1705. Dua Minggu Lagi: 240 Triliun!!!

01-07-2025

Dari rencana Rp 400 triliun untuk Koperasi DMP, 240 triliun akan mulai digelontorkan 12 Juli besok, saat koperasi itu diresmikan. Di bawah departemen apa nantinya Koperasi DMP itu berkoordinasi? Ia akan berkoordinasi di bawah departemen yang dipimpin oleh orang di bawah ini:

Asu Kabèh ...

1706. Tidak Mudah Untuk Belok 'Kiri'

02-07-2025

Spektrum ‘kanan’ - ‘kiri’ dalam hal ini dibayangkan seperti awal-awal istilah, di rentang waktu Revolusi Perancis, di bagian akhir abad 18. Ada di ‘kanan’ berarti mendukung ancient regime: jaman raja-raja dengan hirarki ketat, sedangkan ada di ‘kiri’ pendukung -katakanlah, liberty, equality, fraternity. Dalam pertemuan NATO baru-baru ini nampaknya Mark Rutte ‘diberi tugas’ untuk ngglembuki Donald Trump, maka keluarlah panggilan pada Trump: daddy. Menurut Lakoff, penampakan paling mudah dan bahkan sangat penting dari ideologi Partai Republik, terlebih sayap radikalnya adalah terkait dengan sosok strict father. Daddy yang akan memimpin dan tahu apa yang terbaik dalam dunia penuh mara-bahaya. Dan glembukan Mark Rutte nampaknya berhasil, paling tidak Trump tidak mengancam-ancam keluar NATO lagi. Suka atau tidak, baik Partai Republik maupun Demokrat di AS sono, bisa dikatakan sama-sama ‘ideologis’nya, dalam spektrumnya sendiri, Republik di kanan sedang Demokrat pasti akan mengambil posisi lebih kiri.

Dengan terus berkembangnya kapitalisme laissez-faire, ancient regime kemudian mengakomodir juga para pemilik modal besar, bahkan di banyak tempat kemudian menjadi para ‘aristokrat’ utamanya. Lihat apa yang disebut Trump sebagai One Big Beautiful Bill hari-hari ini, salah satu nuansanya adalah memberikan potongan pajak yang lebih dinikmati oleh kaum kaya, dan dalam waktu bersamaan memotong subsidi bagi peserta ‘Obamacare’ dari kelompok miskin. Ideologi ‘survival of the fittest’ dalam dunia penuh mara-bahaya seakan memberikan legitimasi mengapa Partai Republik mengambil putusan tersebut, meski dalam partainya sendiri ada yang tidak setuju, meski minor saja. Banyak pemilih Trump yang kemudian menjadi kecewa. Dan memang banyak ‘anomali’ dalam pemilihan, misal banyak yang setuju dengan program-program Partai Demokrat sebenarnya, tetapi karena isu kepemilikan senjata maka tetaplah memilih Republik. Itu dalam pertimbangan ‘mikro’nya, dalam ‘makro’nya, misal terkait isu MAGA itu. Atau bentuk-bentuk pompa hasrat lainnya: ultra-nasionalisme, xenophobia, dan sekitar-sekitarnya. Atau dalam pendapat Wilhelm Reich, eksploitasi ‘bawah sadar’ (Freudian).

“Tanpa tekanan dari sistem sosialis, maka kapitalisme hanya akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia. Jadi kesimpulannya: sistem kapitalisme itu baik kalau selalu diancam oleh sistem lain, sedangkan sistem sosialis itu baik kalau tidak diancam,” demikian ditulis Ignas Kleden dalam Sosialisme di Tepi Sungai Elbe, Kompas, 6 Juli 1996. Ketika terjadi pergeseran dari kosmosentris, teosentris, dan kemudian ke antroposentris (berpusat pada manusia -di Eropa sana), manusia apa adanya kemudian diterima sebagai realitas sebagaimana mestinya. Manusia apa adanya termasuk dengan segala hasratnya. “Desire is the very essence of man,” demikian menurut Spinoza (1632-1677). Jika jaman sebelumnya segala sisi gelap hasrat ‘dikendalikan’ oleh agama, bagaimana setelah hasrat dihayati sebagai bagian dari manusia apa adanya? Maka tidak mengherankan Adam Smith (1723-1790) misalnya, dalam tulisan-tulisannya sering menyinggung ajaran Yunani Kuno, termasuk ajaran Stoa. Dalam semangat renaissance: re-birth. Kapitalisme adalah juga soal hasrat (kepentingan diri) sehingga memang mempunyai potensi besar akan menjadi sangat kasar, buas, dan memangsa manusia, jika memakai kutipan tulisan Ignas Kleden di atas.

