1670. Manipulasi Sebagai Candu

17-05-2025

Bukan soal candunya masyarakat, tetapi lebih pada candunya penguasa yang dimaksud dengan judul. Sejak jaman dulu kekuasaan memang tidak bisa dilepas dari manipulasi karena ia berurusan dengan ‘yang banyak’. Masalahnya adalah batas, karena ketika manipulasi berubah menjadi candu ia akan menghambat bermacam aktualisasi kekuasaan sebagaimana mestinya. Akhirnya kekuasaan kemudian berhenti demi kekuasaan itu sendiri. Dalam ranah demokrasi, kecanduan manipulasi ini akan mengakibatkan gagalnya penguasa dalam memahami realitas, terutama yang dihadapi sehari-hari oleh khalayak kebanyakan. Bahkan inipun akan berdampak pada khalayak juga terlebih dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), ikut-ikutan menjadi kabur dalam memahami realitas yang dihadapinya.

Bertahun terakhir adalah pelajaran berharga bagi republik bagaimana kecanduan manipulasi ini sungguh berdampak buruk di semua aspek kehidupan. Mengapa kecanduan manipulasi dari penguasa ini bisa begitu menghancurkan? Manipulasi dalam banyak halnya sebenarnya tidak bisa dijelaskan dari ‘oposisi’-nya: aktualisasi. Atau bisa dibayangkan adanya ‘ketegangan’ dari ‘jalan gampang’ dan ‘jalan sulit’. Kecanduan manipulasi adalah juga merupakan kecanduan ‘jalan gampang’. Dan komunitas mana yang dapat mencapai kemajuan melalui ‘jalan gampang’? Contoh hari-hari ini untuk bisa menggambarkan ‘oposisi’ di atas adalah soal ‘ijazah palsu’ itu. Nampak dengan telanjang kecanduan manipulasi itu menampakkan diri dengan pilihan ‘jalan gampang’, main klaim, main kuasa, main kayu, dan sekitar-sekitarnya. ‘Oposisi’-nya, ‘jalan sulit’ dapat dilihat dari bagaimana banyak pihak mengajukan bukti-bukti ilmiah dari berbagai sudut dalam membongkar kepalsuan itu.

Otak sepertihalnya otot ia perlu terus dilatih. Ketika otak jarang mendapat latihan maka iapun tidak hanya menjadi kurang bertenaga tetapi juga bisa mengkerut. Memilih manipulasi sebagai ujung tombak dari praktek kekuasaan dengan segala ‘jalan gampang’-nya pada dasarnya adalah juga ‘malas berpikir’. Malas melatih otak. Akhirnya bukan saja ‘jalan gampang’ yang mewabah, tetapi menjadi sulit untuk keluar dari jeratan kebodohan. Dan sayangnya, situasi seperti itu seakan justru mem-booster kecanduan manipulasi. Sudah ada dalam komunitas dengan power distance tinggi, khalayak masih dan makin terjerat dalam kebodohan. Maka jika ada penguasa sudah kecanduan manipulasi, ia sebenarnya perusak republik. Ia tidak sedang membangun republik, tetapi justru merusaknya.

Tidak ada yang kebetulan dalam politik, bahkan jika Dewi Fortuna sedang menari ikut campur tangan sekalipun. Karena bagaimanapun Dewi Fortuna itu ‘bekerja’ tidak di ruang hampa. Maka merusak republik itu bukan juga kebetulan saja, atau tidak sadar kok jadinya malah ngerusak. Itu adalah kelakuan sadar sesadar-sadarnya dalam olah kuasa. Itu adalah soal rute penguasaan pengendalian yang dilakukan oleh pihak yang begitu menikmati kekuasaan terhadap ‘yang banyak’. Empire di satu pihak berhadapan dengan multitude di pihak lain seperti digambarkan Negri dan Hardt dalam triloginya.

