1630. Supremasi Sipil Bukan Cek Kosong

28-03-2025

"Ketika saya memberikan makanan kepada orang miskin, mereka menyebut saya seorang santo. Ketika saya bertanya mengapa orang miskin tidak mempunyai makanan, mereka menyebut saya seorang komunis." - Uskup Dom Helder Camara (1909 - 1999), salah satu tokoh Teologi Pembebasan.

Perkara ‘santo’ atau ‘komunis’ bukan fokus tulisan ini, tetapi adalah perkara ‘bertanya’. Mengapa ‘bertanya’? Dari banyak sumber, ‘bertanya’ adalah juga ‘kontra-kedunguan’ yang paling mendasar. Mangunwjaya dalam bayangan ‘pendidikan alternatif’-nya juga menempatkan soal ‘bertanya’ menjadi salah satu pondasi. Mengapa ‘kontra-kedunguan’ layak disebut? Karena ‘kedunguan’ banyak diyakini sebagai salah satu ‘penghancur peradaban’ yang bisa saja beroperasi dalam ‘senyap’. Tahu-tahu kerusakan seakan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Rusak-rusakan kronis.

Tetapi apa itu ‘kedunguan’, stupidity? Ini bukan soal berapa IQ-nya, bukan pula soal dikotomi bodoh-pandai, tetapi dalam hal ini lebih soal ‘kemalasan untuk berpikir’. Terkait dengan ‘kemalasan untuk berpikir’ ini mungkin bisa semakin jelas dari kutipan John F. Kennedy saat pidato di depan Universitas Yale, 1962: The great enemy of truth is very often not the lie--deliberate, contrived and dishonest--but the myth--persistent, persuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.”

Tetapi soal ‘kedunguan’ ini sebaiknya kita hati-hati dalam melihatnya. Dalam konteks peradaban seperti disinggung di atas, gangguan ‘kedunguan’ yang mengakibatkan retaknya peradaban dari bermacam peristiwa masa lalu nampaknya telah memberikan banyak pelajaran, itu lebih karena ‘orkestrasi’-nya. Di bagian akhir abad 19, Gustave Le Bon telah menunjukkan bagaimana atau apa keluaran ketika kedunguan di ‘orkestrasi’ dalam kerumunan. Atau pendapat Wilhelm Reich terkait dengan naiknya fasisme karena eksploitasi ketidak-sadaran, id. Atau, menjadi apakah jika demokrasi mengalami pembusukan? Ada yang mengatakan menjadi mob-rule. Di balik istilah mob-rule ini sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari ‘kedunguan’ yang terorkestrasi dalam mob. Maka secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa ‘kedunguan’ adalah ‘musuh’ demokrasi.

Tetapi dalam rejim demokrasi mau tidak mau akan bertemu juga dengan peristiwa berkerumunnya warga negara. Bahkan bisa juga penuh dengan orkestrasinya, pada kampanye di rentang peristiwa pemilihan. Nampaknya di Jepang, tanpa mengurangi apa yang menjadi esensi demokrasi, orkestrasi kerumunan ini mendapat perhatian penuh dengan bermacam pembatasan. Paling tidak ada aturan ketat terkait segala pamphlet yang disebar saat masa kampanye itu. Tempat-tempat khusus disediakan, di luar itu dilarang tempel atau mendirikan pamphlet, misalnya. Sebab bagaimanapun tebaran pamphlet itu akan juga mempengaruhi ‘psikologi kerumunan’, langsung atau tidak. Atau lihat ketika mantan PM Abe kampanye untuk partainya yang kemudian ia ditusuk itu, massa yang berkumpul tidaklah terlalu banyak. Mungkin masa lalu telah memberikan pelajaran berharganya, bagi warga Jepang.

