1600. Efisiensi dalam Omon-omon

10-02-2025

Judul ‘omon-omon’ bisa diganti dengan ‘kata-kata’, atau ‘nyanyi-nyanyi’, atau apapun, karena masalahnya bukan lagi sekedar apa yang meluncur dari mulut, tetapi apakah itu ada hubungannya dengan tindakan atau tidak. Urusannya memang lebih ‘pragmatis’, belum sampai soal ‘keindahan’, misalnya. Atau lainnya. Dalam konteks ini urusannya adalah ‘satunya kata dan tindakan’. Semakin seringnya penggunaan kata efisiensi[1] nampaknya tidak lepas dari Revolusi Industri, salah satu revolusi yang sungguh telah mengubah lanskap hidup bersama. ‘Pendekatan pragmatis’ seperti disinggung di atas mestilah juga hati-hati. Apalagi jika sudah melangkah pada ‘pragmatisme’ yang seakan terkait dengan kerja-kerja-kerja misalnya, tetapi di belakang itu penuh dengan kepentingan yang disamarkan. Demikian juga ‘efisiensi’ yang semakin menjadi salah satu paradigma dalam Revolusi Industri itu ternyata ‘bablasannya’ adalah ‘reifikasi’. Manusia yang semakin ‘dibendakan’ saja dalam olah-tukar komoditas hasil bermacam industri. Atau kemudian menjadi bagian-sama dengan bermacam bagian lain dalam proses produksi.

Tetapi adanya potensi bablasan bukan berarti sesuatu itu harus ditinggalkan. Sebagian besar manusia akan selalu lekat dengan segala hasrat meski hasrat-hasrat itu mempunyai potensi juga untuk bablas. Demikian juga efisiensi, dan bahkan tanpa ‘paradigma’ efisiensi kemajuan akan tertatih-tatih. Atau paling tidak akan disalip oleh yang mampu membangun efisiensi. Karena efisiensi akan terkait erat dengan bermacam timbang-menimbang. Bermacam penelitian-temuan baru. Keinginan untuk mencapai tingkat efisiensi tertentu bahkan bisa menjadi bahan bakar penting penelitian. Dalam beberapa halnya, kaizen sebagai salah satu pilar kemajuan Toyota adalah juga soal efisiensi, tetapi bagaimana efiensi terus dimajukan adalah dengan melibatkan seluruh karyawan dalam berbagai tingkatannya. Atau dalam bahasa manajemen yang kemudian berkembang, continuous improvement dan melibatkan semua karyawan. Tidak hanya ‘milik’ bagian research dan development, atau hanya urusan manajemen saja misalnya.

Efisiensi melalui ‘jalur’ pemotongan anggaran seperti dilakukan pemerintah hari-hari ini haruslah dilakukan dengan tidak berdiri sendiri. Jika keluaran atau output-nya adalah tercapainya satu tingkat efisiensi tertentu, maka mestinya itu melibatkan input dan prosesnya. ‘Pemotongan anggaran’ adalah lebih soal ‘input’ tetapi bagaimana ‘proses’-nya? Bagaimana kemudian continuous improvement atau kaizen itu akan berjalan? Apakah hanya akan terjadi semata pada langkah-langkah ‘penyesuaian anggaran’ sambil menggerutu habis-habisan?

Sikap efisien seperti bermacam sikap hidup (bersama) lainnya mestilah akan berkembang jika ia ‘terdukung’. Tidak hanya terdukung secara politis dan teknis, tetapi juga sosial. Yang dimaksud dalam judul tulisan adalah bagaimana suatu ‘insting efisien’ bisa dilatih melalui ‘kata-kata’. Bukan soal bagaimana efisiennya kata-kata disusun dengan tetap clear and distinct terkait dengan maksud, tetapi lebih pada dampaknya pada tindakan. Kita bisa bayangkan ketika terbangun nuansa satunya kata dan tindakan maka ‘insting efisien’ dalam hidup bersama akan berpotensi lebih mudah terbangun, karena bagaimanapun juga jika melihat akar kata dari efisien itu sendiri memang tidak lepas dari adanya tindakan.[2]

