1630. Supremasi Sipil Bukan Cek Kosong
28-03-2025
"Ketika saya memberikan makanan kepada orang miskin, mereka menyebut saya seorang santo. Ketika saya bertanya mengapa orang miskin tidak mempunyai makanan, mereka menyebut saya seorang komunis." - Uskup Dom Helder Camara (1909 - 1999), salah satu tokoh Teologi Pembebasan.
Perkara ‘santo’ atau ‘komunis’ bukan fokus tulisan ini, tetapi adalah perkara ‘bertanya’. Mengapa ‘bertanya’? Dari banyak sumber, ‘bertanya’ adalah juga ‘kontra-kedunguan’ yang paling mendasar. Mangunwjaya dalam bayangan ‘pendidikan alternatif’-nya juga menempatkan soal ‘bertanya’ menjadi salah satu pondasi. Mengapa ‘kontra-kedunguan’ layak disebut? Karena ‘kedunguan’ banyak diyakini sebagai salah satu ‘penghancur peradaban’ yang bisa saja beroperasi dalam ‘senyap’. Tahu-tahu kerusakan seakan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Rusak-rusakan kronis.
Tetapi apa itu ‘kedunguan’, stupidity? Ini bukan soal berapa IQ-nya, bukan pula soal dikotomi bodoh-pandai, tetapi dalam hal ini lebih soal ‘kemalasan untuk berpikir’. Terkait dengan ‘kemalasan untuk berpikir’ ini mungkin bisa semakin jelas dari kutipan John F. Kennedy saat pidato di depan Universitas Yale, 1962: “The great enemy of truth is very often not the lie--deliberate, contrived and dishonest--but the myth--persistent, persuasive and unrealistic. Too often we hold fast to the cliches of our forebears. We subject all facts to a prefabricated set of interpretations. We enjoy the comfort of opinion without the discomfort of thought.”
Tetapi soal ‘kedunguan’ ini sebaiknya kita hati-hati dalam melihatnya. Dalam konteks peradaban seperti disinggung di atas, gangguan ‘kedunguan’ yang mengakibatkan retaknya peradaban dari bermacam peristiwa masa lalu nampaknya telah memberikan banyak pelajaran, itu lebih karena ‘orkestrasi’-nya. Di bagian akhir abad 19, Gustave Le Bon telah menunjukkan bagaimana atau apa keluaran ketika kedunguan di ‘orkestrasi’ dalam kerumunan. Atau pendapat Wilhelm Reich terkait dengan naiknya fasisme karena eksploitasi ketidak-sadaran, id. Atau, menjadi apakah jika demokrasi mengalami pembusukan? Ada yang mengatakan menjadi mob-rule. Di balik istilah mob-rule ini sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari ‘kedunguan’ yang terorkestrasi dalam mob. Maka secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa ‘kedunguan’ adalah ‘musuh’ demokrasi.
Tetapi dalam rejim demokrasi mau tidak mau akan bertemu juga dengan peristiwa berkerumunnya warga negara. Bahkan bisa juga penuh dengan orkestrasinya, pada kampanye di rentang peristiwa pemilihan. Nampaknya di Jepang, tanpa mengurangi apa yang menjadi esensi demokrasi, orkestrasi kerumunan ini mendapat perhatian penuh dengan bermacam pembatasan. Paling tidak ada aturan ketat terkait segala pamphlet yang disebar saat masa kampanye itu. Tempat-tempat khusus disediakan, di luar itu dilarang tempel atau mendirikan pamphlet, misalnya. Sebab bagaimanapun tebaran pamphlet itu akan juga mempengaruhi ‘psikologi kerumunan’, langsung atau tidak. Atau lihat ketika mantan PM Abe kampanye untuk partainya yang kemudian ia ditusuk itu, massa yang berkumpul tidaklah terlalu banyak. Mungkin masa lalu telah memberikan pelajaran berharganya, bagi warga Jepang.