Tujuan dari tulisan ini ingin mengingatkan bahwa memang tidak mudah untuk belok ‘kiri’, dalam arti liberty, equality, fraternity seperti disinggung di atas, terutama dalam hal equality. Program BPJS Kesehatan adalah salah satu contoh ‘belok kiri’ yang sungguh tidak mudah. Itupun sudah didukung dengan Puskesmas aktif tersebar di seluruh Indonesia selama berpuluh tahun. Ada sekitar 10.416 Puskesmas tersebar di 7.288 kecamatan di republik sampai saat ini. Dalam konteks BPJS, ada sekitar 23.474 fasilitas kesehatan tingkat pertama, termasuk Puskesmas tentunya. Sedangkan fasilitas rujukan tingkat lanjutan ada 3.140 RS/Klinik Utama dan 5.755 apotek/optic. Dari sejak aktif mulai 2014, jumlah klaim berkembang dari 252.000 per hari menjadi 1,7 juta klaim per hari. Tentu banyak masalah yang masih perlu diperhatikan. Bahkan pernah terlontar pula ada kemungkinan gagal bayar jika tidak dilakukan perbaikan-perbaikan. Dari banyak masalah yang berasal dari semua stakeholders, sebagian besarnya terkait dengan hasrat (gelap). Macam-macam penampakannya.

Dalam banyak hal nampaknya memang ‘ancaman’ utama ketika ‘belok kiri’ adalah gejolak hasrat. Bahkan Adam Smith-pun sampai mengajukan term famous sect dalam Theory of Moral Sentiment di tengah-tengah altar suci kepentingan diri. ‘Sekte agung’ yang mempunyai keutamaan lebih dibanding yang sibuk dalam ‘pasar’. Lebih terutama dalam hal ‘tahu batas’. Salah satu rute bagaimana gejolak hasrat itu bisa ‘dikendalikan’ adalah menabrakkan dengan hasrat lain: agere contra. Dan ini perlu latihan (keras). Jika hal-hal di atas dirasa kurang cukup, akankah perlu daya paksa lebih? Seperti Korea Utara, misalnya. Apapun pilihannya, ada konsekuensinya.

Dua minggu lagi kita patut khawatir uang sebesar 240 triliun itu sebagian besarnya akan menguap begitu saja. Jadi kentut. Indikasi awal: terlalu banyak orang-orang di lingkaran pusatnya yang tidak terlatih untuk ‘tahu batas’. Program Koperasi DMP itu akan gagal, bahkan sebelum diresmikan. Maunya ‘belok kiri’, jadinya malah bancakan-penjarahan massal. Padahal itu uang pajak kita. Asu. *** (02-07-2025)

1707. Dari Devil's Advocate ke Devil's Gambit?

04-07-2025

Advocatus diaboli (devil’s advocate) dikenal dalam Gereja Katolik sebagai ‘penyeimbang’ ketika penelitian terhadap sosok yang akan dijadikan santo/santa dijalankan. Dia mengambil posisi melakukan kritik atau argument kontra terhadap advocatus dei. Tujuan utama adalah mencari kebenaran, jangan sampai salah dalam menetapkan seseorang untuk menjadi santo/santa, sosok yang diyakini sebagai suci. Sebelas tahun lalu The Atlantic memuat tulisan Dominic Tierney, professor ilmu politik dari Swarthmore College: Bashar al-Assad and the Devil’s Gambit.[1] Inti dari devil’s gambit adalah ‘musuhnya musuh adalah teman’. Dalam perjalanan kekuasaan sejak tahun 2000-an, al-Assad sering lebih tidak disukai oleh Barat, terutama AS. Macam-macam sebabnya. Tetapi sejak al-Assad getol menghantam ISIS, ia de facto telah menjadi sekutu AS. Dinamika relasi antara patron (pakta dominasi primer) dengan klien (pakta dominasi sekunder) ternyata bentuk ‘upeti’-nya macam-macam. Dan berkembanglah bermacam spesialis untuk ‘upeti-upeti’ tertentu, dari ranah apa yang disebut John Perkins sebagai ‘economic hitman’ (atau hitwoman), sampai spesialis yang punya ketrampilan sebagai ‘pencipta monster’. Monster-monster diciptakan untuk akhirnya ‘disikat’ sesuai yang sedang jadi demennya sik-patron: musuhnya musuh adalah teman.