Ada yang perlu sungguh diperhatikan terkait hal-hal di atas, yaitu ketika kampanye menjadi bablas masuk ke rentang setelah peristiwa pemilihan yang sebenarnya sudah berakhir. ‘Logika’ kampanye saat ‘memperebutkan’ kekuasaan itu bablas saja terus ‘dinikmati’ saat ‘penggunaan’ kekuasaan. Terlebih dalam orkestrasinya kerumunan. Bahkan ada yang lebih kucluk lagi, sudah mantan-pun masih main-main dengan logika ‘kampanye-kampanye’-an di banyak kesempatan dalam kesehariannya. Akibatnya? Bisa-bisa orkestrasi ‘kedunguan’ yang digendong oleh kerumunan itu akan memberikan ‘umpan balik’-nya. Bahkan bisa terjadi ‘spiral kedunguan’ yang akhirnya ketika ‘yang di atas’ semakin percaya diri terkait ‘kedunguannya’. Sebenarnya sebagian besar hidup memang dijalani dengan ‘kedunguan’ dalam arti ‘malas berpikir’ atau lebih banyak dalam rute without the discomfort of thought jika memakai istilah JFK di atas. Bukan karena berhadapan-termakan dengan/oleh mitos, tetapi karena taken for granted saja. Maka ketika individu-individu itu masuk dalam kerumunan, memang sudah membawa ‘potensi-kebiasaan malas berpikir’. Tinggal tunggu ‘katalis’ saja maka ketidak-berpikiran itu akan cepat merebak-menular.

Supremasi sipil bukan cek kosong seperti pada judul dimaksudkan bahwa untuk benar-benar bisa dipraktekkan, ia harus punya ‘rekening’ yang cukup. Supremasi sipil tidak akan lepas dari proses pemilihan karena ‘yang terpilih’ itu memang berbeda dari yang lain, misal dari ranah militer. Pemimpin ranah militer tidak akan pernah ditetapkan melalui pemilihan umum. Karena lekat dengan pemilihan umum yang mempunyai potensi jatuh pada ‘hegemoni kedunguan’, maka paling tidak ada dua hal mesti ada dalam ‘rekening’ supremasi sipil, partai politik dan media massa. Aktifis partai politik mestinya akan terlatih untuk tidak bersikap taken for granted saja. Paling tidak jika ia ber-ideologi, ‘kebiasaan’ taken for granted itu akan lebih mudah untuk ditunda lebih dahulu. Demikian juga media massa dengan kode etik dan profesionalismenya. Baik anggota partai politik atau media massa dengan jurnalis profesionalnya, akan selalu lekat dengan ‘bertanya’. Baik karena dorongan ideologis atau profesionalismenya. Selain kedua hal tersebut, ada juga apa yang disebut oleh Gramsci sebagai intelektual organic. Yang seperti kaum intelektual pada umumnya, ia akan juga lekat dengan ‘bertanya’. Intelektual organic di era merebaknya modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital internet ini bisa juga dilahirkan dari dunia netizen.

Bagaimana dengan republik hari-hari ini? Banyak intelektual organic lahir dari bermacam ‘dunia’. Contoh, Dandhy Laksono dkk itu, dan masih banyak lagi. Dari media massa? Kita masih bersyukur diantara media massa ‘besar’ masih ada Tempo untuk hari-hari ini. Lainnya? Bahkan banyak yang sama sekali tidak ‘setor’ ke rekening supremasi sipil! Tidak hanya tidak setor, bahkan ikut-ikutan menggerogoti. Bagaimana dengan partai politik yang sebenarnya ia ada di tengah-tengah pusaran pemilihan umum? Amit-amitlah. Kemampuan ‘bertanya’ sudah hampir hilang sepenuhnya, diganti dengan penjilatan, yes-man, dan sekitar-sekitarnya. Banyak partai politik itu justru jadi pengkhianat dari supremasi sipil. Partai politik sudah bukan lagi solusi dari supremasi sipil, tetapi justru bagian dari masalah.

Sebagai salah satu keluaran pemilihan umum, Presiden atau Wakil Presiden biasanya punya penulis pidato, ghost writer, atau juga lingkar konsultasi sendiri. Lalu, apa yang dibisikkan oleh konsultannya, bahkan ‘dalang’-nya ketika wakil presiden ‘para-para’ itu menganjurkan pada anak-anak sekolahan untuk mengerjakan PR atau tugas dengan bantuan AI? Sedang dibiasakan untuk menapak jalan without the discomfort of thought? Sungguh bangsat, sebangsat-bangsat-nya. Orang-orang seperti itu hanya merusak republik. Merusak peradaban saja. Dengan kesadaran penuh mereka-mereka itu sedang merusak republik. Maunya memang merusak. Asu kabèh. *** (28-03-2025)