Ada yang perlu sungguh diperhatikan terkait hal-hal di atas, yaitu ketika kampanye menjadi bablas masuk ke rentang setelah peristiwa pemilihan yang sebenarnya sudah berakhir. ‘Logika’ kampanye saat ‘memperebutkan’ kekuasaan itu bablas saja terus ‘dinikmati’ saat ‘penggunaan’ kekuasaan. Terlebih dalam orkestrasinya kerumunan. Bahkan ada yang lebih kucluk lagi, sudah mantan-pun masih main-main dengan logika ‘kampanye-kampanye’-an di banyak kesempatan dalam kesehariannya. Akibatnya? Bisa-bisa orkestrasi ‘kedunguan’ yang digendong oleh kerumunan itu akan memberikan ‘umpan balik’-nya. Bahkan bisa terjadi ‘spiral kedunguan’ yang akhirnya ketika ‘yang di atas’ semakin percaya diri terkait ‘kedunguannya’. Sebenarnya sebagian besar hidup memang dijalani dengan ‘kedunguan’ dalam arti ‘malas berpikir’ atau lebih banyak dalam rute without the discomfort of thought jika memakai istilah JFK di atas. Bukan karena berhadapan-termakan dengan/oleh mitos, tetapi karena taken for granted saja. Maka ketika individu-individu itu masuk dalam kerumunan, memang sudah membawa ‘potensi-kebiasaan malas berpikir’. Tinggal tunggu ‘katalis’ saja maka ketidak-berpikiran itu akan cepat merebak-menular.
Supremasi sipil bukan cek kosong seperti pada judul dimaksudkan bahwa untuk benar-benar bisa dipraktekkan, ia harus punya ‘rekening’ yang cukup. Supremasi sipil tidak akan lepas dari proses pemilihan karena ‘yang terpilih’ itu memang berbeda dari yang lain, misal dari ranah militer. Pemimpin ranah militer tidak akan pernah ditetapkan melalui pemilihan umum. Karena lekat dengan pemilihan umum yang mempunyai potensi jatuh pada ‘hegemoni kedunguan’, maka paling tidak ada dua hal mesti ada dalam ‘rekening’ supremasi sipil, partai politik dan media massa. Aktifis partai politik mestinya akan terlatih untuk tidak bersikap taken for granted saja. Paling tidak jika ia ber-ideologi, ‘kebiasaan’ taken for granted itu akan lebih mudah untuk ditunda lebih dahulu. Demikian juga media massa dengan kode etik dan profesionalismenya. Baik anggota partai politik atau media massa dengan jurnalis profesionalnya, akan selalu lekat dengan ‘bertanya’. Baik karena dorongan ideologis atau profesionalismenya. Selain kedua hal tersebut, ada juga apa yang disebut oleh Gramsci sebagai intelektual organic. Yang seperti kaum intelektual pada umumnya, ia akan juga lekat dengan ‘bertanya’. Intelektual organic di era merebaknya modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital internet ini bisa juga dilahirkan dari dunia netizen.
Bagaimana dengan republik hari-hari ini? Banyak intelektual organic lahir dari bermacam ‘dunia’. Contoh, Dandhy Laksono dkk itu, dan masih banyak lagi. Dari media massa? Kita masih bersyukur diantara media massa ‘besar’ masih ada Tempo untuk hari-hari ini. Lainnya? Bahkan banyak yang sama sekali tidak ‘setor’ ke rekening supremasi sipil! Tidak hanya tidak setor, bahkan ikut-ikutan menggerogoti. Bagaimana dengan partai politik yang sebenarnya ia ada di tengah-tengah pusaran pemilihan umum? Amit-amitlah. Kemampuan ‘bertanya’ sudah hampir hilang sepenuhnya, diganti dengan penjilatan, yes-man, dan sekitar-sekitarnya. Banyak partai politik itu justru jadi pengkhianat dari supremasi sipil. Partai politik sudah bukan lagi solusi dari supremasi sipil, tetapi justru bagian dari masalah.