Rute ‘jalan gampang’ ini nampak juga pada program MBG dengan biaya puluhan triliun rupiah itu, termasuk ketika muncul kasus keracunan anak-anak setelah makan siang gratis. Respon terhadap peristiwa kerancunan itu, sekali lagi: ‘jalan gampang’. Bahkan sebentar lagi program Koperasi DMP dengan anggaran ratusan triliun, berpotensi besar akan menampakkan diri bagaimana ‘jalan gampang’ itu memang sudah sedemikian mewabahnya. Ugal-ugalan. Sudah tidak peduli lagi apa yang sedang dipertaruhkan. Maka dukungan terhadap siapa saja yang mau menempuh ‘jalan sulit’ dalam membongkar kasus ‘ijazah palsu’ hari-hari ini perlu didukung dengan tanpa lelah. Khalayak kebanyakan perlu ‘latihan otak’ sehingga otak tidak menjadi mungkret. Dan sebagai pengingat pula bahwa republik itu lahir dari ‘jalan sulit’- berliku, bukan dari ‘jalan gampang’ apalagi sambil pecingas-pecingis asal mangap asal njeplak dengan tanpa beban. *** (17-05-2025)

1671. Saat Perampok Main Koperasi

18-05-2025

Mari kita lihat Koperasi DMP yang akan segera diresmikan 12 Juli 2025 nanti itu dari kacamata accumulation by dispossession-nya David Harvey yang terdiri dari fitur-fitur: privatisasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, state redistributions, dan juga mass incarcerations. Melalui kacamata terjemahan-imajinasi bebas-nya. Mengapa memakai term by dispossession? Karena memang sudah telanjang Koperasi DMP itu lekat dalam bayang-bayang rejim lama yang sungguh merupakan rejim perampok serampok-rampoknya. Rejim dengan reputasi ugal-ugalan semau-maunya, tanpa empati.

Ada dana 400 triliun rupiah yang akan di-‘privatisasi’ melalui skema gelontoran utang (yang berpotensi besar akan macet) dengan dibungkus oleh genderang patriotic-populis dalam state redistributions (untuk kalangan orang miskin-kecil-pinggiran), ditambah lagi dengan dibayang-bayangi adanya krisis-kronis mendera kaum miskin dan pinggiran. Dari mana aspek finansialisasi-nya? Apakah ada kemungkinan kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat antara ‘pusat’ dan ‘daerah’ yang tak jauh-jauh amat dari ‘perjalanan dinas fiktif’? Atau nantinya setelah pemilu mendatang selesai, semua utang macet akan diputihkan? Juga money laundering dari serakahnya kaum ‘elit’? Dan bagaimana dengan mass incarcerations? Mari kita imajinasikan sebagai: karena melibatkan 80.000 Koperasi DMP maka dengan segala kejadian di atas akan ada potensi besar merebaknya ‘sandera kasus’ massal. Pecah rekor. Khalayak kebanyakan yang miskin dan terpinggirkan itu sebagian besar tetap saja terpenjara dalam kemiskinannya, atau keterpinggirannya. Trickle-down effect yang seret atau bahkan tidak menetes sama sekali karena penuh manipulasi.

Jaman old jamak ditengarai kebocoran ‘bantuan’ Bank Dunia adalah 30% -angka perkiraan dari yang pemaaf sebenarnya, maka berapa ‘kebocoran’ dari gelontoran modal Koperasi DMP nanti? Jika mengikuti ‘rumus’ jaman old di atas, bisa-bisa (paling tidak) 120 triliun rupiah bablas anginé. Buat bancakan, ramai-ramai dijarah. Pesta poranya para perampok, para pemburu rente, para sontoloyo di tengah-tengah sulitnya mencari pekerjaan, di tengah-tengah PHK yang terus saja terjadi di sana-sini. Asu kabèh. *** (18-05-2025)

1672. Nama Baik

19-05-2025

"Usia saya 73 tahun, saya hanya ingin meninggalkan nama baik. Saya akan melaksanakan tugas saya, saya akan tegakkan keadilan, saya akan melawan segala bentuk korupsi di Republik ini tanpa pandang bulu," kata Prabowo dalam pidatonya di acara Kongres IV Tunas Indonesia Raya (Tidar), Jakarta, Sabtu (16/5).[1] Lebih sepuluh tahun lalu, tidak hanya ‘nama baik’ yang sedang dibahas tetapi di depan hidung telah hadir ‘orang baik’, katanya. Dan bermacam harapanpun melambung tinggi, dari kebanggaan akan mempunyai mobil nasional, mental bangsa akan menjadi maknyus karena akan digelar revolusi mental, rupiah akan menjadi 10.000 satu dollarnya, utang tidak akan bertambah, juga tidak akan impar-impor lagi, dan banyaaak hal-hal baik lainnya yang akan dibuat oleh sik-‘orang baik’ itu. Hasilnya? Rusak-rusakan di hampir semua aspek hidup bersama. Aneh tapi nyata. Maka ada pelajaran: jika ada pejabat publik bicara sesuatu yang kemudian disandingkan dengan kata ‘baik’, jangan percaya dulu. Hati-hati.