Bertahun terakhir adalah pelajaran berharga bagaimana ‘habitat efisiensi’ itu telah porak poranda. Tidak hanya lenyapnya ‘pupuk’ karena semakin langkanya: satunya kata dan tindakan, tetapi juga mengeringnya hal timbang-menimbang. Kerusakan yang sebenarnya sungguh dahsyat dalam sebuah komunitas. Sungguh situasi yang rusak-rusakan. Pemotongan anggaran yang hangat sekarang ini, apapun itu sebaiknya dipandang sebagai ‘shock therapy’ saja. Yang lebih penting adalah bagaimana membangun proses, dengan membayangkan misalnya, langkah-langkah kaizen, perubahan untuk lebih baik. *** (10-02-2025)

[1] https://www.etymonline.com/word/efficiency#etymonline_v_29714

[2] https://www.etymonline.com/word/efficient

1601. Diberikan Fakta - Dituduh Provokator

12-02-2025

Judul adalah unggahan-tanggapan dari Muhammad Said Didu[1] menanggapi tudingan dari akun yang menamakan dirinya Ulil Abshor -tidak ada hubungannya dengan Ulil Abshar-Abdalla[2]. Istilah provokator sendiri menjadi lebih populer ketika digunakan oleh Emma Goldman seorang tokoh anarkis di sekitar tahun 1915, dua tahun sebelum Revolusi Bolshevik meletus. Apakah fakta-fakta memang bisa berujung pada sebuah provokasi? Apakah ketika berkembang the society of the spectacle seperti dibayangkan oleh Guy Debord di tahun 1967, penyampaian fakta-fakta kemudian memprovokasi banyak hal? Terutama di ranah olah kuasa? Bagaimana ketika sosialisme utopis bertemu dengan sosialisme saintifiknya Marx? Bahkan di rentang waktu itu Gereja Katolik ‘terpaksa’ harus mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum di akhir abad-19 itu. Ensiklik yang dengan jelas berpihak pada kaum buruh.

Fakta-fakta, misalnya batu yang tergeletak di sana, atau rumah reyot dihuni oleh satu keluarga, atau adanya pagar laut, bisa dibayangkan dalam pandangan Karl Popper ada di ‘dunia pertama’. Tetapi ketika manusia melihat itu dan kemudian dikatakan pada yang lain, atau dicoba ‘diteorikan’, atau ditulis, digambar, diunggah, maka ia masuk pada ‘dunia ketiga’, katakanlah ‘dunia abstraksi’. ‘Dunia kedua’ adalah bagaimana itu dihayati lagi terutama hal-hal yang ada di ‘dunia ketiga’. Hadirnya ‘dunia abstraksi’ ini menjadi mungkin karena adanya bahasa dalam berbagai bentuknya. Maka fakta kemudian tidak sekedar fakta saja, tetapi sesuatu yang sudah dipersepsikan. Ketika sebuah buku yang (isinya) sudah terlempar di dunia ketiga itu, pada satu waktu memberikan sensasi tertentu dan kemudian mendorong item A dan B kemudian digaris tebal atau distabilo. Suatu saat bertahun kemudian, buku sama tetapi memberikan sensasi berbeda, dan yang kemudian distabilopun berbeda, misal item C dan D. Mungkin juga karena horison sudah berkembang atau dimajukan, sehingga sensasipun kemudian diterima secara ‘beda’ pula.

Sama-sama melihat ‘pagar laut’ akan memberikan sensasi-stimulus yang berbeda bagi banyak orang. Akan berkembang pula ketika horison dimajukan melalui tukar pengalaman, tukar pandangan, inter-subyektifitas. Perlahan ‘esensi’ dari ‘pagar laut’-pun semakin menampakkan diri. Ketika Heidegger menghayati kebenaran sebagai aletheia, modus komunikasi saat itu semakin bermacam dan memungkinkan bermacam pendapat dengan bermacam horison saling bertemu. Dengan berkembangnya modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital internet seperti sekarang ini, kebenaran sebagai aletheia dimana lapis-demi-lapis selubung fakta semakin terbuka, seakan menjadi semakin penting saja. Apa yang dilakukan oleh Marx dan Engels di bagian kedua abad-19 adalah juga dengan tanpa lelah membuka selubung fakta tentang keganasan kapitalisme saat itu. Bahkan juga tentang ‘gerak sejarah’. Apakah Marx saat itu adalah juga sang-provokator?

