1635. Negosiasi a la 2500 Tahun Lalu
06-04-2025
Dalam Fenomenologi, negosiasi selalu merupakan nonindependent parts atau moments, (cat. ada koreksi setelah 4 jam upload, maaf) dalam arti ia sebenarnya tidak bisa lepas dari ‘the whole’. Ketika kemudian terjadi negosiasi terkait dengan perang tarif yang ditabuh oleh Trump dan gerombolannya hari-hari ini, maka itu tidak hanya soal negosiasi di atas meja ‘kekuatan uang atau dagang’, tetapi juga semua kekuatan ada di situ, atau kalau meminjam istilah Alvin Toffler, tidak lepas juga dengan ‘kekuatan kekerasan’ dan ‘kekuatan pengetahuan’. Thucydides dalam ‘laporan’ Perang Peloponnesia antara Athena dan Sparta sekitar 400 tahun Sebelum Masehi, melaporkan juga bagaimana terjadi ‘negosiasi’ antara utusan Athena dan pemerintahan Melos yang catatan tentang ‘negosiasi’ itu kemudian dikenal sebagai Dialog Melian.[1] Utusan Athena datang ke Melos untuk menegosiasikan supaya Melos memihak Athena dalam perang tersebut, dan tidak netral seperti yang dimaui Melos. Ujung dari ‘negosiasi’ itu kemudian menjadi salah satu prinsip dari ‘realisme politik’, yang lemah harus ikut perintah dari yang kuat.
Maka jangan heran ketika akan terjadi negosiasi terkait dengan tarif di AS sono, Houthi di Yaman sana kemudian digempur habis-habisan. Atau bagaimana Israel kemudian semakin gatal saja. Atau bagaimana ketika akses Ukraina terkait dengan data intelejen perang Ukraina-Rusia ditutup, Ukraine menjadi lebih rapuh atau serangan menjadi kurang greget. Atau penampakan bagaimana negosiasi tarif antara AS dan China melibatkan juga soal penjualan Tik Tok di AS sono. Apa jawaban Donald Rumsfeld Menteri Pertahanan AS doeloe ketika ditanya oleh Joseph Nye Jr., salah seorang perintis konsep soft power tentang konsepnya: soft power? Rumsfled menjawab singkat: “Saya tidak tahu apa itu soft power!” Artinya, tahunya ya hanya hard power saja. Titik. Maka jika ada yang berpendapat dengan tidak hanya berdasarkan pengalaman sejarah tetapi juga siapa gerombolan di belakang Trump itu, bahwa perang dagang perang tarif ini mempunyai potensi besar berujung pada perang sungguhan tidaklah salah-salah amat. *** (06-04-2025)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/024-The-Melian-Dialogue/
1636. Bermacam Katalis
06-04-2025
“Berkat pemerintahannya yang sudah lama semua ingatan akan perubahan dan sebab-sebab perubahan tersebut akan dilupakan orang, karena suatu perubahan selalu merupakan awal dari perubahan lainnya,”[1] demikian dikatakan Machiavelli dalam Sang Penguasa. Apalagi ditambah dengan apa yang disebut Naomi Klein sebagai The Shock Doctrine (2007) itu. Adanya shock, dicontohkan Klein dengan porak-porandanya New Orleans akibat Badai Katrina (2005), akan mengakibatkan kesadaran bisa-bisa laksana kanvas putih kosong, dan saat itulah agen-agen neoliberalisme dengan sigap melukis hal-hal baru sesuai dengan keyakinan mereka, dicontohkan Klein pasca badai: sekolah negeri atau publik menyusut drastis dan sekolah swasta atau privat naik tajam: privatisasi. Banyak aspek rekonstruksi pasca bencana kemudian berdasarkan cetak biru dari agen-agen neolib itu, contoh barusan disebut terkait dengan agenda privatisasi. Mungkinkah dengan cara berpikir di atas, berkembanglah di republik ‘industri alih isu’ itu?