1631. Project 2030 (1)

31-03-2025

Apa yang bisa kita bayangkan terkait dengan istilah Konsensus Washington? Hari-hari ini banyak sumber bisa kita jadikan rujukan untuk membayangkan. Tetapi bagaimana bagi mahasiswa lulusan tahun 1985, misalnya, atau tahun-tahun setelah itu? Mungkin saja pandangan pro dan kontra sudah cukup tersedia, tetapi apakah bisa membayangkan bagaimana itu dalam praktek nantinya? Terbayangkankah bahwa itu akan melanjut pada pecahnya USSR dan bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur? Juga tumbangnya satu per satu diktator, termasuk di republik? Project 2025 adalah ‘skenario’ yang diusung oleh kaum konservatif di AS sono jika ia memegang kekuasaan, dan sebenarnya sudah terdengar sejak bagian akhir Donald Trump di periode pertamanya. Setelah itupun bisa dilacak di dunia digital bagaimana itu sudah dibahas, terutama yang ingin mengingatkan betapa berbahayanya Project 2025 itu bagi rakyat Amerika. Lihat bahkan sampai-sampai Trump secara terbuka mengatakan ia tidak tahu apa itu Project 2025, demi elektabilitas tetap terjaga. Tetapi dengan bermacam olah-propaganda dan teknik-strategi lainnya, akhirnya toh Trump dilantik jadi Presiden AS untuk kedua kalinya di Januari 2025. Faktanya begitu. Lalu bagaimana nasib Project 2025, Mandate for Leadership, The Conservative Promise[1], itu? Empat-puluh lima tahun setelah Washington Consensus? Empat-puluh lima tahun setelah neoliberalisme berjalan, tiba-tiba: Trump will fix it? Apa yang mau diperbaiki seperti dijanjikan oleh kaum konservatif Amerika sono itu?

Restore the family as the centerpiece of American life and protect our children,” demikian salah satu prinsip dalam Project 2025 disebut pertama kali. Jika dibandingkan pandangan Margaret Thatcher di awal 1980-an, maka tidak jauh-jauh amat ketikaThatcher memberikan pandangan bahwa there’s no such thing as society, yang ada adalah individu-individu dan keluarganya masing-masing. Kalau ada sesuatu salah maka itu karena individunya. Tidak ada ‘kemiskinan struktural’ misalnya, yang ada karena individu malas saja. Maka ‘mereka-mereka’ itu akan sinis terhadap para aktifis yang memperjuangkan keadilan, misalnya. Soal anak-anak, pendidikan adalah sepenuhnya tanggung jawab keluarga. Maka tak mengherankan jika kemudian Trump membubarkan departemen pendidikan yang ada di bawahnya. Dalam keluarga, siapa yang paling bertanggung jawab? Itulah mengapa George Lakoff melihat bahwa salah satu pusat ‘ideologi’ kaum konservatif di AS sono itu adalah sosok ‘strict father’. Di tangan sosok ‘strict father’ inilah anak-anak itu akan terlindungi juga. Maka menjadi mudah saja untuk membayangkan bagaimana Trump kemudian penthalitan, atau memang disuruh untuk pecicilan. Bahkan sedang berlangsung upaya untuk menjadikan bagaimana ranah hukum -yudikatif, ada di bawah presiden, puncak ranah eksekutif.

Prinsip kedua dari empat prinsip Project 2025 adalah: “Dismantle the administrative state and return self-governance to the American people.” Maka ditebarkanlah narasi soal ‘deep state’ itu. Apakah itu hanya omon-omon saja? Tidak! Sama sekali tidak hanya berhenti pada omon-omon saja! Bandingkan dengan satu omongan Ronald Reagan di tahun 1980-an, yang mengatakan bahwa pemerintah bukanlah bagian dari solusi, tetapi bagian dari masalah! Atau istilah ‘ultra-minimal state’ itu. Sebenarnya ini tidak bisa dilepaskan dari prinsip pertama, yaitu ‘deep state’ akan hilang jika semua aparatur negara loyal sepenuh hati pada presiden, Donald Trump dalam hal ini. Sekali lagi, karena ia adalah sosok sik-‘strict father’. Apakah bablasan sosok ‘strict father’ ini akan bertransformasi menjadi fasisme? Kita lihat saja nanti. Masih ada dua prinsip lagi, yaitu:Defend our nation’s sovereignty, borders, and bounty against global threats” dan “Secure our God-given individual rights to live freely—what our Constitution calls “the Blessings of Liberty.”