Noam Chomsky di sekitar Karl Popper memperkenalkan ‘teori tiga dunia’-nya mengatakan bahwa ketika satu sama lain semakin tahu apa yang menjadi sentiment masing-masing maka status quo akan terganggu. Dalam olah kuasa, status quo bisa dikatakan sebagai ‘penikmat kekuasaan’. Hobbes sudah menunjukkan bagaimana kuasa dalam banyak halnya adalah untuk melindungi segala kenikmatan yang sudah diperoleh. Situasi seperti itu membuat mempertahankan kekuasaan seakan sudah at all cost nuansanya. Hegemoni mati-matian dipertahankan demi langgengnya kenikmatan yang sudah di tangan. Tetapi di satu pihak, hegemoni akan mendapat tantangan serius melalui intensitas inter-subyektifitas yang terus meningkat. ‘War of position’ akan berlangsung semakin intens. Dan mungkin sekali akan dihadapi dengan segala kebrutalan, mulai dari pengerahan buzzer-buzzer untuk melakukan dis-informasi secara brutal, sampai dengan mbudeg secara radikal. Bahkan sampai pada titik tertentu akan digunakan kekuatan koersif dengan tanpa beban lagi. Brutal. Paradigma ‘jaman batu berakhir bukan karena habisnya batu’ itu bisa menjadi liar seliar-liarnya. Semau-maunya tidak hanya terhadap manusia lain, tetapi juga pada alam semesta. *** (12-02-2025)

[1] https://x.com/msaid_didu/status/1888596638836691158, 9 Februari 2025

[2] https://x.com/ulil

1602. Rejim Bingung Puting

15-02-2025

Seratus hari lebih pemerintahan baru ini bekerja, seakan menampakkan diri sebagai bayi dalam situasi ‘bingung puting’ atau nipple confusion. Bahkan kesimpulan sementara sebagai ‘rejim bingung puting’-pun rasanya masih dapat diterima. Bingung puting adalah situasi bayi karena bermacam sebab ia minum susu dari botol, tetapi ketika ia sudah bisa lagi minum susu ibu, bayi menjadi bingung dan seakan tidak mengenal-mampu menghisap dengan benar dari puting susu si-ibu. Kenikmatan rejim sebelumnya ketika bahkan sambil glècènan-pecingas-pecingis menari di atas genderang ‘sandera kasus’ seakan membuat bingung ketika rejim sesudahnya ingin ‘berbuat lain’. Ketika rejim terdahulu seakan tidak mau melihat ‘situasi kedaruratan’ riil dan bahkan sibuk bermain-main dengan ‘kedaruratan palsu’, tiba-tiba saja rejim selanjutnya dihadapkan di depan mata ‘situasi kedaruratan’ yang sungguh nyata. Paling tidak terkait dengan ‘kedaruratan anggaran’ karena rejim terdahulu begitu ugal-ugalannya dalam hal utang. Begitu ugal-ugalannya dalam menghambur-hamburkan anggaran. Bahkan berkembang juga habitat korup yang semakin subur dan meluas. Belum lagi ‘darurat kehormatan’. Karena begitu rakusnya rejim terdahulu yang bahkan ia minta susu dari botol sehingga 24 jam bisa dihisap terus menerus. Rakus, betul-betul rakus. Sehingga ketika rejim berganti, dan ada kesempatan untuk minum susu secara ‘alami’ langsung dari ibu-pertiwi dengan segala cita-citanya, rejim menjadi bingung, tidak tahu lagi bagaimana menghampiri cita-cita ibu pertiwi.