Maka jangan heran bagi sementara pihak ‘gempa’ akibat ulah Donald Trump dan gerombolannya bisa-bisa dihayati sebagai bukan bencana atau ancaman saja, tetapi adalah juga kesempatan. Kata David Harvey, salah satu fitur accumulation by dispossession adalah manipulasi dan manajemen krisis (demi akumulasi pihak tertentu). Contoh rekonstruksi pasca Badai Katrina di atas adalah juga salah satu bentuk akumulasi melalui rute privatisasi dengan latar belakang (manipulasi dan manajemen) krisisnya jelas: Badai Katrina. Maka agen-agen neolib memang sudah terlatih bagaimana mengelola krisis demi kepentingan dirinya, bukan bagi khalayak kebanyakan yang terdampak. Tanpa beban lagi. Demikian juga krisis akibat pecicilannya Donald Trump dan gerombolannya hari-hari ini. Jika mengikuti Machiavelli seperti kutipan di awal tulisan, ada ‘perubahan baru’ yang dapat menjadi awal bagi ‘perubahan lain’, atau ‘cerita lain’. Atau ada ‘shock’ yang memberi kesempatan untuk menulis ‘cerita lain’ juga. Dan cerita lain itu adalah rusak-rusakannya republik bukan karena sepuluh-tahun rusak-rusakan, tetapi karena ‘badai Trump’ hari-hari ini!
Bagi pihak lain tentu akan melihat dari sudut pandang lain. Rusak-rusakan bertahun terakhir bisa dibayangkan adanya ‘proses-proses molekuler’ yang terus saja berlangsung, dan ‘badai Trump’ hari-hari ini adalah semacam sebuah ‘katalis’ yang mempercepat kehancuran, misalnya. Bukan soal ‘mendadak Trump’, karena jika tidak ada ‘badai Trump’-pun ‘katalis’ lain pada peristiwa lain akan menunjukkan pula bagaimana luas dan dalamnya kerusakan akibat ugal-ugalannya bertahun terakhir. *** (06-04-2025)
[1] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit PT Gramedia, 1987, hlm. 6
1637. Wisata Museum Rai Gedhèg
07-04-2025
Soré kuwi sak komplotan podho santai nang cakruké Nyah Ndut. Ngobrol ngalor-ngidul-ngisor-dhuwur, komplit sego-endog-iwak-pitik. Nyah Ndut iseng takon nang Totok: “Prèinan wingi piknik nang ngendi Tok?”
“Nang omah waé Nyah …” Jawab Totok aras-arasen, blas ora ono semangaté. Lanjut: “Cekak sanguné Nyah …”
“Lha kan ono destinasi wisata anyar … cedhak waé, ngojèk yo iso …”
Likwan nyambung: “Gratis Tok … malah mulihé olèh bingkisan …”
Totok penasaran: “Nang ngendi kuwi Lik?!”
Koh Bos sing jelaské: “Kuwi ono museum anyar: Museum Rai Gedhèg …”
Cuk Bowo sing ketinggalan informasi mèlu-mèlu penasaran: “Koyo museum lilin Madam Tuso kaé Koh?”
“Hè’èh Cuk kiro-kiro karepé ngono kuwi, ning iki seko gedhèg …”
Cak Babo nambahi penjelasan: “Ning kuwi mung setengah badan Cuk … Rainé waé sing digawé seko gedhèg …”
“Ngono yo Cak …”
“Ya’é aku yo durung tau piknik nang kono. Kang Yos kuwi sing wis tau tekan kono …”
“Ngono yo Kang …,” Totok terus méngo nang Kang Yos karo njaluk rokok Magnum ireng.
“Hè’èh Tok, sak durungé prèinan wingi …”
“Bener ono patung sing rainé seko gedhèg Kang?”
“Bener Tok, malah komplit ono suarané …”
“Akèh sing podho piknik, wisata nang kono Kang?” Nyah Ndut dadi mèlu penasaran.
“Pas pembukaan lumayan Nyah, ning bar kuwi terus dho wegah. Saiki wis sepi, padalo bingkisané wis di-dobel lho Nyah …”
“Lha kok iso dadi ngono kuwi?”
“Suarané kuwi lho Nyah …”
“Sing metu seko patung rai gedhèg kuwi?”
“Hè’èh Nyah …”
“Opo nganggo sound horég terus dho dadi budheg?”
“Ora Nyah, ora ngono”
“Lha mergo opo?”
