1615. Ray Dalio

10-03-2025

Suka atau tidak, Ray Dalio seorang pengusaha dan intelektual dari AS telah memberikan masukan secara langsung di lingkar kekuasaan baru-baru ini. Dan ini adalah untuk kedua kalinya ia hadir di republik, sebelumnya kurang lebih enam bulan lalu. Salah satu yang muncul dalam pemberitaan selain tentu terkait ‘why nations succeed and fail’ adalah ‘uang bisa membeli kekuasaan’. Apa yang dilakukan Dalio sebagai intelektual adalah mempelajari ‘pola’ sampai ratusan tahun sebelumnya. Mungkin dengan pemahaman mendalam tentang ‘pola’ ini kemampuan memprediksinya menjadi terasah, dan ini tentu akan mendukung keberhasilan dalam bisnis investasinya.

Uang bisa membeli kekuasaan” tentu bukan hal baru. Dalam sudut pandang agak berbeda, Marx dan Engels sekitar 150 tahun lalu sudah melihat bahwa ‘uang’ lebih dari ‘bisa membeli kekuasaan’, tetapi bahkan mampu menentukan ‘bentuk kekuasaan’ menampakkan diri. Bagaimana misalnya ketika ‘uang’ itu kemudian bermain dalam relasi-relasi kekuatan produksi kapitalistis maka ‘bentuk kekuasaan’-pun akan berubah. Atau paling tidak akan ‘menyesuaikan diri’ habis-habisan. Jadi bukan sekedar ‘uang’ saja, tetapi ‘uang’ yang tidak lepas dari perkembangan mode of production. Sayangnya Ray Dalio tidak menyebut tentang mode of production ini, mungkinkah karena ia sudah yakin bahwa kapitalisme ini adalah ‘akhir dari sejarah’?

Dari pemberitaan memang Ray Dalio lebih bicara soal ‘why nations succeed and fail’. Dari bukunya The Changing World Order, Why Nations Succeed and Fail (2021) apa yang disebut sebagai faktor-faktor determinan yang akan membuat sebuah bangsa akan sukses atau gagal sebenarnya bisa dikelompokkan menjadi kekuatan uang, kekuatan kekerasan, dan kekuatan pengetahuan jika memakai terminology Alvin Toffler (1990). Dengan memakai analogi zona goldilocks maka bermacam (kelompok) determinan itu bisa bergeser ‘ke-kanan-kiri’ sehingga dapat membuat sebuah bangsa terpental dari zona goldilocks-nya sehingga menjadi ‘bangsa gagal’. Karena zona goldilocks di sini berurusan dengan manusia dengan segala hasratnya. Dan sebenarnya keprihatinan akan nasib manusia ini sebenarnya Marx dan Engels mendapatkan bahan bakar intelektual utamanya. Bagaimana dengan Ray Dalio?

Jika memakai Alegori Kereta-nya Platon nampaknya akan semakin jelas ‘duduk perkara’ pemikiran Ray Dalio itu. Pembedaan kekuatan pengetahuan, kekerasan, dan uang seperti dipaparkan Alvin Toffler di atas bisa juga dibayangkan sebagai sais, kuda putih, dan kuda hitam dalam Alegori Kereta-nya Platon. Dan nampaknya ada tiga ‘model’ yang bisa menjadi bahan pelajaran, pertama ketika kekuatan kekerasan menjadi ujung tombak seperti Rusia, atau Korea Utara, kedua, kekuatan uang seperti AS hari-hari ini, dan ketiga, kekuatan pengetahuan seperti China atau Jepang. Tentu ketiga-tiganya akan selalu ada, tetapi apa yang menjadi ujung tombak? Ray Dalio menyinggung soal naiknya kemampuan dan pengaruh China dalam world order, bahkan ia mengatakan sudah ‘dekat’ dengan China sejak Deng Xiaoping. Deng Xiaoping sampai Xi Jinping jika kita amati perlahan dan terus menerus ‘melepas’ si-kuda hitam dengan tetap kukuh sebagai sais yang mengandalkan kekuatan pengetahuan. Dalam Alegori Kereta-nya Platon, meski si-kuda hitam itu cenderung semau-maunya, bahkan cenderung tidak mau mendengar kata si-sais serta maunya meluncur ‘ke bawah’ saja, tetapi nyatanya tidak kemudian terus dibunuh atau dihilangkan. Tenaga yang meledak-ledak itu tetap diperlukan sehingga kereta menjadi semakin mampu naik ke atas mendekat pada ‘kebaikan para dewa’. Dengan bantuan si-kuda putih yang juga menggambarkan ‘kehormatan’ dan juga cenderung mau mendengar si-sais, maka kuda hitam akan menjadi lebih mudah untuk ‘dikendalikan’. Bahkan itu masih dibantu dengan adanya sayap -katakanlah ‘elan vital’, di kanan-kiri kereta.

Maka ketika ekonomi bergeser dari oikos-nomos ke apa yang disebut Leo Strauss sebagai ‘Machiavelli yang menua’ atau diterjemahkan oleh B. Herry Priyono sebagai ‘Machiavelli menumpuk harta’, sais sebenarnya sudah dikooptasi oleh si-kuda hitam. Bahkan si-kuda putihpun menjadi lebih mendengar bisikan-godaan dari si-kuda hitam. Segala gejolak hasrat ini bisa dikatakan telah mendorong hidup bersama terpental dari zona goldilocks-nya. Atau dalam kata-kata Ray Danilo menjadi bangsa gagal. Ketidak adilan akan menyeruak semakin menampakkan diri dengan tanpa beban lagi, dan akhirnya hidup bersama akan masuk seperti dibayangkan oleh Uskup Dom Helder Camara sebagai ‘spiral kekerasan’.