Air susu ibu terlebih pada fase awalnya, kaya akan zat perlindungan bagi bayi. Tidak hanya sekedar nutrisi. Dan kita bisa melihat, bagaimana rejim terdahulu menjadi sibuk dengan ‘sandera kasus’ untuk melindungi diri. Dia tidak pernah merasakan aliran zat perlindungan dari ibu pertiwi: kemampuan bernalar dan kehormatan. Elan vital perjuangan ibu pertiwi kemudian melenyap. Maka hanya dengan menghadirkan kembali kemampuan bernalar dan kehormatan sebenarnya ‘bingung puting’ bisa dihindarkan. Dengan kemampuan bernalar dan kehormatan maka segera saja ibu pertiwi akan lebih mudah untuk didekati. Dengan berkembangnya kemampuan bernalar dan kehormatan ibu pertiwi berhasil melawan keganasan-keserakahan penjajah dalam mengeruk kekayaan republik. Tetapi benarkah setelah ada di seberang jembatan emas pengerukan, keserakahan akan kekayaan republik terus berhenti? Dari bermacam catatan sejarah kita bisa belajar bagaimana peran penting dalam bernalar dan kehormatan-integritas itu mampu (atau tidak mampu karena menjadi rusak) melawan keganasan keserakahan akan uang. Tak jauh dari gambaran Platon melalui Alegori Kereta-nya. Memang Platon sering dituding sebagai yang ‘idealistik’, tetapi apapun itu ada yang mengatakan juga bahwa filsafat (Barat) sesudahnya tidak lebih dari ‘catatan kaki’ dari pemikiran Platon. Jadi otak-atik-gathuk di atas tetap bisalah sebagai pintu masuk ‘pemetaan masalah’, dengan tidak pernah melupakan bagaimana segala ‘nuansa’ bisa berkembang.

Memangnya penampakan menteri-menteri joget-an saat jamuan malam baru-baru ini bukannya tanpa maksud? Sama halnya penampakan berulang joget-an saat peringatan hari kemerdekaan itu, nampaknya itu adalah bagian dari upaya mengikis rasa hormat itu. Kehormatan yang dikikis dari segala penjuru. Jika menilik bagaimana kehormatan dihancurkan dari segala arahnya, rejim terdahulu itu memang layak disebut sebagai rejim anjing. Bahkan mungkin lebih rendah dari itu, anjingpun rasa-rasanya masih punya kehormatan sendiri. Dari bagaimana kehormatan diperlakukan dengan sewenang-wenang, rejim terdahulu itu memang sungguh merusak. Salah satu pondasi adanya sebuah negara-bangsa sudah dirusak dengan tanpa beban lagi. Sayangnya, ketika rejim baru mulai memegang kuasa, sungguh gejala ‘bingung puting’ ini sangat mengkhawatirkan. Godaan untuk kembali lagi pada langgam lama sungguh tinggal selangkah lagi. Apalagi jika kemampuan nalar-pun tidak kunjung menampakkan peran pentingnya. Akhirnya kehancuran republik-pun akan semakin dekat, hancur karena si-kuda hitam dalam Alegori Kereta-nya Platon itu semakin dominan-tak-terkendali. Rusak-rusak-an. *** (15-02-2025)

1603. Duapuluh Tahun Lalu

16-02-2025

When Joseph S. Nye Jnr. who has been a vocal critic of realism, asked US Secretary of Defense Donald Rumsfeld about the concept of ‘soft power’, Rumsfeld replied: “I don’t know what ‘soft power’ is.” Kutipan ini dari tulisan Brian C. Schmidt, Realist Conception of Power, dalam buku Power in World Politics (Editor, Felix Berenskoetter dan M.J. Williams, Routledge, 2007, hlm. 62). Donald Rumsfeld menjabat sebagai Menteri Pertahanan AS dua kali, pertama di bawah Presiden Gerald Ford, 1975-1977, dan kedua di bawah Presiden George W. Bush, tahun 2001 - 2006, atau kira-kira duapuluh tahun lalu.

Kutipan di atas tiba-tiba saja menyeruak keluar dari ingatan ketika melihat pidato Menteri Pertahanan AS tunjukan Donald Trump, Peter Hegseth di konferensi tentang pertahanan di Munich baru baru ini: We can talk all we want about values …. But we can’t shoot values … you can’t shoot flags … you can’t shoot strong speeches … there is no replacement for a hard power …[1] Peter Hegseth mengatakan itu dalam konteks pesanan Trump supaya negara-negara Eropa anggota NATO menaikkan anggaran pertahanannya, bahkan kalau bisa sampai 5%. Apakah di balik itu Trump sedang jualan senjata? Bisa ya, tetapi jika benarpun (mau jualan senjata) pastilah tidak sekedar itu.

