meninggal.[1] Istilah ‘akumulasi primitif’ di tangan Marx kemudian menjadi salah satu tinjauan kritisnya, dan ternyata di belakangnya tidaklah berlangsung damai-damai saja. Godaan terjadinya eksploitasi menjadi sangat menggoda bagi pemilik modal. Juga buruh semakin terasing dari hasil-hasil kerjanya. ‘Piramida’ berkembangnya modal itu ternyata melahirkan biaya-biaya kemanusiaan dan sosial yang tinggi. David Harvey di sekitar pergantian abad lalu dalam tinjauannya terhadap neoliberalisme mengajukan perkembangan dalam akumulasi: accumulation by dispossession, dengan fitur-fiturnya: privatisasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, dan terkait dengan state redistributions. Apakah keempat fitur itu akan ada jika negara tidak ada? Dalam banyak halnya, accumulation by dispossession ini merupakan ‘kelanjutan-bablasan’ dari Washington Consensus era 1980-an. Meski neoliberalisme akan lekat dengan paradigma ‘ultra-minimal state’ (melalui salah satu ‘anjuran’ Washington Consensus, deregulasisasi), tetapi jika menyangkut akumulasi maka keempat fitur accumulation by dispossession di atas justru akan lekat dengan peran negara. Untuk kepentingan akumulasi maka negara boleh menjadi ‘ultra-maksimal’, bahkan kalau perlu menjadi fasis.

Atau bisa dibayangkan juga ketika negara sebagai satu entitas ‘organik’, ada yang sedang sibuk merampok ‘nilai lebih’-nya melalui kemampuan negara dalam ‘memproduksi’ kebijakan dan monopoli penggunaan kekuatan kekerasan. Maka negara kemudian dieksploitasi, dari segi state redistribution soal pajak, misal melalui tax holiday yang berulang-ulang itu, atau soal kekayaan alamnya, dari tambang, hutan, bahkan tanah dan airnya. Perampokan melalui jalur finansialisasi sungguh sudah berulang dan berulang dengan nilai yang sudah sulit dibayangkan, dari puluhan triliun, ratusan triliun, dan sekarang sedang mengincar ribuan triliun melalui sok-sokan gegayaan mendirikan sovereign wealth fund itu. Rusak-rusakan. Gelap. *** (20-02-2025)

[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Externality

1607. "Biaya Kedaulatan" Sebagai 'Eksternalitas'? (3)

20-02-2025

Apa yang dibayangkan ketika pengusaha Donald Trump mengusulkan Gaza akan dibuat menjadi Riviera-nya Timur Tengah? Tiba-tiba saja narasi pengusiran dua juta warga Palestina keluar Gaza ikut-ikutan menyeruak. Atau ketika pengusaha Donald Trump mengajukan usul penghentian perang Ukraina-Russia dengan salah satunya menyebut sebaiknya daerah yang sudah dikuasai Russia tetap jadi milik Russia, apakah dibalik itu ada maksud bisnis rare mineral? Atau lainnya? Terdampaknya sebuah kedaulatan seperti dicontohkan di atas akankah hanya sebagai ‘konsekuensi yang tidak ditujukan pada awalnya’ ketika akumulasi keuntungan membayang di depan mata? Bagaimana dengan masalah Rempang, atau PIK-2, di republik? Yang narasinya akan dibuat seperti Singapura itu? Ataukah kita semakin melihat bagaimana penampakan Empire seperti dibayangkan Negri dan Hardt di awal abad ini? Tetapi apapun itu, ibu-pertiwi sedang menanggung beban berat collateral damage dari keserakahan yang sudah tanpa ujung itu. Dari sejarah kita bisa belajar bahwa situasi seperti ini salah satu ujung yang perlu diper-hati-kan dengan sungguh-sungguh adalah: perang. Perang dalam arti yang sungguh telanjang, hancur-hancuran, berdarah-darah, saling tikam saling bunuh. *** (20-02-2025)