Lalu bagaimana dengan nasib ‘neoliberalisme Konsensus Washington’? Faktanya, baik Republik atau Demokrat yang menang sama-sama agenda Konsensus Washington dilaksanakan, bedanya dari Demokrat bisa melahirkan Obamacare misalnya. Tetapi mengapa Project 2025 menjadi terasa berbeda dan membuat panas-dingin? Karena Trump will fix it? Apanya yang mau diperbaiki? Apakah itu terkait “kampanye’ LGBTQ yang dirasakan sudah di luar batas? Ingat bagaimana Thatcher hampir 50 tahun lalu sampai ‘kebakaran jenggot’ ketika soal itu nyamperin di sekolah-sekolah juga. “Curang, curang, curang!” demikian ‘teriak’-nya saat itu. Ia merasa anak-anak yang belum dewasa itu dicurangi dengan agenda tertentu. Lihat juga bagaimana Trump melarang transgender jadi anggota militer, dan sekaligus di sana sini menegaskan hanya ada dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Titik. Masih banyak hal lagi bisa disampaikan terkait bahwa Project 2025 itu tidaklah omon-omon saja. Serius itu. Paling tidak panggung panas dingin akan hadir sampai bulan Juli mendatang, karena ‘buku’ yang harus dibaca dan dilaksanakan Trump ada di rentang enam bulan sejak ia dilantik 20 Januari 2025 lalu. Uji coba, uji nyali.

Lalu bagaimana dengan Project 2030? Apakah itu hanya soal imajinasi novel Ghost Fleet? Republik bubar 2030? *** (31-03-2025)

[1] https://static.project2025.org/2025_MandateForLeadership_FULL.pdf

1632. Project 2030 (2)

01-04-2025

Dalam sebuah rapat Partai Konservatif di Inggris, pada satu kesempatan Margaret Thatcher berseru lantang: “Ini yang kita percayai, this is what we believe,” sambil membanting buku karangan Friedrich A. Hayek (1899 - 1992), The Constitution of Liberty di atas meja. Kematangan intelektual Hayek tidak lepas dari apa yang ada di depan hidungnya: ekonomi terpusat, dan inilah juga yang dikritiknya habis-habisan. Pada masanya, liberalisme terlebih yang laissez faire-laissez passer itu ‘oposisinya’ adalah konservatisme, terutama di sekitar-sekitar Revolusi Perancis. Tetapi dengan naiknya sosialisme, terlebih ‘fasisme’, ‘sasaran tembaknya’ kemudian bergeser. Dan itulah nuansa ketika Thatcher mulai naik ke puncak. Tetapi bagaimana nuansanya ketika Trump naik ke puncak kekuasaan? USSR sudah pecah, Jerman Barat dan Timur bersatu, China menggeser diri mendekat pada kapitalisme, apa yang kemudian diyakini sebagai ‘oposisi’? Dalam kampanye terlebih ketika bicara soal ‘deep state’, Trump memang secara vulgar dan serampangan menyerang komunisme, sosialisme, marxisme, dan sekitar-sekitarnya itu. Apakah benar itu yang sedang ‘dioposisii’? Pemikiran Hayek yang dipercaya Thatcher dan mendorong lahirnya Konsensus Washington itu justru menolak adanya proteksionisme. Dan karena ini pula sebenarnya Hayek tidak mau dikatakan sebagai bagian dari kaum konservatif, karena dalam dirinya konservatisme itu ‘insting protektif’-nya memang tebal. Lihat bagaimana hari-hari ini kita bisa melihat panas dinginnya ‘perang dagang’ yang berangkat dari soal tariff, berangkat dari proteksionisme.

Pendapat Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944) nampaknya bisa sebagai pintu masuk, terkait dengan ‘gerakan ganda’ atau double movement. Sekitar sepuluh tahun sebelumnya, Harold J. Laski menggambarkan hal-hal mirip dalam The State in Theory and Practice (1935). Dikatakan Laski bahwa melalui demokrasi banyak pihak menginginkan naiknya kesejahteraan, tetapi ini akan mengurangi keuntungan atau profit. Dilema ini akan menggoda pihak yang terancam keuntungan atau profitnya untuk mengambil ‘jalan gampang’: fasisme. Jika mengambil fitur-fitur accumulation by dispossession-nya David Harvey yang terdiri dari privatisasi, finansialisasi, manipulasi dan manajemen krisis, serta terkait dengan state redistribution, apa yang disinggung di atas nampaknya terkait erat dengan soal state redistribution. Bagi modal (besar), tidak hanya soal akumulasi, tetapi seperti sudah disinggung oleh Hobbes dalam Leviathan, kekuasaan (negara) adalah juga untuk mengamankan apa-apa yang sudah dinikmatinya. Siapa mau sekarang adalah ‘trilioner’ kemudian turun menjadi ‘bilioner’, misalnya. Atau dikeluarkan UU Anti Monopoli, misalnya. Mau ‘ultra-minimal state’ atau ‘ultra-maximal state’ tergantung saja dengan bagaimana itu mendukung akumulasi dan bagaimana mengamankan kenikmatan. Semau-maunya.

