1620. Ketidak-adilan Semakin Ugal-ugalan?

16-03-2025

Banyak teori tentang keadilan, tetapi kadang persoalan keadilan ini lebih mudah dihayati dalam ‘situasi negatif’-nya: saat ketidak-adilan merebak. Pendapat Platon tentang keadilan bisa digunakan paling tidak untuk ‘deteksi dini’ membesarnya potensi ketidak-adilan. Platon berpendapat bahwa keadilan akan semakin dapat didekati ketika masing-masing melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Katakanlah dalam Alegori Kereta, sais, kuda putih, dan kuda hitam itu masing-masing menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Tentu ini nampak ‘idealistik’, tetapi seperti disebut di atas, paling tidak bisa untuk ‘deteksi dini’ merebaknya ketidak-adilan ketika terjadi laku ugal-ugalan. Lompatlompat ‘pagar’ semau-maunya. Tetapi bagaimana ‘bagian-bagian’ itu, bahkan untuk nasib ‘kereta’nya dalam pandangan kapitalisme-anarkis?

Hari-hari ini semakin menampakkan diri bagaimana kapitalisme-anarkis ini sungguh harus diperhitungkan dengan serius. Meski gejolak lebih di belahan dunia sono, tetapi sejauh dinamika ada di dunia ‘pakta dominasi primer’ maka imbasnya cepat atau lambat akan menerjang republik juga. Terlalu banyak di republik -yang masih ada di ‘pakta dominasi sekunder’, lebih sebagai ‘oportunis sejati’ yang selalu siap sebagai ‘penumpang gelap’, trampil berselancar di atas gelombang demi kepentingan dirinya dan kelompoknya saja. Tidak pernah mau dan mampu menguak apa yang sejatinya sedang terjadi, tetapi lebih memilih mengambil sikap ‘operasionalisme’ sejati jika memakai istilah Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan. Operasionalisme adalah bablasan dari modus atau tahap fungsionil.

Dalam alam pikiran kapitalisme-anarkis, narasi tentang keadilan bukanlah arus utama. Bahkan akan dipinggirkan-dipojokkan dengan tanpa beban lagi. Semua pagar-kurungan dalam kebun binatang dibuka lebar-lebar, silakan semua keluar kandang dan siapa kuat akan tetap survive. Pengelola kebun binatang, katakanlah negara tidak usah campur tangan. Benarkah? Faktanya untuk ‘membunuh’ negara-pun mereka butuh negara untuk membuat keputusan tentang hal tersebut! Dan masih banyak contoh lagi bagaimana ke-an-arki-an mereka itu justru sering memakai arki, arche se-maksimal mungkin demi maksimalnya survive mereka sendiri. Atau kalau memakai pembedaan fitur-fitur yang ada dalam accumulation by dispossession menurut David Harvey, soal state redistributions dalam praktek adalah bagian penting dalam survive mereka. Entah melalui rute perpajakan, atau kebijakan-kebijakan dari arche yang jelas-jelas maunya selalu berpihak pada mereka. Kapitalisme-anarkis pada dasarnya adalah ‘trickle-down effect’ yang sungguh sudah ugal-ugalan. Sudah terhayati dalam modus ‘mitis’-nya. Bahkan ‘magis’. *** (16-03-2025)

1621. Hantu Maniak (1)

19-03-2025

Pembusukan bermacam rejim itu karena hantu maniak -manic, terus saja gentayangan. Monarki kemudian berubah menjadi tirani, aristokrasi menjadi oligarki, dan demokrasi bergeser menjadi mob rule yang paling tidak bisa terhayati salah satunya dengan merebaknya para buzzer laknat itu. Monarki dan demokrasi bisa dikatakan ada dalam ranah ‘pengetahuan’. Hanya saja monarki lebih ke arah ‘sihir’ sedang demokrasi akan nampak pada istilah res-publika. Aristokrasi dari asal katanya memang terkait dengan ‘yang terbaik’. Baik monarki maupun demokrasi sebenarnya membutuhkan ‘kelas’ terbaik ini, yang sering kemudian disebut sebagai hasil dari ‘meritokrasi’. Masalahnya, ‘yang terbaik’ sik-aristo ini kemudian mengalami pergeseran dan pembusukan, sehingga menjadi oligarki yang seringnya adalah karena kekayaannya.