Sebagai salah satu keluaran pemilihan umum, Presiden atau Wakil Presiden biasanya punya penulis pidato, ghost writer, atau juga lingkar konsultasi sendiri. Lalu, apa yang dibisikkan oleh konsultannya, bahkan ‘dalang’-nya ketika wakil presiden ‘para-para’ itu menganjurkan pada anak-anak sekolahan untuk mengerjakan PR atau tugas dengan bantuan AI? Sedang dibiasakan untuk menapak jalan without the discomfort of thought? Sungguh bangsat, sebangsat-bangsat-nya. Orang-orang seperti itu hanya merusak republik. Merusak peradaban saja. Dengan kesadaran penuh mereka-mereka itu sedang merusak republik. Maunya memang merusak. Asu kabèh. *** (28-03-2025)
1631. Project 2030 (1)
31-03-2025
Apa yang bisa kita bayangkan terkait dengan istilah Konsensus Washington? Hari-hari ini banyak sumber bisa kita jadikan rujukan untuk membayangkan. Tetapi bagaimana bagi mahasiswa lulusan tahun 1985, misalnya, atau tahun-tahun setelah itu? Mungkin saja pandangan pro dan kontra sudah cukup tersedia, tetapi apakah bisa membayangkan bagaimana itu dalam praktek nantinya? Terbayangkankah bahwa itu akan melanjut pada pecahnya USSR dan bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur? Juga tumbangnya satu per satu diktator, termasuk di republik? Project 2025 adalah ‘skenario’ yang diusung oleh kaum konservatif di AS sono jika ia memegang kekuasaan, dan sebenarnya sudah terdengar sejak bagian akhir Donald Trump di periode pertamanya. Setelah itupun bisa dilacak di dunia digital bagaimana itu sudah dibahas, terutama yang ingin mengingatkan betapa berbahayanya Project 2025 itu bagi rakyat Amerika. Lihat bahkan sampai-sampai Trump secara terbuka mengatakan ia tidak tahu apa itu Project 2025, demi elektabilitas tetap terjaga. Tetapi dengan bermacam olah-propaganda dan teknik-strategi lainnya, akhirnya toh Trump dilantik jadi Presiden AS untuk kedua kalinya di Januari 2025. Faktanya begitu. Lalu bagaimana nasib Project 2025, Mandate for Leadership, The Conservative Promise[1], itu? Empat-puluh lima tahun setelah Washington Consensus? Empat-puluh lima tahun setelah neoliberalisme berjalan, tiba-tiba: Trump will fix it? Apa yang mau diperbaiki seperti dijanjikan oleh kaum konservatif Amerika sono itu?
“Restore the family as the centerpiece of American life and protect our children,” demikian salah satu prinsip dalam Project 2025 disebut pertama kali. Jika dibandingkan pandangan Margaret Thatcher di awal 1980-an, maka tidak jauh-jauh amat ketikaThatcher memberikan pandangan bahwa there’s no such thing as society, yang ada adalah individu-individu dan keluarganya masing-masing. Kalau ada sesuatu salah maka itu karena individunya. Tidak ada ‘kemiskinan struktural’ misalnya, yang ada karena individu malas saja. Maka ‘mereka-mereka’ itu akan sinis terhadap para aktifis yang memperjuangkan keadilan, misalnya. Soal anak-anak, pendidikan adalah sepenuhnya tanggung jawab keluarga. Maka tak mengherankan jika kemudian Trump membubarkan departemen pendidikan yang ada di bawahnya. Dalam keluarga, siapa yang paling bertanggung jawab? Itulah mengapa George Lakoff melihat bahwa salah satu pusat ‘ideologi’ kaum konservatif di AS sono itu adalah sosok ‘strict father’. Di tangan sosok ‘strict father’ inilah anak-anak itu akan terlindungi juga. Maka menjadi mudah saja untuk membayangkan bagaimana Trump kemudian penthalitan, atau memang disuruh untuk pecicilan. Bahkan sedang berlangsung upaya untuk menjadikan bagaimana ranah hukum -yudikatif, ada di bawah presiden, puncak ranah eksekutif.
Prinsip kedua dari empat prinsip Project 2025 adalah: “Dismantle the administrative state and return self-governance to the American people.” Maka ditebarkanlah narasi soal ‘deep state’ itu. Apakah itu hanya omon-omon saja? Tidak! Sama sekali tidak hanya berhenti pada omon-omon saja! Bandingkan dengan satu omongan Ronald Reagan di tahun 1980-an, yang mengatakan bahwa pemerintah bukanlah bagian dari solusi, tetapi bagian dari masalah! Atau istilah ‘ultra-minimal state’ itu. Sebenarnya ini tidak bisa dilepaskan dari prinsip pertama, yaitu ‘deep state’ akan hilang jika semua aparatur negara loyal sepenuh hati pada presiden, Donald Trump dalam hal ini. Sekali lagi, karena ia adalah sosok sik-‘strict father’. Apakah bablasan sosok ‘strict father’ ini akan bertransformasi menjadi fasisme? Kita lihat saja nanti. Masih ada dua prinsip lagi, yaitu: “Defend our nation’s sovereignty, borders, and bounty against global threats” dan “Secure our God-given individual rights to live freely—what our Constitution calls “the Blessings of Liberty.”