Apa beda saat Thatcher ‘membanting’ bukunya Hayek di atas meja seperti di awal tulisan, dengan Trump ‘membanting’ buku Project 2025 di atas meja Gedung Putih? Adakah jejak-jejak ‘powershift’? Di sekitar tahun-tahun Thatcher-Reagan naik ke puncak kekuasaan, barcode dan barcodes reader-nya sudah mulai merebak. Ketika Trump naik ke puncak kekuasaan untuk pertama kalinya di tahun 2016, QR code semakin banyak digunakan. Jika mengikuti analisis Alvin Toffler, hal-hal di atas akan terlibat dalam ‘powershift’. Di era Revolusi Informasi ini, baik barcode maupun QR code akan membuat si-pemegang akumulasi informasi mempunyai power lebih. Bagaimana dengan bermacam informasi di balik bermacam data yang dapat diperoleh dari twitter, facebook, tik-tok, dan bermacam media sosial lainnya? Jika anda senang kucing atau anjing, maka jangan heran tingkah laku kucing atau anjing akan menghampiri dunia digital anda, termasuk sisi yang menyedot emosi anda. Dan banyak lagi. Atau juga sebaran CCTV yang selalu siap dengan ‘pengenalan wajah’ dari siapapun yang tertangkap kamera?

Thatcher adalah anak dari pemilik toko kelontong, tetapi ia sendiri bukanlah seorang pengusaha. Demikian juga dengan Ronald Reagan. Bagaimana dengan Trump? Atau juga Elon Musk salah satu orang terkaya di dunia yang ikut-ikutan dalam panas dinginnya politik? Dan bagaimana nasib ‘state redistribution’ di tangan mereka-mereka itu? Sebenarnya tidak jauh-jauh amat, yang membedakan adalah skala ugal-ugalan-nya, dan itu semakin terkuak saja bagaimana nuansa fasisme semakin menampakkan diri. Dengan begitu yakinnya mereka bahwa ketika bermacam data, bermacam informasi ada dalam genggaman, maka olah-kuasa bisa-bisa dilakukan dengan tanpa batas lagi. Apa yang dibayangkan Adam Smith sebagai famous sect itu benar-benar sudah melenyap. Konservatisme dan neo-liberalisme itu kemudian bersekutu tak jauh dari era kolonialisme dalam unholy alliance-nya: god, glory, dan gold, ditambah dengan ‘government’[i] dimana G keempatnya adalah boneka saja. Untuk ngurusi state redistribution yang dapat dipastikan berpihak pada modal besar. Tidak ada sedikitpun nuansa ‘sekte agung’-nya. Atau kalau meminjam istilah Leo Strauss, inilah ketika ‘Machiavelisme yang menua’ itu sudah menjadi begitu ugal-ugalannya.

Lalu bagaimana dengan nasib Project 2030? Akankah jika republik tidak bubar, ia (pasti) akan terjajah lagi? Bubar atau tidak adalah soal bagaimana penguasaan akan mengambil rutenya? *** (01-04-2025)

[i] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/004-Dari-3G-ke-4G-Dari-4G-ke-5G/

1633. Project 2030 (3)

03-04-2025

Menurut Thomas Hobbes dalam Leviathan, ketika situasi mendekat pada state of nature, maka segala cara akan dilakukan untuk mempertahankan hidup. Yang ‘kecil-kecil’ bisa kemudian bersekutu, dan main ‘cerdas-licik’ ketika menghadapi yang ‘besar-besar’. Dalam relasi ‘patron-klien’, tidak mesti klien selalu jatuh pada kubangan nasib gelapnya selamanya. Atau kalau memakai logika klasemen, yang ada di papan bawah mestinya punya kesempatan merangkak ke atas menuju puncak. Bahkan ketika si-patron atau yang ada di klasemen atas yakin ia akan selalu tetap di puncak. Sudah banyak tulisan tentang the rise and fall of empire. Masalahnya adalah ada atau banyak sik-klien atau yang ada di papan bawah klasemen kadang sibuk sendiri atau bahkan ada yang begitu menikmati sebagai klien atau sekedar di papan bawah, terutama golongan yang mendapat keuntungan besar dalam situasi tersebut. Bagi Margaret Thatcher, society adalah hanyalah konsep abstrak, yang riil adalah individu-individu dan keluarga masing-masing. Tetapi sejarah memberikan catatan berbeda dan terbukti bahwa web of life-nya Capra itu akan mempunyai daya survive tinggi. Tidak hanya soal individu-individu yang berjejaring, tetapi jaringan kehidupan itu sendirilah yang akan memberikan kesempatan kehidupan terus berkembang. Kedaruratan iklim hari-hari ini adalah satu dari sekian bukti retaknya web of life. Tetapi sejarah juga memberikan pelajaran bagi kita terkait dengan ‘bablasan individu’ dan ‘bablasan society’.