Bagi Alvin Toffler, kekuatan kekerasan menjadi terdepan ketika terjadi Revolusi Pertanian. Paling mudah dilihat adalah ketika jaman perbudakan. Dalam alam pertanian doeloe, bahkan sampai sekarang juga, ketergantungan akan perilaku alam semesta yang di luar kendali manusia itu perlahan menjadi mudah menerima ‘orang kuat’ yang mampu bersekutu dengan alam semesta. Kemudian datanglah Revolusi Industri, dan ini menurut Toffler kemudian menggeser kekuatan terdepan (power shift) dari kekuatan kekerasan ke kekuatan uang. Cara manusia mencari rejeki semakin tidak bergantung pada (kebaikan-belas kasih) alam, dan kebutuhan akan ‘orang kuat’ yang mampu bersekutu dengan kekuatan semesta dalam bermacam penampakannya itupun semakin meredup. Bahkan kemudian sampai berani berseru: leave us alone, laissez-faire laissez-passer! Krisis modernitaspun mulai juga membayang, seperti menurut Leo Strauss tentang krisis modernitas gelombang pertama, karena kegilaan manusia dalam menguasai alam semesta. Bahkan banyak manusia ikut-ikutan ‘terbendakan’ dalam upaya mengejar akumulasi kekayaan itu. Perbudakanpun kemudian bergeser ke pabrik-pabrik, exploitation de l’homme par l’homme.

Menurut Alvin Toffler di tahun 1990, ke depan akan terjadi power shift lagi akibat Revolusi Informasi. Atau sekarang ini kita sebenarnya sudah ada di era Revolusi Informasi ini. Semestinya kekuatan pengetahuan akan menjadi ujung tombaknya. Jika Revolusi Industri dibayangi lekat oleh merebaknya modus komunikasi man-to-mass via produk cetak massal, radio, film, televisi, maka Revolusi Informasi dibayangi lekat oleh modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital internet. Dalam olah kuasa di ranah khalayak kebanyakan, di dekade awal abad 20 melalui pernak-pernik modus komunikasi man-to-mass kita mengenal adanya Komite Creel di AS sono, maka di dekade awal abad 21 melalui modus komunikasi mass-to-mass kita mengenal Skandal Cambridge Analytica. Atau bahkan beberapa tahun sebelumnya, Arab Springs. Bagaimana dalam hal mencari rejeki di era Revolusi Informasi ini? Yang semestinya menurut Alvin Toffler, kekuatan pengetahuan yang menjadi ujung tombaknya? Dan akankah ini akan berpengaruh terhadap bentuk rejim yang ‘terbangun’?

Pada saat Revolusi Pertanian, ‘modal utama’ manusia dalam bertahan hidup terutama adalah kekuatan diri, kekuatan otot-otot dalam mencangkul misalnya. Maka tidak mengherankan pula ‘kekuatan kekerasan’ kemudian dibaptis sebagai yang dominan saat itu. Yang kalah dalam olah ‘kekuatan kekerasan’ ini bisa-bisa kemudian masuk dalam kubangan perbudakan. Ketika Revolusi Industri mulai merebak, perlahan ‘modal utama’ manusia dalam mencari rejeki adalah ‘kekuatan uang’. Bagi yang tidak kuat dalam ‘kekuatan uang’ perlahan ia masuk dalam arus komoditas dan bahkan tenggelam dalam perbudakan baru di pabrik-pabrik seperti sudah disinggung di atas. Bagaimana dengan Revolusi Informasi seperti sekarang ini? Apakah yang mempunyai informasi lebih akan menjadi dominan? Ada yang berpendapat bahwa ‘kekuatan pengetahuan’ bagaimanapun juga lebih bersifat ‘demokratis’ dibanding dengan ‘kekuatan kekerasan’ dan ‘kekuatan uang’. Jika begitu maka dalam di era Revolusi Informasi ini peluang akan membesar untuk membangun hidup bersama menjadi lebih demokratis, benarkah? Ataukah sebenarnya ini pada dasarnya arus utamanya adalah soal ‘pencarian rejeki’ yang menampakkan diri secara berbeda-beda dari jaman ke jaman? Menampakkan diri secara berbeda ketika Revolusi Pertanian muncul, dan kemudian Revolusi Industri, terakhir: Revolusi Informasi? *** (19-03-2025)