Jadi bukan devil’s advocate yang berkembang, tetapi devil’s gambit. Bukan ‘kebenaran’ yang dicari, tetapi semata soal kuasa. Bukan soal daulat, tetapi per-kacung-an. Tetapi bukankah riil politik yang dialami oleh ‘pakta dominasi sekunder’ tidak jauh-jauh amat dari situasi tersebut? Pada konteks seperti inilah kita bisa bicara soal pentingnya kaum teknokrat. Tentu kita tidak boleh melupakan peran penting kaum intelektual (organic), masyarakat sipil, aktifis, dan pers. Mengapa kaum teknokrat menjadi penting? Karena paling tidak ia bisa menjaga devil’s advocate tidak terus menghilang. Tidak terus tenggelam dalam keasyikan bermain devil’s gambit, bahkan kemudian terus menurun layaknya MLM saja. Yang di jaman old menampakkan diri dalam istilah ABS itu. Atau yang sering kita lihat melalui layar TVRI doeloe: “Atas petunjuk bapak.”

Bagi khalayak kebanyakan, devil’s gambit ini tidak hanya akan terlibat dalam obstruction of justice di ujung sana misalnya, tetapi lebih dari itu: obstruction of hope. Tidak kemudian sibuk memperjuangkan harapan, tetapi menjadi asyik dalam ‘perburuan monster’, misalnya. Sementara ‘para pencipta monster’ dan rejim kuasanya, seakan sedang menikmati kenikmatan tanpa batas karena mendapat dukungan dari ‘pakta dominasi primer’ melalui rute ‘musuhnya musuh adalah teman’. Dari Rene Girard melalui ‘teori segitiga hasrat’nya kita bisa melihat kemungkinan itu. Adanya ‘kambing hitam’ akan membuat subyek (baca: klien) dan model (baca: patron) membuat ‘penguasaan bersama’ (obyek) menjadi ‘terpelihara’. Tidak kemudian menjadi retak ketika pada titik tertentu berkembang rivalitas antara subyek dan model. Subyek akan menghasrati O (obyek) karena meniru M (model) yang menghasrati O, demikian menurut Girard.

Ketika Tembok Berlin runtuh dan USSR mengalami balkanisasi, perlahan tapi pasti ‘kambing hitam’-nya tiba-tiba saja semakin tidak ‘hitam’ lagi. Rivalitas antara S dan M-pun semakin ‘terbuka’. Gelombang baru globalisasi itu seakan sedang cari-cari ‘kambing hitam’ baru juga. Singkat cerita, yang dulu menjadi S, tiba-tiba saja terjerembab menjadi sik-‘kambing hitam’. Ketika O yang dihasrati oleh M sudah bukan dalam nuansa Perang Dingin lagi, tetapi lebih pada bebasnya lalu-lintas modal. Bagaimana dengan sekarang ketika tiba-tiba saja soal tariff yang tak terbayangkan ketika Konsensus Washington muncul sekitar 40 tahun lalu, hari-hari ini justru sedang heboh? Jika ada yang tahunya hanya membuat ‘monster’, apa ‘monster’ baru yang akan dimainken? *** (04-07-2025)

[1] https://www.theatlantic.com/international/archive/2014/07/assad-and-the-art-of-the-devils-gambit/374501/

1708. Aku Berpikir Maka Aku Ada? (1)

06-07-2025

Cogito ergo sum, demikian dikatakan oleh Rene Descartes (1596-1650). Aku berpikir maka aku ada. Benarkah? Apakah semua hal kemudian diragukan lebih dulu, sehingga menjadi yakin nantinya di ujung sana bahwa aku ada? Berapa kali kita berpikir lebih dahulu sebelum bertindak? Bukankah sebagian besar hidup dijalani dengan taken for granted saja? Sebagian besar hidup ternyata dijalani tidak didahului oleh refleksi mendalam lebih dahulu. Bangun, mandi, sarapan, berangkat kerja atau sekolah, dijalani begitu saja. Dulu-dulu, kemarin-kemarin ya begitu. Sebelum buang air besar, siapkan rokok lebih dahulu, tanpa berpikir lagi. Seakan kita dituntun oleh endapan ingatan atau pengalaman masa lalu. Endapan ingatan, pengalaman masa lalu seakan menjadi ‘arena mitis’ yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Dan itu perlahan membentuk dunia kita sehari-hari, dan kemudian menjadi ‘zona nyaman’ dalam menjalani hidup. Maka bagi Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, ‘tahap mitis’ bukanlah berarti lebih rendah dari tahap-tahap lainnya, ontologis dan fungsionil. Masalahnya adalah bablasannya, magis. Begitu tertutup, terkurung seakan tidak mau dan atau mampu melangkah ke tahap ontologis dan fungsionil.

