1665. Dari 'Budaya Bisu' ke 'Budaya Mbudeg'? (2)

10-05-2025

Yang dimaksud dengan ‘budaya mbudeg’ adalah lebih pada kalangan ‘pemimpin’. Dan jelas itu bukan di ranah rejim demokrasi, karena esensi dari demokrasi adalah ‘mendengar’ -terutama suara dari demos, termasuk ketika ada suara kuat untuk pergantian pimpinan melalui pemilihan umum, misalnya. Mbudeg di kalangan pemimpin merupakan ‘pilihan’ di era Revolusi Informasi karena dengan berkembangnya modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital internet terlebih dengan berkembangnya sosial media ‘suara’ bisa-bisa menjadi sesuatu yang bertubi-tubi. Tentu bermacam ‘suara’ akan lebih muncul di era Revolusi Informasi ini, tetapi bukannya dengan segala dukungan dari bermacam apparatus yang dibiayai pembayar pajak untuk menunjukkan kemampuan selektif-antisipatif-nya, ada model kepemimpinan yang malah memilih: mbudeg.

Dengan semakin meningkatnya kemungkinan satu dengan yang lain saling tahu apa yang menjadi sentiment masing-masing, dan dialog menjadi semakin lebih dimungkinkan maka di era modus komunikasi mass-to-mass ini ‘budaya bisu’ memang perlahan akan semakin terkikis. Tetapi benarkah ‘retorika digital’ (dan juga ‘retorika cetak’) akan menggantikan ‘retorika oral’? Mengapa Australia (dan Brasil), dan mungkin komunitas lainnya, melarang sosial media bagi anak-anak mereka? Atau paling tidak di rentang waktu kegiatan sekolah? Atau lihat di salah satu restoran di Australia sampai-sampai mau memberikan diskon jika semua smart-phone dimatikan saat di meja makan. Nampaknya ada ‘harta karun’ yang tak tergantikan dalam peristiwa kontak tatap muka, face to face. Apapun itu. Tetapi fokus tulisan ini salah satunya adalah ‘budaya bisu’, adakah di era Revolusi Informasi ini?

Ketika kesadaran magis itu mengalami keretakan dan mulai terbuka kesadaran naif yang semestinya mempunyai potensi besar untuk menjadi kesadaran kritis, menurut Paulo Freire ada kemungkinan kesadaran kritis tidak serta merta merekah karena kesadaran naif terutama di kota-kota besar saat Paulo Freire menulis tentang hal tersebut, justru yang berkembang adalah fanatisme. ‘Kesadaran fanatik’ ini, apa bedanya dengan ‘budaya bisu’? Kedua-duanya sama-sama tidak mampu berdialog. Bagaimana fanatisme ini bisa berkembang di era merebaknya sosial media? Banyak penjelasan mengenai hal ini, tetapi paling tidak terbongkarnya Skandal Cambridge Analytica yang melibatkan bocornya data pribadi pengguna Facebook di sekitar tahun 2014-2016 saat kampanye Trump untuk periode pertamanya itu bisa memberikan gambarannya. Potensi merekahnya kesadaran kritis itu ternyata bisa juga dibajak di era Revolusi Informasi ini. Bahkan propaganda-pembajakan terjadi sampai pada ruang-ruang yang sungguh privat sifatnya. *** (10-05-2025)

1666. Kepalsuan Sebagai Tantangan

11-05-2025

Pada dasarnya tulisan ini merupakan ‘pengembangan’ dari tulisan Machiavellisme Sebagai Tantangan[1]. Dikembangkan karena tidak hanya machiavellisme itu salah satu sisi gelapnya adalah ‘penuh tipu’, tetapi justru di era Revolusi Informasi ini yang palsu-palsu itu bahkan bisa sangat mudah dibuat. Yang tipu-tipu bisa saja melenggang sambil pecingas-pecingis, tanpa beban. Dan tetap merasa diri sebagai yang terhormat. Hari-hari ini tidak hanya merupakan revolusi informasi, tetapi juga revolusi dis-informasi.