Dengan waktu yang singkat, Prabowo mengaku akan membuktikan Indonesia telah mengarah ke swasembada pangan. Dia menyebut produksi beras dan jagung dalam negeri saat ini tertinggi sepanjang sejarah. "Cadangan beras yang ada di gudang-gudang pemerintah Republik Indonesia hari ini tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia," kata dia.[2] Di satu sisi ada analisa lain terhadap situasi ini. Di sekitar pemilihan umum 2024 lalu, data menampakkan bagaimana ugal-ugalannya impor beras saat itu. Mudah ditebak, salah satunya jelas untuk mendukung logistic menghadapi pemilihan. Atau tabungan ‘pensiun’ juga? Dan tentunya sampai awal tahun ini dan ditambah adanya panen yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, stok masihlah melimpah.

Hal di atas disampaikan bukan dimaksudkan untuk mengikis semangat swasembada pangan misalnya, tetapi apa sebenarnya urusan utama terkait dengan ‘nama baik’ di ranah publik? Tentu akan terkait dengan apa yang telah diperbuat, tetapi apa ‘bahan bakar’ utama sehingga keputusan-kebijakan-perilaku di ranah publik dapat berujung pada ‘nama baik’? Nampaknya itu adalah ‘keutamaan’ atau virtue. Keutamaan memang lebih ‘intrinsik’ sifatnya. Dengan keutamaan kita lebih memungkinkan dalam pertimbangan moral atau juga etika. Keutamaan hanya akan tumbuh dengan latihan dan latihan, dan pada titik tertentu seakan sudah menjadi kebiasaan saja. Ada yang mengatakan bahwa keutamaan prudence adalah ibu dari segala keutamaan. Keutamaan prudence akan lekat dengan kemampuan timbang menimbang, di dalamnya termasuk juga empan papan (Jw.), tahu tempat, tahu waktu, tahu batas.

Bertahun terakhir rasa-rasanya keutamaan prudence itu tidak hanya tidak terlatih, tetapi justru ditabrak habis-habisan. Ketika ‘sumber’ dari keutamaan-keutamaan itu telah menjadi compang-camping kita bisa melihat dengan telanjang bagaimana keutamaan lainnyapun seakan menjadi kerdil juga. Lihat bagaimana rejim terdahulu itu membuat penilaian-penilaian terhadap realitas-tantangan republik. Bagaimana kemudian membuat keputusan-keputusannya, dan eksekusinya. Semau-maunya. Si-‘orang baik’ itu perlahan kemudian menjadi si-sontoloyo. Sama sekali menjadi sosok dengan moral-rendah-tanpa kehormatan, kelakuan rendahan pula. Dan hanya mengantarkan republik ke tepi jurang kehancuran saja.

Contoh soal perberasan di atas adalah bahkan untuk membahasakan data saja perlu sebuah keutamaan (prudence). Juga soal program makan siang gratis beranggaran puluhan triliun rupiah itu. Dan bagaimana dengan Koperasi DMP dengan alokasi anggaran 400 triliun rupiah yang akan diupacarai tanggal 12 Juli mendatang? Maka jelas soal ‘nama baik’ itu bukanlah soal tepuk tangan atau suara menggelegar, tetapi pertama-tama adalah latihan-membangun keutamaan, terlebih keutamaan prudence. Jika tidak mampu berkeutamaan prudence, jangan gegayaan bicara soal ‘nama baik’ di depan publik. Bermimpi saja sendiri di tempat tidur, jangan bawa-bawa khalayak kebanyakan. Bahkan untuk mendengar sekalipun. *** (19-05-2025)

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250517185552-32-1230300/prabowo-usia-saya-73-tahun-saya-hanya-ingin-tinggalkan-nama-baik