Untuk mengatasi situasi homeless bagi warganya, beberapa negara mengembangkan program Housing First. Menyediakan tempat tinggal lebih dari sekedar penampungan sementara, tetapi rumah tinggal permanen. Dan hasilnya sangat baik. Tentu ada fasilitas lain yang terintegrasi dalam program tersebut. Yang mau dikatakan di sini adalah tempat tinggal dalam jangka waktu lama itu akan membangun sebuah ‘dunia’ yang berasal dari ke-‘taken for granted’-an keseharian. Membangun ‘keberakarannya’ sendiri. Dan dengan itu pula ia semakin mungkin untuk masuk dalam ‘tahap ontologis’ dan ‘tahap fungsionil’. Dalam dunia tempat berpijak itu ia kemudian membangun horisonnya. Horison bagaimanapun perlu ‘titik berangkat/pijaknya’. Kita berdiri di pantai misalnya, dan cakrawala di ujung laut di sana adalah batas horison saat itu. Dan dengan adanya horison maka tiba-tiba saja bermacam kemungkinan menampakkan diri. Dilihat dari soal horison ini, kemajuan pada dasarnya adalah juga ‘memajukan’ horison, dengan segala ‘tambahan’ kemungkinannya.

Bermacam kemungkinan hadir di dalam horison, kemungkinan yang bisa diprediksi maupun yang tidak. Bahkan ketika keyakinan bahwa semua angsa itu berwarna putih, tetap saja black swan bisa tiba-tiba dimungkinkan ada. Dunia yang damai ini bisa-bisa runtuh dalam sekejap akibat perang, misalnya. Atau pandemi. Bisa terjelaskan, dan bisa tidak. Horison yang terbangun dengan titik pijak ‘zona nyaman’, tetapi juga tiba-tiba saja menghadirkan bermacam kemungkinan, bahkan chaos sebagai kemungkinan. Ketidak-nyamanan tiba-tiba saja ada di depan mata. Tetapi untung saja manusia pada dasarnya ada bersama manusia-manusia lain. Bersama dengan manusia lain dimana ia bisa membagikan horisonnya, dan bisa juga kemudian memajukan horison bersama. Ketika ia melihat A mirip dengan B, demikian juga C, dan D, maka ia membayangkan bahwa semuanya adalah sama. Ia kemudian mendiskusikan imajinasinya tentang ‘hal sama’ itu dengan imajinasi manusia lain yang juga melihat A, B, C, dan D. Dalam inter-subyektifitas yang (pasti) saling membuka diri itu, bisa saja sampai pada pandangan yang sama, atau tidak. Yang penting adalah saling membuka diri. Atau dalam bahasa Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, siap masuk dalam tahap ontologis. Tahap ‘mitis’ yang digambarkan sebagai lingkaran tertutup itu mengalami keretakannya. Tetapi bagaimana itu dimungkinkan? Karena manusia mengembangkan bahasa.

Bahkan Heidegger sampai mengatakan bahwa bahasa adalah rumah bagi being, katakanlah manusia. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi saja, tetapi ia akan membantu manusia membangun keberakarannya. Dan dengan itu pula, seperti sudah disinggung di atas, horison lebih dimungkinkan untuk hadir. Bahkan dengan bahasa, hal di luar horison yang tidak hanya penuh dengan ketidak-pastian, chaos, tetapi juga rapuh itu, bisa diterobos melalui olah seni, misalnya. Dari seni prosa, dan terutama puisi. Manusia menjadi tidak mudah ‘bunuh diri’ seperti digambarkan oleh Robert Levi di sekitar 1970-an ketika menemukan tingginya angka bunuh diri di Haiti waktu itu karena hipokognosi. Tidak ada kata yang mewakili perasaan sedih, tak enak-mengganggu, ketika menghadapi peristiwa yang sungguh menyedihkan, karena kehilangan sesuatu yang sangat berharga misalnya. Maka pula serapan bahasa asing tetap saja terus berlangsung. Tidak masalah. Atau bagaimana Heidegger misalnya, begitu menyukai puisi-puisi dari Holderlin. “With Heideggers’s first Holderlin lecture in 1934-35, poetry became the thinker’s key partner in the search for an ‘other beginning’ of thought,” demikian ditulis A. Grossmann (2004).[1] *** (06-07-2025)

[1] Andreas Gossmann, The Myth of Poetry: On Heidegger’s “Hordelin”, dalam The Comparatist, Vol 2, May 2004, hlm. 29