Menurut Arnold J. Toynbee, bagaimana peradaban berkembang akan sangat dipengaruhi adanya tantangan dan respon. Jika kita melihat bagaimana komunitas-komunitas berhasil meningkatkan kesejahteraan warganya sekaligus mampu membangun peradabannya, nampak bahwa keberhasilan itu karena juga menempatkan machiavellisme sebagai tantangan. Kita bisa kagum akan tindakan pengunduran diri seorang menteri di Jepang karena keselip lidah terkait bias gender, tetapi apa sebenarnya di belakang tindakan itu? Bukankah itu juga penampakan dari kemampuan membangun respon terhadap machiavellisme yang salah satunya mengatakan bahwa ‘pangeran yang bertahan itu yang mampu menipu dan bertindak tidak terhormat’? Jika respon terhadap machiavellisme yang terhayati sebagai tantangan itu mengalami ‘pelembagaan’ maka ia akan membayangi lekat ranah politik misalnya. Dalam teori tindakannya Pierre Bourdieu, tindakan akan dipengaruhi oleh capital, habit, dan ranah (field).

Di republik paling tidak sepuluh tahun terakhir, semakin meyakinkan bahwa semestinyalah machiavellisme itu ditempatkan sebagai tantangan. Tidak hanya karena yang palsu-palsu akan mendorong terjadinya ‘spiral kepalsuan’, tetapi dalam jangka pendeknya bisa-bisa memberikan efek kejut yang sungguh dahsyat akibat dari logika ‘sandera kasus’. Dan perlahan ranah politik kemudian dibayangi lekat oleh logika-aturan ‘sandera kasus’ ini. Bukannya kehormatan seperti contoh pejabat publik di Jepang di atas. Ada dua konsekuensi dari permainan ‘sandera kasus’ ini -apa saja kasusnya, dari korupsi sampai soal perkontholan dan pertempikan: bagi si-tersandera, ia menjadi mau melakukan apa saja asal skandal kasusnya tetap aman. Apa saja. Bagi si-penyandera, perlahan ia bisa ‘termakan’ oleh ‘kemampuan’-nya dalam menyuruh si-tersandera untuk melakukan apa saja. Berulang dan berulang. Perlahan ia merasa diri sebagai ‘tuhan’ saja, dan jadilah ia: semau-maunya. Dengan tanpa beban lagi. Dan peradaban seperti apa yang akan berkembang di atas dataran ‘semau-maunya’ itu?

Hampir semua tantangan adalah ‘di luar kendali’ kita. Sedang yang ada dalam ‘kendali’ adalah bagaimana respon kita terhadap tantangan tersebut. Selalu saja akan ada hoax, akan ada yang palsu-palsu beredar, selalu saja akan ada dis-informasi, seakan itu di luar kendali kita. Maka yang penting bukanlah meratapi adanya yang gelap-gelap itu sambil mengutuknya, tetapi adalah apa respon kita? Apakah respon terhadap hal tersebut adalah ‘menormalkan’ saja? Atau dengan tanpa lelah melawannya? Tentu akan ada pihak yang demi untuk selalu masuk dalam ‘pemberitaan’ di wilayah publik -apapun keuntungan yang diperolehnya, dengan terus menerus membuat kontroversi. Ada ‘artis’ yang kayaknya bisa menjadi prototype laku seperti ini. Tetapi bagaimana kalau ‘artis’ itu mempunyai kemampuan menggerakkan yang pegang senjata? Atau mempunyai capital tinggi (bourdieuan) dalam ranah politik negara? Dan yang membuat kontroversi itu soal yang palsu-palsu itu? Sekali lagi, perilaku itu bisa-bisa di luar kendali kita. Maka, apa respon kita? Karena yang dipertaruhkan jangka panjangnya adalah peradaban maka membongkar yang palsu-palsu itu adalah juga ‘tugas peradaban’. Kewajiban yang mesti diemban demi anak-cucu kita. Respon yang mesti dibangun tanpa lelah sehingga akan ‘ditiru’ oleh siapa saja dan kapan saja ketika menghadapi yang palsu-palsu di ranah negara. Yang sedang dibangun adalah juga satu set ‘peraturan’ main di ranah politik negara.

Lebih dari dua ribu tahun lalu, bagaimana jika kaum Sofis tidak dilawan dan tidak dikritik dengan tanpa lelah oleh Platon? *** (11-05-2025)

[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulsn-115 No. 1646