Kemampuan sais dalam dunia olah kuasa di mana kuasa dalam berbagai bentuknya ada tersebar di mana-mana itu dalam bahasa sekarang mungkin saja terhayati sebagai ‘yang terpercaya’, mampu membangun trust. Dan yang disampaikan oleh Anies Baswedan dalam diskusi di Mesjid Salman ITB baru-baru ini adalah sangat tepat, bahwa trust itu ada pengurang-nya yang sangat besar yaitu: kepentingan diri, self-interest. Atau dalam kata-kata lain, ia harus ‘tahu batas’. *** (10-03-2025)

1616. Sampah di Depan James Webb (1)

12-03-2025

Teleskop luar angkasa Hubble diluncurkan masuk orbitnya tahun 1990. Tiga puluh tahun kemudian, teleskop luar angkasa lebih canggih diluncurkan di tahun 2021, namanya: James Webb, mengambil nama pimpinan NASA 1961-1968. Teleskop untuk melihat luar angkasa itu telah berkembang sejak tahun 1600-an. Dan sesuai dengan perkembangan teleskop, pemahaman tentang angkasa luar juga terus berkembang, terus ‘dimajukan’. Tak kecuali ketika teleskop luar angkasa James Webb mulai mengirim hasil operasionalnya, bermacam perdebatanpun menyeruak di kalangan para ahli. The truth is out there -demikian fim serial TV X-Files diawali di setiap serinya, lapis demi lapis semakin terkuak, atau kata Heidegger, kebenaran sebagai aletheia. Tetapi apakah mendekati kebenaran itu hanya bisa dengan bantuan tekhnologi yang semakin canggih? Atau hanya melalui metode saintifik yang ketat?

Seseorang melihat A ternyata mirip dengan B. Dalam peristiwa lain, ia melihat kemiripan itu lagi. Imajinasipun berkembang, dan tidak hanya mirip, tetapi sama. Tentu kesimpulan ini harus dicek lagi, entah diuji lagi dengan fakta-fakta yang ada atau dikomunikasikan dengan imajinasi-imajinasi lain melalui intersubyektifitas. Karena bagaimanapun imajinasi bisa berkembang menjadi begitu liarnya. Atau jika meminjam istilah Karl Popper, salah satunya kemudian dilakukan ‘elimination error’. Maka sikap terbuka menjadi penting di sini. Kebenaranpun kemudian tidak hanya menjadi monopoli dari ‘rute obyektif saintifik’ belaka. Aletheia ternyata bisa didekati dengan intersubyektifitas. Dan bahkan dalam banyak halnya, dengan itulah (kebenaran) hidup dalam hidup bersama dihayati - dijalani sehari-harinya. Bandingkan ketika ‘langgam’ di atas tiba-tiba ‘lenyap’ dalam ranah psikologi kerumunan. Gustave Le Bon melalui The Crowd: A Study of the Popular Mind (1895) menunjukkan bagaimana soal ‘kebenaran’ menjadi mudah untuk dicampakkan. Tidak pernah ada peristiwa ‘elimination error’ ketika psikologi kerumunan sudah memuncak. Atau dalam tilikan Wilhelm Reich empat puluh tahun kemudian, fasisme membesar dengan berangkat dari eksploitasi ketidak-sadaran, atau dalam ranah Freudian: eksploitasi it.

Bagaimana intersubyektifitas seperti sudah disinggung di atas jika kemudian dibayangkan dalam sebuah ‘rantai produksi’? Ketika sebuah produksi mobil misalnya, melibatkan bermacam pemasok untuk bermacam bagian-bagiannya? Bahwa itu melibatkan standarisasi tertentu sudah semestinya, tetapi itu akan bisa dicapai juga dengan ‘kontak intensif’ yang akan melibatkan ‘error elimination’ juga. Tidak hanya menaikkan gaji sehingga karyawan mampu membeli mobil rakitannya seperti dilakukan oleh Henry Ford, tetapi banyak pihak mampu naik penghasilannya dengan terlibat sebagai pemasok dalam rantai produksi. Atau kalau memakai pembedaan tekhnologi oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo, ada teknologi adaptif yang dikembangkan. Apa yang dilakukan oleh Jepang dan China sekarang ini tidak lepas juga dengan proses ini, bagaimana meningkatkan ‘daya beli’ dalam segala kesempatan dalam bermacam rantai produksi. Dalam kapitalisme, suka atau tidak bargaining position tertinggi adalah: daya beli. Dan bagaimana jika lebih dari satu milyar penduduk ber-daya beli dengan spektrum komplit?

Teleskop luar angkasa Hubble atau James Webb jika menurut pembedaan Sumitro masuk dalam ranah advanced technology. Bisakah kita membayangkan dalam sebuah produksi ia sudah seperti korporasi besar? Sebuah korporasi yang bahkan kekuatan ekonominya bisa lebih besar dari satu negara? Yang bahkan sudah yakin bahwa ia bisa mendikte tidak hanya individu-individu, tetapi juga sebuah negara-bangsa? Dan kemudian ‘melupakan’ bangunan rantai pemasok yang di ujung sana akan mampu meningkatkan daya beli? Maka bayang-bayang praktek imperialistic-pun akan membesar juga. Sudah bukan soal pernak-pernik gemeinschaft lagi. Segala hal yang saintifik terlebih dalam bayang-bayang advanced technology itu kemudian mengklaim diri sebagai realitas obyektif satu-satunya. *** (12-03-2025)