Lalu bagaimana dengan nasib ‘neoliberalisme Konsensus Washington’? Faktanya, baik Republik atau Demokrat yang menang sama-sama agenda Konsensus Washington dilaksanakan, bedanya dari Demokrat bisa melahirkan Obamacare misalnya. Tetapi mengapa Project 2025 menjadi terasa berbeda dan membuat panas-dingin? Karena Trump will fix it? Apanya yang mau diperbaiki? Apakah itu terkait “kampanye’ LGBTQ yang dirasakan sudah di luar batas? Ingat bagaimana Thatcher hampir 50 tahun lalu sampai ‘kebakaran jenggot’ ketika soal itu nyamperin di sekolah-sekolah juga. “Curang, curang, curang!” demikian ‘teriak’-nya saat itu. Ia merasa anak-anak yang belum dewasa itu dicurangi dengan agenda tertentu. Lihat juga bagaimana Trump melarang transgender jadi anggota militer, dan sekaligus di sana sini menegaskan hanya ada dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Titik. Masih banyak hal lagi bisa disampaikan terkait bahwa Project 2025 itu tidaklah omon-omon saja. Serius itu. Paling tidak panggung panas dingin akan hadir sampai bulan Juli mendatang, karena ‘buku’ yang harus dibaca dan dilaksanakan Trump ada di rentang enam bulan sejak ia dilantik 20 Januari 2025 lalu. Uji coba, uji nyali.
Lalu bagaimana dengan Project 2030? Apakah itu hanya soal imajinasi novel Ghost Fleet? Republik bubar 2030? *** (31-03-2025)
[1] https://static.project2025.org/2025_MandateForLeadership_FULL.pdf
1632. Project 2030 (2)
01-04-2025
Dalam sebuah rapat Partai Konservatif di Inggris, pada satu kesempatan Margaret Thatcher berseru lantang: “Ini yang kita percayai, this is what we believe,” sambil membanting buku karangan Friedrich A. Hayek (1899 - 1992), The Constitution of Liberty di atas meja. Kematangan intelektual Hayek tidak lepas dari apa yang ada di depan hidungnya: ekonomi terpusat, dan inilah juga yang dikritiknya habis-habisan. Pada masanya, liberalisme terlebih yang laissez faire-laissez passer itu ‘oposisinya’ adalah konservatisme, terutama di sekitar-sekitar Revolusi Perancis. Tetapi dengan naiknya sosialisme, terlebih ‘fasisme’, ‘sasaran tembaknya’ kemudian bergeser. Dan itulah nuansa ketika Thatcher mulai naik ke puncak. Tetapi bagaimana nuansanya ketika Trump naik ke puncak kekuasaan? USSR sudah pecah, Jerman Barat dan Timur bersatu, China menggeser diri mendekat pada kapitalisme, apa yang kemudian diyakini sebagai ‘oposisi’? Dalam kampanye terlebih ketika bicara soal ‘deep state’, Trump memang secara vulgar dan serampangan menyerang komunisme, sosialisme, marxisme, dan sekitar-sekitarnya itu. Apakah benar itu yang sedang ‘dioposisii’? Pemikiran Hayek yang dipercaya Thatcher dan mendorong lahirnya Konsensus Washington itu justru menolak adanya proteksionisme. Dan karena ini pula sebenarnya Hayek tidak mau dikatakan sebagai bagian dari kaum konservatif, karena dalam dirinya konservatisme itu ‘insting protektif’-nya memang tebal. Lihat bagaimana hari-hari ini kita bisa melihat panas dinginnya ‘perang dagang’ yang berangkat dari soal tariff, berangkat dari proteksionisme.