[2] Ibid

1673. MBG dalam Dunia Pemburu Rente

1674. Miskin Dialektika

21-05-2025

Meski sangat mungkin menjadi salah pemahaman, membayangkan dialektika bisa kita mulai dengan pertanyaan, adakah pulau jika tidak ada lautan? Seakan-akan oposisi antara daratan dan lautan itu memberikan ‘kesatuan’ penghayatan kita akan adanya keindahan saat matahari terbit. Atau ‘sintesis’ berupa garis pantai yang sebenarnya bisa maju-mundur karena adanya pasang surut. ‘Sintesis’ yang sebenarnya adalah juga ‘tesis’ baru yang akan segera berhadapan dengan ‘anti tesis’-nya. Dan ketika sedikit demi sedikit sedimen dibawa arus laut ke pantai, tiba-tiba saja kita terpesona dengan hamparan pasir putih di pantai. Atau ketika pasir laut di pantai itu sedikit demi sedikit ditumpuk membuat gunung pasir, tiba-tiba saja tambahan bongkahan kecil pasir bisa meruntuhkan gunung pasir mainan itu, kuantitas yang berubah menjadi kualitas. Gerak-gerak atau proses molekuler itu karena adanya sebuah katalis tertentu tiba-tiba saja memicu sebuah perubahan. Satu butir pasir ditambah satu butir pasir akan menjadi dua butir pasir, dan seterusnya, tetapi pada satu titik tertentu satu butir pasir akan merubah kualitas gunung pasir itu menjadi bukan gunung pasir lagi.

Sekitar dua tahun setelah Joko Widodo jadi presiden di tahun 2014, Richard Robinson melawan euphoria saat itu yang meyakini republik akan menjadi kuat di bawah Joko Widodo justru berpendapat sebaliknya. Pendapat tersebut didasari karena Robinson melihat bagaimana ‘kepentingan nasional’ tidak terrefleksikan pada ‘kepentingan internasional’. Rejim saat itu, dan terbukti bertahun kemudian, gagal menghayati ‘pulau’ yang dihuninya dalam dialektikanya dengan ‘lautan’ di sekitarnya dengan segala pernak-pernik dialektisnya. Tak jauh berbeda dengan ketika isu ijasah palsu itu mencuat, ada yang gagal menghayati bahwa isu tersebut tidaklah muncul di ruang kosong. Tidak tahu apa yang sedang dipertaruhkan republik.

Si-Bung pernah melontarkan istilah romantika - dinamika - dialektika, yang sering kita singkat sebagai rodinda. Ketika memang ada pemahaman akan dinamika dunia yang terus berubah tetapi miskin akan dialektika, apa akibatnya? Bagaimana jika romantika terbangun tanpa melibatkan dialektika? Terlebih ketika dialektika dijauhkan dari kekuatan utama dari gerak sejarah: banting tulangnya manusia menghidupi diri? Dalam Fenomenologi, kesadaran itu berarti sadar akan sesuatu. Bukan merupakan semata ruang kosong yang siap diisi dengan bermacam hal, atau semau-maunya mengajukan klaim bahwa jika sesuatu tidak disadari maka tidak ada. Tetapi bagaimana jika ‘sadar akan sesuatu’ itu tidak terlatih dalam jalan dialektisnya? Terutama dialektika yang melibatkan segala dinamika manusia dalam mencari rejekinya?

Ketika satu butir pasir ditambah satu butir pasir menjadi dua butir pasir, dan seterusnya yang kemudian akan menjadi bukit pasir, itu adalah pemahaman yang taken for granted saja. Tetapi siapa dan dalam peristiwa apa akan muncul kesadaran ketika pada titik tertentu penambahan kuantitas satu pasir akan membuat kualitas gunung pasir itu menjadi berubah, runtuh? Ketika perang besar di Eropa sana pecah, si Bung tidak mengambil sikap taken for granted saja, tetapi berseru lantang: ketika Pasifik penuh darah mengalir karena perang maka Indonesia akan merdeka. Dan jelas itu bukanlah ilmu nujum belaka.

Bertahun terakhir republik dipimpin oleh orang yang menghayati isu ijazah palsu seakan ada di ruang kosong, seperti halnya saat menghayati ‘kepentingan nasional’ berlari sendiri seakan tidak ada dalam kubangan bermacam ‘kepentingan internasional’. Tetapi bagaimana ketika ada pemimpin yang menampakkan diri seolah keranjingan ber-romantika akan hal-hal yang berbau asing atau ‘kepentingan internasional’? Tetapi tetap saja ugal-ugalan dalam penggunaan anggaran, jauh dari sikap prudence? Maka ia sebenarnya tidak jauh berbeda, miskin dalam dialektikanya. Ia terjebak dalam hikayat daratan-lautan, asyik mengutuk lautan tetapi malas untuk masuk lebih dalam pada segala pernak-pernik dialektisnya. Suram. *** (21-05-2025)