“Suarané kuwi isiné mung ngibuuul waé … Ngapusi ora mandeg-mandeg. Ésuk-awan-mbengi koyo ngombé obat waé Nyah … Suwé-suwé wong dadi neg to Nyah …”
“Dadi mungkak-mungkuk arep muntah, ngono yo Kang …”
“Hè’èh Nyah …”
“Karepé piknik seneng-seneng malah dadi lemes mriang mergo muntah-muntah …, ngono yo Kang …”
“Hè’èh Nyah ….” *** (07-04-2025)
1638. 'Kelas' dalam Kelas Pekerja, Inspirasi dari Prof. Sumitro
10-04-2025
Peringatan: Tulisan di bawah spekulasi belaka. Mohon pembaca bijak. Tx
Pada masanya, budak itu laksana ‘emas’ bagi majikannya. Semakin banyak budak semakin kaya raya. Budak-pun bisa dipertukarkan dalam ‘pasar budak’ dengan perbedaan harga sesuai dengan kondisi. Sebenarnya bukanlah tubuh manusia yang diperdagangkan di sini, tetapi ‘nilai lebih’-nya. Semakin sehat dan berotot ia semakin mempunyai ‘nilai lebih’, dan ‘nilai lebih’ inilah yang juga akan dipanen oleh majikannya. Tidak hanya hasil-hasil pertanian, perkebunan, tetapi juga lainnya, sangat beragam. Tetapi jaman terus bergerak, sehingga pada satu titik perbudakan dilarang. Bukannya perbudakan dalam arti ‘klasik’ terus menghilang, tetapi kemudian lebih bergeser pada pabrik-pabrik seiring dengan hadirnya Revolusi Industri. Intinya sama, ada yang memanen ‘nilai lebih’ kelas pekerja secara ugal-ugalan. Dari perjalanan sejarah kitapun bisa melihat bagaimana perbudakan di pabrik-pabrik itu mengalami koreksinya, terutama ketika Marx dan Engels menguak lapis demi lapis apa sebenarnya di belakang perbudakan di pabrik-pabrik itu. Fokus tulisan ini lebih pada soal ‘manajemen nilai lebih’ sehingga apa yang dibayangkan oleh Adam Smith sebagai ‘the wealth of nations’ itu semakin bisa didekati tidak sebagai ‘sesuatu yang tidak ditujukan pada awalnya ketika masing-masing mengejar kepentingan dirinya’, tetapi memang itu sungguh ada lapangan oikos-nomos.
Yang dimaksud dengan ‘inspirasi dari Prof. Sumitro’ dalam hal ini adalah pembedaan dalam ‘praktek tekhnologi’ yang dijabarkan oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo 50 tahun lalu.[1] Apapun itu, teknologi jelas sangat mempengaruhi perjalanan sejarah manusia, termasuk juga bagaimana manusia mencari rejekinya. Bagaimana jika kita bayangkan pembedaan perkembangan tekhnologi seperti disebut Prof. Sumitro sebagai advanced technology, adaptive technology, dan protective technology dalam upaya manusia mencari rejekinya dalam sebuah mode of production? Ataukah bisa kita bayangkan dari kelas pekerjanya sebagai white-collar, blue-collar, dan ‘green-collar’? Ketika logika ‘infant industry’ dipakai Alexander Hamilton (1755-1804) terkait dengan tariff terutama produk-produk dari Inggris yang saat itu paling maju di dunia pax Britannica, sedikit banyak adalah juga melindungi nasib pekerjanya. Atau ketika Henry Ford menaikkan gaji karyawan sehingga mampu membeli mobil-mobil yang diproduksinya. Atau ketika Jepang menaikkan harga beras dalam negeri demi menaikkan kesejahteraan petani, sekaligus menetapkan tarif tinggi pada beras luar negeri. Beberapa contoh ini sebenarnya untuk menggambarkan bagaimana ‘revolusi blue-collar’ tidak hanya mengubah lanskap hidup bersama, tetapi juga menunjukkan bagaimana ‘spiral daya beli’ yang dimulai dari naiknya daya beli kelas ‘blue-collar’ ini sungguh akan mampu menaikkan kesejahteraan bersama. “The wealth of nations” itu ternyata bukanlah ‘akibat sampingan saja’ ketika masing-masing mengejar kepentingan diri -yang sudah ditunjukkan dari bermacam data sejarah bahwa tidak seperti itu yang