Apakah pelaku bom bunuh diri yang mengakibatkan orang-orang tak bersalah harus ikut meregang nyawa adalah laku seseorang dengan puncak keberanian di dada? Benarkah? Yang namanya keutamaan (virtue), keberanian misalnya dalam hal ini bukanlah seperti di atas, yang ada di salah satu ‘ujung’nya, karena keutamaan akan melibatkan juga hal timbang-menimbang. Maka jika disebut bahwa keutamaan prudence adalah ibu dari segala keutamaan tidaklah salah-salah amat. Dengan ini pula sebenarnya potensi ‘bablasan individu’ atau ‘bablasan society’ bisa ‘diperhitungkan’. Jika peradaban adalah juga soal tantangan dan respon seperti digambarkan oleh Toynbee, fakta sejarah memberikan pelajaran pada kita bahwa segala ‘bablasan’ (perilaku manusia) itu sebenarnya adalah bagian dari tantangan. Respon terhadap bablasan kejahatan hasrat dalam laku korup misalnya, terbukti akan sangat berpengaruh terhadap peradaban apa yang akan berkembang.

Masalahnya hal ‘prudence’ itu hanya bagian kecil saja dalam kesadaran manusia. Ia menampakkan diri layaknya puncak gunung es, dimana bagian besar gunung es itu ada di bawah permukaan: ketidak-sadaran, atau dalam istilah Freud, id. Eksploitasi id melalui bermacam propaganda sangat bisa membuat pendulum mengayun ke ujung-ujung karena tiba-tiba saja hal timbang-menimbang melenyap. Tetapi kesadaran tidaklah ada di ruang kosong, karena sadar berarti juga sadar akan sesuatu. Dan ‘penyedot’ kesadaran yang paling ‘ampuh’ nampaknya terkait dengan upaya mempertahankan hidup. Maka ‘selubung’ yang menutupi kemampuan hal timbang-menimbang itu bagaimanapun tetap saja mempunyai potensi besar untuk dilepas lapis demi lapis ketika itu terkait dengan hal mempertahankan hidup. Terlebih ketika kesempatan untuk mempertahankan hidup itu ada dalam situasi yang sungguh negatif. Tinjauan dari sudut lain adalah: itulah mengapa ada ‘profesi’ economic hitman/woman seperti ditengarai oleh John Perkins, yang kadang diperlukan ketika pergantian rejim harus dilakukan.