1608. Crossing the River by Touching the Stones

22-02-2025

Judul adalah salah satu ungkapan terkenal dari Deng Xiaoping saat membawa China merubah-menggeser diri. Tetapi ungkapan itu sebenarnya sudah ada sejak tahun 1950 dari salah satu petinggi Partai Komunis China. Yang dimaksud adalah ada batu-batu di dasar sungai, dan ketika kita berdiri di satu batu, stabilkan diri sebelum melangkah ke batu selanjutnya saat berupaya menyeberangi sungai. Tetapi kita bisa menghayati juga bahwa itu tidak sekedar batu, tetapi ada batu-batu yang licin juga. Kadang gagap-gagap juga dalam menginjak batu mana yang akan dipilih, atau hati-hati sehingga tidak terpeleset. Tetapi apapun itu, Deng Xiaoping memang sedang membawa China di tengah-tengah ‘sungai’ yang semakin bergejolak: naiknya neoliberalisme yang diusung oleh Thatcher dan Reagan saat itu. Yang ‘diuji-coba’ dulu di Chile diawali dengan Operasi Djakarta. Arief Budiman dalam disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul Jalan Demokrasi ke Sosialisme, Pengalaman Chile Di Bawah Allende (1986) menceritakan dengan baik sekali tentang Operasi Djakarta ini. Maka tak mengherankan jika cover buku David Harvey A Brief History of Neoliberalism (2005) ada juga gambar diri Deng Xiaoping. Apakah jika memakai kacamata Barat, dasar dari crossing the river by touching the stones itu adalah sikap prudence? Sebagai keutamaan (virtue), ada yang mengatakan bahwa keutamaan prudence itu adalah ibu dari keutamaan-keutamaan lain. Bertahun terakhir nampaknya memberikan pelajaran berharga tentang itu. Bagaimana ketika keutamaan prudence semakin melenyap maka keutamaan-keutamaan lainnyapun seakan kehilangan induk sehingga menjadi tertatih-tatih. Seakan tanpa arah juga.

Jika kita melihat China sekarang sebagai buah-hasil-kerja-keras dari salah satunya sikap crossing the river by touching the stones, bagaimana dengan republik yang paling tidak selama 10 tahun terakhir crossing the river dengan begitu ugal-ugalannya? Sama sekali keutamaan prudence itu tidak nampak. Dari yang paling mudah dilihat, laku asal mangap, asal njeplak, gegayaan-sok-sok-an, terjadi dengan tanpa beban secara berulang dan berulang, sampai dengan ugal-ugalannya bermacam proyek, komplit dengan korupsinya. Semau-maunya. Seakan malah sedang berlomba menuju dasar, menuju ‘negara gagal’. Mengapa sedemikian ‘nekadnya’? Nampaknya dan semakin menampakkan diri sebenarnya, adanya Plan B, yaitu negara akan dipecah-pecah, devide et impera. Bandul jam itu ternyata seakan sedang menuju pada satu bentuk kolonialisme baru, dengan satu kemungkinan lanjutannya adalah akan terbentuk negara-negara baru. Sangat berbeda dengan republik yang dikenal sekerang ini. Sungguh kerakusan yang sudah sulit dibedakan lagi dengan kerakusan penjajah jaman doeloe itu. *** (22-02-2025)

1609. Watak Khianat

28-02-2025

Wajar ketika ‘revolusi mental’ dibicarakan bahkan dijanjikan lebih dari sepuluh tahun lalu kemudian mendapat sambutan sangat positif. Jauh di lubuk hati ‘kolektif’ sono nampaknya memang ada keinginan terbangunnya tidak sekedar ‘kosmos’, tetapi ‘kosmos’ yang berkualitas. Sayangnya sepuluh tahun kemudian ternyata faktanya adalah ‘revolusi mental ndas-mu’. Yang menampakkan diri ternyata adalah ‘watak khianat’ yang bahkan sadar atau tidak terus saja dipuja. Tentu banyak yang akhirnya sadar, tetapi apapun itu kerusakan besar dalam hidup bersama telah terjadi. Karena ternyata ‘watak khianat’ itu seakan menjadi pelumas-pelicin sehingga tutup ‘kotak pandora’ menjadi lebih mudah terbuka. Menjadi semakin lebar saja terbukanya. Bermacam kejahatan itu seakan semakin tanpa beban lagi keluar sarang dan menari-nari di depan publik. Contoh bangsat yang baru hangat-hangatnya: pertamax oplosan.