terjadi, tetapi adalah soal kesejahteraan kelas pekerja-nya, terutama ‘kelas’ blue-collar. Dan untuk itu kita bisa juga melihat perlu adanya prakondisi politis, teknis, dan sosial. Prakondisi teknis salah satunya adalah seperti disinggung oleh Prof. Sumitro di atas terkait dengan adaptive technology. Prakondisi politis dan sosial bisa dibayangkan kita bicara soal ‘ekosistem’. Tidak hanya soal dukungan politis dan sosial terkait dengan pengembangan adaptive technology ini, tetapi bagaimana melalui langkah-langkah politik pemberantasan KORUPSI sampai akar-akarnya. Korupsi tidak hanya masalah hukum-politis tetapi juga masalah sosial, ia seakan sedang menebar laku ‘jalan gampang’ yang akan merusak ‘ekosistem’ meritokrasi, misalnya. Atau ‘ekosistem’ kerja keras. Juga ‘ekosistem’ efisiensi. Selama korupsi masih merajalela seperti kondisi republik saat ini, jangan harap untuk mampu meningkatkan daya beli blue-collar secara signifikan. Pemberantasan ‘mafia-pangan mafia-impor’ termasuk juga ‘mafia-selundupan’, ‘mafia-impor barang bekas-murah’, illegal fishing, adalah juga hal mendasar dalam upaya meningkatkan kelas blue-collar ini, yang sekali lagi dapat dibayangkan akan memicu ‘spiral daya beli’. Dan semua itu memerlukan prakondisi politis yang kuat, termasuk menantang ‘laku dumping’ dari luar. *** (10-04-2025)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/431-Belajar-Dari-Prof-Sumitro-Djojohadikusumo/
1639. Teledor Soal 'Eksternalitas'? (1)
12-04-2025
Sekitar empat-puluh tahun setelah Manifesto Komunis terbit, istilah ‘eksternalitas’ diperkenalkan oleh Alfred Marshall. Apakah yang menjadi keprihatinan mendasar dalam Manifesto Komunis itu sedang ‘diolah’ hanya sekedar sebagai sebuah ‘eksternalitas’ saja? Situasi yang lekat sebagai latar belakang terbitnya Manifesto Komunis saat itu memang sungguh kongkret hadir dalam keseharian, buktinya, salah satunya ketika Gereja Katolik sampai-sampai ‘harus’ mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum (1891) -setahun setelah istilah ‘eksternalitas’ diperkenalkan oleh Marshall, supaya tidak ditinggalkan oleh jemaatnya. Bahkan denyut situasi (di Eropa sana) saat itupun dirasakan di republik saat masih dijajah Belanda, yaitu terbitnya UU Agraria tahun 1870 yang digambarkan si-Bung sebagai langkah ‘politik pintu terbuka’ juga, sekitar 60 tahun kemudian.
Untuk membayangkan apa yang dimaksud dengan ‘eksternalitas’ ini bisa dibayangkan ketika ada investor mau membangun mall, misalnya. Ketika sudah jadi, pengunjung membludak dan terjadi kemacetan luar biasa di pintu masuk karena antrian mobil. Yang tidak mau ke mall-pun ikut terdampak akibat kemacetan itu. Bagi investor, itu (terdampaknya yang tidak ke mall akibat kemacetan) hanyalah ‘eksternalitas’ saja. Iapun menambahkan argumen, toh ada ‘eksternalitas positif’ juga, misal soal penyerapan tenaga kerja. ‘Eksternalitas negatif’ yang ‘gigantis’ adalah soal kedaruratan iklim yang semakin kita rasakan bersama. Dalam dunia medis, intervensi melalui obat-obatan selalu saja ada ‘eksternalitas’-nya, dan disebut dengan ‘efek samping obat’. Efek samping obat yang harus selalu diperhatikan oleh tenaga medis dan perlu diinformasikan pada pasien, selain juga cara-dosis dan obat lain yang tidak boleh diminum bersamaan sehingga efek samping obat tidaklah mengganggu. Dan masih banyak lagi yang perlu diperhatikan, misal bisa juga membiakkan kuman-kuman yang kemudian justru kebal terhadap obat jika minum obatnya (antibiotic) tidak sesuai aturan.