1622. Hantu Maniak (2)

20-03-2025

Dari banyak peristiwa, dari dulu sampai sekarang, sifat determinasi dinamika pencarian rejeki terhadap kuasa di atasnya sudah terbukti. Tetapi sudah terbukti pula bagaimana kuasa dapat mempengaruhi dinamika pencarian rejeki itu, meski memang perlu upaya lebih. Kuasa semestinya pada titik tertentu melihat dinamika pencarian rejeki ini sebagai ‘tantangan’. Tidak mudah untuk sampai bersikap seperti itu. Pagi-pagi Thomas Hobbes sudah mengingatkan dalam Leviathan bahwa hasrat manusia akan kuasa itu akan dibawa sampai mati, dan ini juga terkait dengan bagaimana ‘mengamankan’ apa-apa yang sudah diperolehnya, apa-apa yang sudah dinikmatinya.

Bahkan jika sudah sampai melihat dinamika pencarian rejeki ini sebagai ‘tantangan’, apa-mana yang kemudian dihayati kuasa sebagai ‘tantangan’ itu? Istilah ‘tantangan’ ini dipakai mengingat pendapat Toynbee bahwa peradaban itu berkembang karena adanya tantangan dan respon. Dan tantangan yang biasa-biasa saja tidak akan mengembangkan peradaban. Sebaliknya tantangan yang terlalu besar akan menghancurkan peradaban. Di kesempatan lain Toynbee terkait dengan psikologi pertukaran kebudayaan berpendapat bahwa budaya dengan ‘nilai’ rendah akan cenderung lebih mudah menembus, tetapi yang ‘nilai’ tinggi justru banyak resistensinya.

Dinamika pencarian rejeki ini bagaimanapun juga akan mempunyai rentang spektrum yang cukup lebar. Jika bicara dinamika kapitalismepun kita akan bertemu sebuah spektrum dari kaum proletar, kaum marhaen, sampai dengan perusahaan multi-nasional. Dan bagaimana kuasa membangun respon terhadap ‘spektrum’ tantangan ini membuat kita mengenal misalnya, negara komunis, sosialis, negara kesejahteraan, atau juga negara neoliberal. Bagaimana dengan era Revolusi Informasi ini? Akankah ‘kekuatan pengetahuan’ akan ikut mempengaruhi dinamika pencarian rejeki? Dan juga mempunyai rentang spektrum cukup lebar? Dan bagaimana jika spektrum itu diletakkan di atas ‘skala’ kapitalisme? Atau yang ada di sebelah ‘kiri’-nya? Dan bagaimana dengan ‘hantu maniak’ yang terus gentayangan itu?

Salah satu penampakan dari kekuatan pengetahuan ini adalah pada perkembangan teknologi. Dari pembedaan teknologi oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo sekitar 50 tahun lalu kita bisa belajar dari ‘nuansa’ perkembangan teknologi ini. Prof. Sumitro membedakan teknologi dalam advance technology, adaptive technology, dan protective technology. Dalam konteks tulisan ini, adaptive technology yang salah satunya akan terkait dengan rangkulannya terhadap ketenagakerjaan itu semestinya menjadi ‘tantangan’ utama yang kemudian membangun ‘respon’ dari sik-kuasa di republik. Sayangnya, bertahun terakhir itu jauh dari harapan. Yang dilontarkan salah satunya, justru keinginan untuk membuat fakultas ‘toko on-line’. Kucluk.

Penampakan lain dari ‘kekuatan pengetahuan’ yang tidak kalah penting adalah membesarnya ‘inter-subyektifitas’ melalui modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital-internet. Dunia keterhubungan ini perlahan akan memberikan ‘prakondisi sosial’ terutama ketika adaptive technology dikembangkan dengan serius. Tentu juga nuansa perkembangan teknologi lain pada akhirnya. Tidak hanya membuat upaya mengembangkan adaptive technology menjadi entitas yang terdukung, tetapi juga akan mendorong, mau-tidak-mau, berkembangnya bermacam ‘tata-kelola’ terhadap bermacam keluarannya. Misalnya, ‘tata-kelola’ yang melawan habis-habisan mafia pangan. Berkembangnya ‘prakondisi sosial’ ini diharapkan juga mampu mendorong juga berkembangnya ‘prakondisi politis’. Akhirnya penampakan di ujung yang diharapkan adalah: meningkatnya daya beli.