Dengan semakin berkembangnya studi tentang mirror-neuron system maka peran penting dari para elit-pemimpin dalam hidup bersama semakin penting saja. Bahkan sebelumnya Rene Girard dalam ‘teori segitiga hasrat’-nya sudah menandaskan pentingnya modus meniru ketika seseorang menghasrati sesuatu. Sebelumnya Arnold J. Toynbee juga menandaskan modus meniru dari khalayak kebanyakan terhadap langkah-langkah ‘minoritas kreatif’ dalam merespon bermacam tantangan. Atau jauh sebelumnya sudah ada istilah band-wagon effect dalam politik.

Tetapi soal ‘tiru-meniru’ ini nampaknya tidak sesederhana kita bayangkan, paling tidak jika kita ingat tentang ‘psikologi perjumpaan kebudayaan’ menurut Toynbee (1953) yang diterjemahkan Mangunwijaya dan dimuat dalam Teknologi dan Dampak Kebudayaannya (1987, hlm. 78-90), dimana sinar budaya yang ‘tinggi’ justru akan sulit menembus, dan sebaliknya sinar budaya bernilai ‘rendah’ justru akan sedikit resistensinya. Katakanlah jika ingin ‘meniru’, bisa-bisa ‘yang enak-enak’ pertama-tama yang dipilih. Pembiasaan pastilah akan menapak jalan panjang dan terjal, terutama untuk hal-hal ‘baik’. Tetapi sebaliknya, bahkan kebiasaan baik bisa-bisa akan mudah hancur oleh menyebarnya kebiasaan-kebiasaan buruk yang memang ‘mengenakkan’.

Maka ketika (terlebih) dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), adanya watak khianat dalam diri pemimpin akan sungguh merusak. Ketika khianat seakan sudah menjadi banal, sungguh seakan sedang terjadi holocaust terhadap bermacam ‘hal-hal baik’. Apa yang disinyalir oleh Wilhelm Reich seorang pengikut Freud di tengah-tengah naiknya Nazi, bahwa fasisme itu akan bisa merekah ketika eksploitasi it, eksploitasi ‘ketidak-sadaran’ maju sebagai ujung tombaknya. Rasio, akal sehat akan tertekan. Banality of evil yang disebut Hannah Arendt itupun kemudian merebak di tengah-tengah ketidak-berpikiran. Akhirnya yang sudah diingatkan David Hume bahwa ada potensi besar rasio diperbudak oleh hasrat menjadi kenyataan.

Ketika khianat sudah menjadi watak, sudah menjadi karakter, pada dasarnya adalah bagian dari pemujaan pada ‘jalan gampang’. Tentu dalam politik tidaklah steril dari peristiwa khianat, tetapi ketika menjadi watak? Ketika semua hal di taruh di atas meja khianat? Itulah pelajaran berharga bertahun terakhir, bahkan republikpun sudah ditaruh di atas meja khianat! Ketika ‘jalan gampang’ sudah menjadi hal banal di sana-sini, maka yang dipertaruhkan adalah peradaban. Karena seperti sudah disinggung di atas terkait dengan ‘minoritas kreatif’, peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon (oleh minoritas kreatif). Respon terhadap tantangan pastilah bukan ‘jalan gampang’ karena hanya tantangan yang kuat saja yang akan mengembangkan peradaban. Dan tantanagan yang kuat pastilah membutuhkan jalan sulit dan terjal dalam membangun responnya.

Bahkan yang mempunyai potensi berkembang sebagai ‘minoritas kreatif’-pun justru disingkirkan. Contoh salah satunya, Tom Lembong. Rusak, rusak-rusakan. ‘Orang (yang katanya baik) itu’ memang pada dasarnya hanya merusak saja. Bertahun-tahun hanya merusak republik dengan ‘watak khianat’-nya. *** (28-02-2025)