Bagaimana dengan ‘obat-serakah-untuk-menjadi-kaya’? Kata Deng Xiaoping: “Menjadi kaya itu mulia.” Atau kata Michael Douglas dalam film Wall Street (1987): “Greed is good.” Atau meminjam Nietzsche di akhir abad 19, menjadi ‘superman’ dalam konteks ini karena ‘menjadi kaya’. Artinya, dari banyak sudut ‘serakah-untuk-menjadi-kaya’ memang telah mengiringi lekat perjalanan manusia, meski manusia tidak hanya hidup dari nasi dan es teh saja, tetapi juga imajinasi tentang hal-hal baik. Marx dan Engels bahkan menegaskan bahwa mode of production untuk ‘menjadi-kaya’ ini bahkan akan menentukan bagaimana rasa-merasa manusia terkait dengan dunia tempat ia hidup. Atau lihat lebih dua-ribu tahun lalu ketika Platon melalui Alegori Kereta menggambarkan memang hasrat ‘menjadi-kaya’ itu tidak mudah untuk dikendalikan, selalu saja meledak-ledak semau-maunya, dan cenderung tuli terhadap bisikan ‘hal-hal baik’, serta cenderung ‘meluncur ke bawah’ saja. Ini digambarkan sebagai sik-kuda hitam, yang pengendalian bahkan sik-sais harus dibantu oleh sik-kuda putih dan sayap-sayap di kanan kiri kereta, sehingga kereta dapat diarahkan menuju mendekat pada ‘kebaikan dewa-dewa’.
Sejak jaman Aristoteles (384 SM-322 SM) dikenal istilah oikos-nomos -akar kata ‘ekonomi’, dan chrematistics. Chrematistics merupakan perilaku ‘ekonomis’ dalam ranah pengejaran uang demi penumpukan uang itu sendiri. Chrematistic dari asal katanya, khrema memang berarti: uang. Tidak ada ‘noble act’ di sini. Jika dilihat dalam konteks saat itu, Adam Smith (1723-1790) bukanlah seorang ekonom. Jejak-jejak intelektual pada masa-masa tersebut (saat Adam Smith hidup) bisanya akan ada dalam bayang-bayang filsafat. Maka tidak mengherankan jika banyak tilikan filosofis terutama Filsafat Yunani dalam tulisan-tulisan Adam Smith. Tak mengherankan pula sebab eranya adalah era renaissance. Maka meski sekarang sering dilihat sebagai ‘bapak kapitalisme’ karena penekanannya akan peran penting-sentralnya ‘pengejaran kepentingan diri’, Adam Smith tetap memasukkan bahasan Filsafat Yunaninya, terutama ajaran Stoa. Dalam The Theory of Moral Sentiments (1759) -enam tahun sebelum The Wealth of Nations, di edisi terakhir Adam Smith menyinggung soal famous sect, sik-‘sekte agung’. ‘Agung’ karena mempunyai keutamaan (virtue) lebih dibanding dengan yang ‘bermain’ di pasar saat mengejar kepentingan diri masing-masing. Terutama terkait dengan ‘tahu batas’.
Dari hal-hal di atas bisa dibayangkan bahwa ketika hal mendasar dari kapitalisme itu adalah kebebasan dalam pengejaran kepentingan diri atau secara vulgar: keserakahan masing-masing, maka ada dua kapitalisme, ‘by nature dan by nurture’. Ke-nurtur-an kapitalisme adalah ketika ia bisa menerima kehadiran sik-sekte agung. Artinya, ke-chrematistic-an itu terkandangi dalam oikos-nomos. Tetapi mungkinkah itu? Mungkinkah keliaran sik-’kuda hitam’ itu kemudian lolos dari ‘kandang’ dan terus menggelindiing akhirnya mewujud dalam ‘imperialisme’? ‘Sayap-sayap’ di kanan-kiri kereta itu kemudian tidak hanya membisiki tentang pentingnya oikos-nomos tetapi juga bagaimana hasrat disalurkan untuk penguasaan ‘di luar rumah’? Nampaknya itulah juga yang dimaksud oleh Richard Robinson (2016) ketika ia tidak percaya pada rejim Joko Widodo akan mampu membuat Indonesia ‘bersinar’ seperti euphoria yang terbangun sejak 2014. Karena menurut Richard Robinson saat itu, rejim Joko Widodo tidak menampakkan bagaimana kepentingan nasional itu direfleksikan juga pada kepentingan internasional. Kepentingan internasional yang bisa juga mempunyai nuansa imperialistis. Hampir sepuluh tahun kemudian terbukti Richard Robinson benar. Rejim kacung-kucluk itu memang hanya mengantar republik mendekat pada kegelapan saja. Rusak-rusakan. *** (12-04-2025)