Kesalahan bertahun terakhir dalam ‘mengambil’ tantangan bisa kita lihat bersama bagaimana carut-marutnya sik-kuasa dikelola. Tidak hanya kemudian lebih menjadi ‘republik konten’, tetapi bahkan dalam praktek kuasa sudah dilalap habis oleh yang ada di ‘spektrum’ ujung dengan segala ‘kenikmatan’ yang sudah digenggamnya. ‘Hantu maniak’ itu dengan mudah merasuki tata-kelola yang gagal membangun keutamaannya. Keutamaan (virtue) bisa dibayangkan tidak pernah ada di ujung-ujungnya, dan bukan sekedar pula ada ‘di tengah’, tetapi pilihan ada ‘di tengah’ karena ada hal timbang-menimbang. Hal timbang-menimbang yang terus saja didesak oleh pragmatisme kerja-kerja-kerja itu, dan yang tanpa henti dirusak oleh buzzer-buzzer laknat. Masih ditambah lagi oleh pentungan. Dan sekarang, ditambah lagi dengan senapan dan tank. Gelap. *** (20-03-2025)

1623. Seratus Tahun Kenikmatan

22-03-2025

Tulisan ini berangkat dari Leviathan (1651) karya Thomas Hobbes (1588 - 1679), terutama bagian pertama yang mengulas ‘manusia apa adanya’. Manusia juga dengan segala hasratnya. Salah satunya adalah pendapat Hobbes tentang kuasa dimana hasrat akan kuasa itu tidak saja dibawa sampai mati, tetapi kuasa itu akan juga melindungi apa-apa yang sudah diperolehnya. Atau apa-apa yang sudah dinikmatinya. Jika bisa, dinikmati sampai seratus tahun! Dalam investigasi kejahatan sering kita dengar istilah ‘ikuti uangnya’, maka dalam olah-gaduh kuasa terutamanya, mungkinkah kita bisa membayangkan ‘ikuti kenikmatannya’, ikuti siapa yang menikmati dan atau yang sedang terancam kenikmatannya.

Dalam ‘tata kelola’ kuasa ranah negara, rent seeking activities (pemburuan rente) semestinya jika tidak bisa di-nol-kan, ya selalu diminimalkan dengan bermacam ancaman tindakan hukum. Tetapi bagaimana jika itu justru sudah masuk menjadi bagian ‘tata kelola’ demi tegak-kuat-langgengnya rejim? Jika korupsi telah menjadi salah satu pilarnya rejim? Rejim yang dibangun di atas ‘tebar kenikmatan’ dengan segala penampakan jalan gampang rendahan ndèk-ndèk-an yang begitu vulgar? Mulai dari oplosan, kurangi takaran, yang palsu-palsu, perjalanan dinas fiktif, ngemplang sana ngemplang sini, peras sana peras sini, sogok sana sogok sini, dan masih banyaaak lagi. Bahkan kata-katapun dikorupsi dengan laku asal mangap asal njeplak itu.

Apa yang dipertaruhkan ketika hidup bersama sebagai satu bangsa terkelola seperti di atas? Ketika segala kenikmatan yang lebih diperoleh dari olah kuasa itu telah menjadi banal? Maka jangan kaget jika kemudian segala evil itu telah menyelusup tidak hanya dalam jalannya kuasa, tetapi juga bagaimana kuasa dilanggengkan. Kuasa akan dipertahankan sudah dalam ranah at all cost demi langgengnya segala kenikmatan. Semau-maunya tanpa menghitung lagi segala biaya yang harus dibayar khalayak kebanyakan, bahkan republik. Dari peristiwa freudian slip kita bisa meraba itu juga. Seperti terlontar dari bacot Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia Hasnan Nasbi menanggapi dikirimkannya paket berisi kepala babi kepada jurnalis Tempo baru-baru ini, terlontar kata-kata: “Dimasak saja.” Apapun jungkir-balik alasan terlontarnya kata-kata itu, bagaimanapun peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana semau-maunya itu bahkan sudah ngendon nyaman jauh di ketidak-sadaran. Apa yang kemudian bisa muncul jika itu dari yang pegang senjata? Atau sama-sama pegang senjata? *** (22-03-2025)

1624. Kapitalisme Maskulin vs Kapitalisme Negara (1)

23-03-2025

"The problem with the world is that intelligent people are full of doubts, while the stupid ones are full of confidence" - Bertrand Russell (1872 - 1970)