Tetapi fokus tulisan ini terkait dengan patron-klien seperti disinggung di awal tulisan. Terutama dari sisi sik-klien yang selalu saja ingin ‘mempertahankan kenikmatan’. Berpuluh tahun republik rasa-rasanya masih saja berkutat dalam relasi patron-klien dalam konteks tata geopolitik internasional. Mungkinkah karena dinamika dalam negeri yang terkelola dalam nuansa patron-klien masih begitu kentalnya selama berpuluh tahun itu? Sehingga ‘insting’ untuk ‘mandiri’ sudah semakin tipis saja? Mungkin saja. Akibat dari ‘klientisme’ ini maka tanpa sadar ‘insting-perspektif society’-nya menjadi miskin. Khalayak kebanyakanpun akan dihayati sebagai ‘klien’ saja. ‘Klien’ jika sedang tidak beruntung -dan biasanya begitu, dianggap ‘tidak tahu apa-apa’ dan harus nurut saja mau-maunya sik-patron. Apalagi jika sik-patronnya khalayak kebanyakan, yang pada dasarnya adalah kliennya patron global -katakanlah begitu, diajari bahwa there is no such thing as society. Padahal dibalik itu ada logika yang sedang melakukan ‘kesalahan kategoris’. Dalam society jelas hadir pula individu-individu, tetapi mereka tidak hanya sekedar hadir, tetapi juga berinteraksi. Juga ada sekolah, kantor kecamatan dan seterusnya. Ada polisi, tentara, ada toko, mall, klinik-rumah sakit, ada pertanian, nelayan, dan banyak lagi. Melakukan ‘kesalahan kategoris’ karena setelah mengenal itu semua masih bertanya juga: “Dimana society-nya?” Ketika sebuah pelayanan kesehatan dibangun berangkat dari society, lihat bagaimana itu terbangun dengan baik di Singapura[1], misalnya. Atau lihat bagaimana kebijakan melindungi petani beras di Jepang pada masa pasca PD II, yang menurut Amartya Sen itu sempat dituduh sebagai ‘sosialis’, ternyata memberikan efek spiral (karena naiknya daya beli) bagi produk-produk lainnya. Yang mudah dibayangkan di republik sebagai contoh kasus adalah soal ‘mafia pangan’. Kenikmatan impor pangan dari sik-patron (luar negeri) yang dinikmati oleh sik-klien (importir dan sik-pemburu rente) mengakibatkan society menjadi tertatih-tatih dalam mewujudkan kedaulatan pangannya. Dalam olah-kuasa ‘langsung’, misal, bagaimana jika sik-patron sedang demen kontra-radikalisme?. Tipu saja sik-patron itu, berikan apa yang dimaui. Maka jangan kaget jika para ‘pencipta monster’ itu mempunyai bermacam stok ‘monster’ yang siap dikeluarkan, dan siap juga ditebas, demi untuk menyenang-nyenangkan sik-patron. Jika sedang demen emas? Nikel? Sedang cari pasar untuk produk-produknya? Repot memang, dan sungguh menjengkelkan. Menjengkelkan karena tidak sekedar soal patron-klien, tetapi ada juga ‘pihak ketiga’-nya, sik-penumpang gelap. Tambah repot. Dan bagaimana ketika ada yang meyakini bahwa salah satu patron itu sedang memeluk erat buku panduan Project 2025 nun jauh di sana? *** (03-04-2025)

[1] https://x.com/jwmares/status/1907101412649234781

1634. Perang Dagang dan Kita

04-04-2025

Hari-hari ini mungkin saja merupakan rentang waktu yang tepat untuk membayangkan pendapat Carl Schmitt se-abad lalu, “sovereign is he who decides on the exception.” Perang dagang yang ditabuh oleh Trump dan gerombolannya itu mau tidak mau semakin menampakkan diri sebagai situasi exception di depan banyak hidung warga dunia. Maka kembali pada Carl Schmitt di atas: “Who decides on the exception?” Itu bukanlah Menteri Keuangan, lebih-lebih menteri-menteri ‘ternakan’ Jokowi itu, tetapi adalah Presiden terpilih saat ini, Prabowo Subianto. Suka atau tidak. Apakah respon dia akan menunjukkan bahwa ia benar-benar pemegang ‘sovereignty’? Karena sebenarnya respon terkait dengan situai exception ini meski episentrum masalah ada dalam perang tarif, mestinya tidak hanya soal tarif-tarifan saja.

Mengapa menteri-menteri ‘ternakan’ rejim terdahulu perlu disebut? Karena banyak dari mereka-mereka itu tidak hanya terlibat dalam paradigma ‘keberlanjutan-mata-gelap’, tetapi semakin menampakkan diri pula adanya sebuah ‘paradigma’ lain, rejim sekarang tidak boleh lebih baik dari rejim terdahulu. Ke-megalomania-an rejim terdahulu rasa-rasanya telah menjadi banal saja. Dan juga siapa-siapa yang begitu diuntungkan oleh rejim lama tentu akan dengan riang-gembira membonceng saja kucluk-kuclukannya ke-megalomania-an itu.

Mengapa masalah chaos perang dagang ini tidak hanya urusan menteri keuangan, atau menteri perdagangan, tetapi sudah seribu persen urusan presiden? Dari banyak hal terkait dengan perang dagang ini ada satu hal mendasar yang semakin menampakkan diri, terjerumusnya Amerika dalam hal ini terkait dengan dominannya ‘kucing-kucing gemuk’ di pasar keuangan. Lupa, cuk. Mungkin saja pasar keuangan itu sungguh dapat membuat seseorang kaya-raya, tetapi berapa persen yang akan secara langsung menikmatinya? Berbeda dengan dampak ‘ekonomi riil’ dimana yang menikmati akan jauh lebih banyak.