1709. Aku Berpikir Maka Aku Ada? (2)

07-07-2025

Peradaban bisa lenyap karena tantangan terlalu besar, misal tiba-tiba saja ada bencana maha-dahsyat, demikian dikatakan Arnold J. Toynbee. Macam-macam bentuk tantangan yang sampai melenyapkan peradaban itu. Dari penyakit flu yang masuk tanpa permisi di jaman doeloe, serangan bangsa lain dari nun jauh di seberang lautan sana, sampai gunung meletus. Seakan kita hidup dalam dunia yang begitu rapuhnya. Dengan adanya horison maka kita bisa membangun musik klasik dengan partitur-partitur ketatnya. Tetapi di luar horison yang penuh dengan kejutan, kerapuhan, ketidak-pastian, maka nampaknya kita juga harus siap bermain musik jazz yang dimungkinkan adanya improvisasi. Bagaimana improvisasi menjadi mungkin?

Atau katakanlah, bagaimana improvisasi menjadi mungkin dalam percepatannya? Sehingga sungguh akan memberikan sebuah daya tahan? Dari ‘pendidikan klasik’ yang terdiri dari trivium dan quadrivium itu kita bisa banyak belajar. ‘Pendidikan klasik’ sering disebut sebagai liberals art, untuk mencapai kemerdekaan diri, melalui pendidikan bahasa dan angka. Musik sebagai bagian dari quadrivium misalnya, adalah soal angka dalam kontinyuitasnya. Dengan ditambah ‘elan vital’ maka kemampuan dalam bahasa dan angka (dan kemerdekaan diri) nampaknya akan memberikan bahan mentah ketika improvisasi mendapatkan tantangannya. Ketika tantangan hadir dengan penuh tiba-tiba, kejutan, dan bisa-bisa berdampak dahsyat. Bergson (1859-1941) membayangkan itu sebagai creative evolution. Maka bermain musik jazz, meski di depan ada lembar partiturnya, tetap saja masing-masing mempunyai kemerdekaan diri untuk menambah atau meluaskan nada.

Maka adalah penting (terutama) bagi sik-‘kapital simbolik’ (ter)tinggi untuk memperhatikan hal-hal di atas. Tidak untuk penguasaan semata seperti dalam novel 1984-nya George Orwell yang bahkan merasa perlu untuk membuat bahasa baru, newspeak: “One Big Beautiful Bill,” demikian kata sik-Donald itu, tetapi bahasa adalah untuk ‘membangun rumah’ yang ‘tahan bencana’ juga. ‘Rumah tahan bencana’ yang dibangun oleh bahasa yang sungguh ‘bermartabat’ karena bisa di cek-ricek dengan realitas. Atau perilaku. Bahasa yang diberi kesempatan luas untuk menerobos batas horison melalui olah kreativitas para seniman, misalnya. Bahasa yang akan digunakan juga untuk saling membagi imajinasi. Intinya, bahasa lebih dari sekedar alat (komunikasi). ‘Paket komplit’ bahasa (grammar, logika, retorika -trivium) yang akan juga membuat lebih mungkin bicara soal abstrak, angka -quadrivium.

Coba kita bayangkan seorang pejabat tinggi di Jepang ketika ditanya wartawan, jawabnya: “Sudah tapi belum.” Sambil cengèngèsan lagi. Lucu? Ndas-mu! Atau ketika ditanya soal tragedi Kanjuruhan yang membuat 135 nyawa melayang, dijawab sambil pecingas-pecingis: “Lain waktu.” Jika itu terjadi di Jepang, yang bahkan karena keseleo lidah saja sudah mundur dari jabatan, maka mungkin pejabat seperti itu sudah ditimpuk telur busuk. Dan baru-baru ini, semacam buzzer (mereka tidak mau disebut buzzer) itu kumpul dengan wapres. Andalan mereka: bahasa. Maka jika ada pejabat publik baik langsung atau tidak -melalui tangan-tangan lain, berulang dan berulang ia merusak ‘kehormatan-martabat’ bahasa, sungguh itu adalah laku merusak republik. Rusak-rusakan. Merusak tidak hanya hari-hari ini, tetapi juga masa depan republik. Daya tahan republik dalam mengantisipasi bermacam ‘kejutan’ di masa depan bisa-bisa menjadi miskin improvisasi. ‘Musik jazz’ menjadi terseok-seok untuk menampakkan dirinya. Melambat, tanpa kemungkinan dalam percepatan. *** (07-07-2015)