The whole problem with the world is that fools and fanatics are always so certain of themselves, and wiser people so full of doubts. - ” Charles Bukowski (1920 - 1994)

Meski masih bisa diperdebatkan, dapat dilihat dari https://books.google.com/ngrams adanya lonjakan pemakaian kata ‘masculine’[1] sejak tahun 1980-an, dan memuncak sampai tahun 2015-an. Tiba-tiba saja grafik menurun tajam, apakah ini akibat ‘kampanye’ soal transgender dan sekitar-sekitarnya itu? Apapun itu dalam tulisan ini lebih sebagai salah satu pintu masuk terkait dengan ideologi dari kaum sayap kanan di AS sono yang oleh George Lakoff (1941 - ) digambarkan salah satunya lekat dengan istilah strict father. Jika melihat peristiwa di sekitar tahun 1980-an, strict father itu bisa dibayangkan dalam sosok Ronald Reagan. Bahkan Margaret Thatcher yang naik ke puncak setahun sebelum Reagan kemudian dibaptis sebagai Iron Lady. Bandingkan dengan sosok Deng Xiaoping yang naik ke puncak kekuasaan sekitar tahun-tahun itu juga. Dengan tubuh kurang dari 160 cm, memang tidak mengesankan sebagai yang macho. Tetapi lebih dari itu Deng Xiaoping jika memakai dua kutipan di atas sedikit banyak menggambarkan sisi ‘full of doubts’, baca: hati-hati, prudence. Ronald Reagan sik-macho, bisa-bisa akan ugal-ugalan seperti Trump sekarang ini jika ‘tandem’-nya tidak sekuat Thatcher. Untung ada Thatcher. Sekarang sudah tak ada ‘tandem’ sekualitas Thatcher, Donald Trump mempunyai latar belakang dari ‘kelas pedagang’ yang digambarkan oleh Platon dalam Alegori Kereta sebagai sik-kuda hitam, dengan karakter memang mempunyai energi besar meledak-ledak, tetapi cenderung semau-maunya sendiri, dan bahkan maunya ‘meluncur ke bawah’ saja. Ditambah lagi cenderung ‘tuli’ tidak mau mendengar kata sik-sais. Sais yang bisa juga ada nuansa supremasi hukumnya, misalnya. Dan lihat bagaimana ugal-ugalannya Trump hari-hari ini.

Judul sebenarnya bisa ‘diturunkan’ dari dua kutipan di awal tulisan. Negara sebenarnya dalam praktek akan ada dalam ranah ‘full of doubts’, paling tidak terkait dengan urusan utamanya: ‘komunitas terbayang’. Di balik imajinasi tentu akan banyak ‘keragu-raguan’ yang mesti terus-menerus direspon, baik melalui kontak dengan imajinasi-imajinasi lain dan atau selalu cek-ricek lagi dengan fakta-fakta yang ada. Maka ‘kapitalisme negara’ itu adalah kapitalisme yang ‘dipimpin’ oleh negara terutama dalam konteks ke-prudence-annya, satu hal yang sungguh dapat terpinggirkan dalam kapitalisme. Tak jauh dari yang dikatakan oleh salah satu dosen dari ex-Jerman Timur dalam diskusi kecilnya dengan Ignas Kleden (lih. Sosialisme di Tepi Sungai Elbe) yang menandaskan bahwa kapitalisme itu ‘baik’ jika diganggu terus. Endapan-endapan sosialisme yang ada dalam kepala Deng Xiaoping nampaknya menjadi sangat berguna dalam terbangunnya sikap prudence ini, sikap full of doubts ketika membuka diri terhadap kapitalisme. ‘Keragu-raguan’ sebenarnya tidak hanya pintu masuk berkembangnya sikap ‘bijaksana’, tetapi juga pada sains. Maka China setelah 50 tahun Deng Xiaoping naik tidak hanya berhasil mengangkat ratusan juta warganya keluar dari kemiskinan, tetapi juga bermacam geliat-lompatan dalam sains juga. Apa yang dapat dibayangkan ketika ratusan juta keluar dari kemiskinannya? Meningkatnya daya beli, satu bargaining position yang strategis dalam dunia kapitalisme. *** (23-03-2025)

[1] https://books.google.com/ngrams/graph?content=masculine&year_start=1900&year_end=2019&corpus=en-2019&smoothing=3&case_insensitive=false