De-industrialisasi adalah isu paling tidak sudah lebih dari sepuluh tahun terakhir, dan situasi negatif yang sungguh telanjang di depan mata adalah pemutusan hubungan kerja. Bertahun terakhir soal de-industrialisasi ini sudah bukan saja soal kompetitif atau tidak, tetapi nampaknya memang sengaja dijerumuskan. Indikasinya? Justru banyak sumber daya yang semestinya mampu mendorong industrialisasi itu lebih banyak untuk ugal-ugalannya ‘ke-megalomania-an’ itu. Banyak bisa disebut. Di balik ‘penjerumusan’ masuk dalam kubangan-jeratan de-industrialisasi itu sebenarnya adalah soal pasar bagi produk-produk luar. Ini sudah bukan lagi soal kompetitif atau tidak, tetapi sudah sangat jelas langsung saja mematikan kompetitor. Entah itu melalui aksi ‘dumping’, selundupan sehingga bisa lebih murah karena tidak bayar pajak, kong-ka-li-kong dalam pembuatan kebijakan, sampai pasang perangkap bagi sik-megalomania sehingga sumber daya yang mestinya bisa menjadi back-up industrialisasi menjadi menguap entah kemana, dan ujungnya: hanya akan menjadi pasar yang paripurna bagi produk-produknya.

Maka sebenarnya sudah sangat telanjang banyak menteri ternakan rejim terdahulu itu tidak hanya bertugas membunuh karakter rejim sekarang ini, tetapi juga melanjutkan paradigma ugal-ugalan yang diusungnya. Dalam situasi chaos-exception seperti sekarang ini jelas laku ugal-ugalan yang jauh dari prudence itu adalah persiapan bunuh diri. Ketika chaos-exception dengan episentrum Thatcher-Reagan empatpuluh lima tahun lalu berakibat juga adanya proses balkanisasi, akankah republik akan bubar karena gagal dalam respon terhadap chaotic-nya perang dagang ini? Yang di balik itu ada persaingan dalam ekonomi-riil yang mau tidak mau akan haus pula terhadap bermacam sumber daya alam? Lihat kehausan akan nikel misalnya. Atau Trump sedang membidik rare earth yang ada di Ukraina. Atau Greenland. Atau lihat respon Deng Xiaoping terkait chaotic-nya pasca Thatcher-Reagan hampir 50 tahun lalu, respon yang dibangun dengan tingkat prudence tinggi, yang digambarkan laksana menyebarangi sungai dengan batu-batu licin di dasarnya, crossing the river by touching/feeling the stones. Dan bagaimana korupsi diberantas dengan sungguh-sungguh.

Supaya industrialisasi dalam bermacam skalanya dapat terdukung, maka daya beli memang harus ditingkatkan, selain juga tentu aksi selundupan harus diberantas dan aksi dumping harus dilawan. Sudah banyak analisa terkait tersedotnya daya beli melalui ‘judi on-line’, mengapa sampai sekarang belum juga diberantas? Belum lagi soal: KORUPSI. Rejim terdahulu sudah menggunakan korupsi sebagai salah satu pilar dari tegaknya rejim, sungguh korupsinya sudah tanpa beban lagi, maka semua kebijakan yang dikeluarkan oleh menteri-menteri ternakan rejim terdahulu, nuansa koruptifnya jangan pernah disingkirkan dalam perhatian kita. Bahkan ketika baru bicara yang sering asal mangap, asal njeplak itu. Kebiasaan memang sulit dihilangkan.

Apa yang disinggung SBY soal ‘matahari kembar’ sebenarnya sangat strategis, dalam arti jika itu terjadi, seperti sekarang ini, di tengah situasi chaotic global yang mesti harus direspon, pemerintah sekarang ini seakan menghadapi dua ‘musuh’, atau katakanlah dua tantangan. Bahkan satu ‘musuh’ sik-matahari kembar itu seakan justru selalu siap saja menelikung, menusuk dari belakang dengan tanpa beban. Bahkan kalau bisa naik gelombang chaotic-nya global demi keuntungan diri dan kelompoknya. Tanpa memikirkan lagi apakah republik akan bubar atau tidak. Kacung-kacung itu memang bekerja bukan untuk republik, tetapi lebih bagi dirinya sendiri dan gerombolannya, serta untuk majikan nun-jauh di sana. *** (04-04-2025)