Pendapat Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944) nampaknya bisa sebagai pintu masuk, terkait dengan ‘gerakan ganda’ atau double movement. Sekitar sepuluh tahun sebelumnya, Harold J. Laski menggambarkan hal-hal mirip dalam The State in Theory and Practice (1935). Dikatakan Laski bahwa melalui demokrasi banyak pihak menginginkan naiknya kesejahteraan, tetapi ini akan mengurangi keuntungan atau profit. Dilema ini akan menggoda pihak yang terancam keuntungan atau profitnya untuk mengambil ‘jalan gampang’: fasisme. Jika mengambil fitur-fitur accumulation by dispossession-nya David Harvey yang terdiri dari privatisasi, finansialisasi, manipulasi dan manajemen krisis, serta terkait dengan state redistribution, apa yang disinggung di atas nampaknya terkait erat dengan soal state redistribution. Bagi modal (besar), tidak hanya soal akumulasi, tetapi seperti sudah disinggung oleh Hobbes dalam Leviathan, kekuasaan (negara) adalah juga untuk mengamankan apa-apa yang sudah dinikmatinya. Siapa mau sekarang adalah ‘trilioner’ kemudian turun menjadi ‘bilioner’, misalnya. Atau dikeluarkan UU Anti Monopoli, misalnya. Mau ‘ultra-minimal state’ atau ‘ultra-maximal state’ tergantung saja dengan bagaimana itu mendukung akumulasi dan bagaimana mengamankan kenikmatan. Semau-maunya.
Apa beda saat Thatcher ‘membanting’ bukunya Hayek di atas meja seperti di awal tulisan, dengan Trump ‘membanting’ buku Project 2025 di atas meja Gedung Putih? Adakah jejak-jejak ‘powershift’? Di sekitar tahun-tahun Thatcher-Reagan naik ke puncak kekuasaan, barcode dan barcodes reader-nya sudah mulai merebak. Ketika Trump naik ke puncak kekuasaan untuk pertama kalinya di tahun 2016, QR code semakin banyak digunakan. Jika mengikuti analisis Alvin Toffler, hal-hal di atas akan terlibat dalam ‘powershift’. Di era Revolusi Informasi ini, baik barcode maupun QR code akan membuat si-pemegang akumulasi informasi mempunyai power lebih. Bagaimana dengan bermacam informasi di balik bermacam data yang dapat diperoleh dari twitter, facebook, tik-tok, dan bermacam media sosial lainnya? Jika anda senang kucing atau anjing, maka jangan heran tingkah laku kucing atau anjing akan menghampiri dunia digital anda, termasuk sisi yang menyedot emosi anda. Dan banyak lagi. Atau juga sebaran CCTV yang selalu siap dengan ‘pengenalan wajah’ dari siapapun yang tertangkap kamera?
Thatcher adalah anak dari pemilik toko kelontong, tetapi ia sendiri bukanlah seorang pengusaha. Demikian juga dengan Ronald Reagan. Bagaimana dengan Trump? Atau juga Elon Musk salah satu orang terkaya di dunia yang ikut-ikutan dalam panas dinginnya politik? Dan bagaimana nasib ‘state redistribution’ di tangan mereka-mereka itu? Sebenarnya tidak jauh-jauh amat, yang membedakan adalah skala ugal-ugalan-nya, dan itu semakin terkuak saja bagaimana nuansa fasisme semakin menampakkan diri. Dengan begitu yakinnya mereka bahwa ketika bermacam data, bermacam informasi ada dalam genggaman, maka olah-kuasa bisa-bisa dilakukan dengan tanpa batas lagi. Apa yang dibayangkan Adam Smith sebagai famous sect itu benar-benar sudah melenyap. Konservatisme dan neo-liberalisme itu kemudian bersekutu tak jauh dari era kolonialisme dalam unholy alliance-nya: god, glory, dan gold, ditambah dengan ‘government’[i] dimana G keempatnya adalah boneka saja. Untuk ngurusi state redistribution yang dapat dipastikan berpihak pada modal besar. Tidak ada sedikitpun nuansa ‘sekte agung’-nya. Atau kalau meminjam istilah Leo Strauss, inilah ketika ‘Machiavelisme yang menua’ itu sudah menjadi begitu ugal-ugalannya.
Lalu bagaimana dengan nasib Project 2030? Akankah jika republik tidak bubar, ia (pasti) akan terjajah lagi? Bubar atau tidak adalah soal bagaimana penguasaan akan mengambil rutenya? *** (01-04-2025)
[i] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/004-Dari-3G-ke-4G-Dari-4G-ke-5G/