1710. Aku Berpikir Maka Aku Ada? (3)

08-07-2025

Konteks bahasa dari pejabat publik sik-pengumpul dan pengelola pajak tentu berbeda dengan yang terhormat pembayar pajak. ‘Permainan bahasa’-nya tentu akan berbeda. Bagi sik-pengumpul dan pengelola pajak, konteks sebagai bagian ‘permainan bahasa’ akan lekat dengan pertanggung-jawaban. Sedang bagi yang terhormat pembayar pajak: ada konteks kewajiban yang akan menampakkan diri dengan bermacam nuansanya. Dari misuh-misuh mengumpat sampai dengan ikhlas. Karena ada konteks pertanggung-jawaban dalam ber-bahasa, maka sik-pengumpul dan pengelola pajak tidak bisa ber-bahasa sambil glécénan seenaknya, cengèngèsan, tidak serius, asal mangap, asal njeplak, asal ancam, semau-maunya, atau terlalu banyak nipunya. Semestinya tidak begitu, kecuali memang ada yang sedang merubah ‘aturan main’ bahasa pejabat publik untuk dilepas dari konteks tanggung-jawabnya. Dan kemudian ‘dibiasakan’ -terlembaga. Rusak-rusakan.

Dengan kaki depan dibebaskan dari fungsi berjalan maka jari--jari semakin mampu mengembangkan motorik halusnya dan ini kemudian memicu berkembangnya area otak yang bertanggung jawab terhadap kemampuan bicara. Bahasapun kemudian berkembang, termasuk untuk mengkomunikasikan apa yang diketahui dan yang tidak. Dengan bahasa, kecerdasan ikut terlatih dan berkembang. Juga mengkomunikasikan perasaan-perasaan. Bahasa ternyata berperan penting juga dalam kedekatan-kedekatan. Seperti dalam tubuh, ada mekanisme ‘umpan balik’ juga. Tetapi manusia hidup tidak hanya dengan kata dan angka, ada hasrat-hasratnya juga. Gejolak hasrat yang menjadi mungkin terjadinya ‘perbudakan bahasa’. Bahasa dengan segala logika yang mampu digendongnya akhirnya diabdikan pada ‘kejahatan hasrat’ yang seakan tanpa batas itu. Paling tidak 10 tahun terakhir, itulah yang terjadi. ‘

Permainan bahasa’ menjadi ‘permainan kuasa’ semata. Dan tiba-tiba saja bahasa dijauhkan dari fungsi mencerdaskan. Bagaimana mau mencerdaskan jika apa yang keluar dari mulut sebagian besarnya ‘tidak bisa dipercaya’? Bahasa kemudian terlibat intens dalam merusak hubungan antar warga, melalui tangan-tangan buzzerRp laknat itu. Syarat kemungkinan untuk ‘menunda’ ke-taken for granted-an: saling membuka diri, menjadi semakin tipis. Keretakan terhadap ‘lingkaran tertutup’ dalam ‘tahap mitis’ itupun juga menjadi semakin tipis kemungkinannya. Akhirnya menjadi mudah termakan ‘sihir’ yang bahkan keluar dari mulut yang jauh dari mencerdaskan itu. Kata dan angka seakan menjadi lumpuh ketika hasrat di eksploitasi, ketika hasrat yang banyak ngendon di ‘bawah sadar’ itu dieksploitasi sedemikian rupa sehingga kata dan angka yang banyak ada di ‘bagian sadar’ seakan dalam situasi ‘tercekik’. Terus menerus.

Maka bukan ‘aku berpikir maka aku ada’, tetapi ‘aku berpikir maka aku tetap ada’. Dengan berpikir maka ke-taken for granted-an itu dapat diperluas, dapat paling tidak dipertahankan. Tidak justru ‘saling melenyapkan’ seperti peristiwa holocaust jaman doeloe itu. Atau tidak menjadikan evil menjadi begitu banal-nya. Paling tidak sepuluh tahun kita semakin melihat penampakan sungguh telanjang dari sik-pengumpul dan pengelola pajak yang sebenarnya sudah masuk kategori ‘banality of evil’. Rejim ‘orang baik’ itu tidak hanya merusak republik, tetapi juga sungguh jahat. Lihat ketika termul-termul itu mulai bicara dan pethakilan, apa yang menampakkan diri? Evil, setan, dan tidak yang lainnya. *** (08-07-2025)