Terkait dengan Perang Peloponnesia antara Athena dan Sparta lebih dari 2000 tahun lalu, Thucydides menulis ‘Melian Dialogue’ antara wakil Athena dan Melos, negara kecil yang maunya netral saat perang berkecamuk. Ditulis oleh Thucydides kata-kata tajam dari utusan Athena yang maunya Melos berpihak pada Athena pada perang tersebut, antara lain: “… when these matters are discussed by practical people, the standard of justice depends on the equality of power to compel and that in fact the strong do what they have the power to do and the weak accept what they have to accept.”[2]

Beberapa hal di atas adalah kecenderungan dalam ‘realisme politik’, dan apakah kemudian ada imbas pada ‘realisme ekonomi’? Apakah kemungkinan yang dipikirkan oleh Leo Strauss benar sebagai kemungkinan ketika ia berpendapat bahwa ekonomisme bisa kemudian berubah menjadi machiavellianism come to age’? Machiavelli yang menua, atau Machiavelli menumpuk harta? Ketika ‘manusia ekonomi’ yang sedang mengejar kepentingan diri itu ternyata adalah juga ‘manusia Machiavelli’. Misalnya, lebih baik ditakuti dari pada dicintai, dan dengan itu tanpa sungkan menggebrak dengan tariff dikombinasi dengan senjata teracung. Republik menjadi merdeka karena kemampuan nalar dan dorongan kehormatan menjadi mampu dalam melihat ‘tanda-tanda jaman’. Tanda-tanda jaman di masa sekarang dan ke depan, akan seperti apa? Dan jika itu adalah ‘tantangan’, respon apa yang akan dibangun? Joget-an?

Di sekitar-sekitar Donald Rumsfeld tidak percaya akan adanya ‘soft power’ seperti kutipan di awal tulisan, tiba-tiba saja muncul ‘krisis subprime mortgage’. Calon pengutang untuk membeli rumah yang sebenarnya berkategori subprime itu tetap saja mendapat kredit perumahan, dengan bunga lebih tinggi. Jika berhenti sampai di situ maka tidak akan ada masalah ketika ternyata pada suatu saat menjadi tidak mampu nyicil, dan tinggal ‘sita jaminan’. Masalahnya ‘surat utang’ itu kemudian diperjualbelikan di pasar uang. Tidak hanya surat utang tapi juga turunan-derivatif juga diperjual belikan. Bahkan sampai beberapa tingkat derivatifnya. Celakanya lagi, untuk jual-beli itu banyak yang pinjam dari bank umum. Ketika segala kebrutalan-keserakahan itu ambruk maka efek dominonya menjadi begitu mengerikan. Apakah nuansa brutal yang jauh dari prudence di ranah ekonomi ini juga terpengaruh dari brutalnya ranah politik? Atau (jangan-jangan) sebaliknya? *** (16-02-2025)

[1] https://www.youtube.com/watch?v=lv92XMklr-g

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/024-The-Melian-Dialogue/

1604. Pecas Ndahé, Cuk

18-02-2025

“Ndas-mu …!”

Plok …. plok …. plok ….

“Ndaaas-muu …!!”

Plok …. plok …. plok …. plok ….

“Ndaaaaaas-muuu ….. !!!”

Plok …. plok …. plok …. plok …. Plok … suit …. suit

(Monggo diterusaken piyambak-piyambak ngantos mèncrèt)

Sementara itu di luar Balai Desa, Mas D dibantu oleh keponakan Koh Bos dkk. membagi selebaran yang isinya:

“Efisiensi anggaran sering dikatakan demi program makan gratis (70 triliun). Padahal bagian terbesar untuk Danatara (325 triliun).

Trik ini dipakai Jokowi: Mencatut nasib pengangguran untuk meloloskan UU yang memperkuat oligarki dan konglomerasi pakai narasi “cipta Kerja”.[1] (18-02-20025)

[1] https://x.com/Dandhy_Laksono/status/1891617782459932781