1625. Kapitalisme Maskulin vs Kapitalisme Negara (2)
24-03-2025
Apakah ‘diktator yang baik hati’ dimungkinkan? Dari banyak peristiwa di masa lalu, nampaknya memang dimungkinkan. Tetapi itu satu dari sekian ribu kemungkinan. Dan nampaknya lebih mungkin bagi negara-negara kecil, bahkan rentangnya bisa dikatakan sebagai ‘negara kota’. Mungkin karena potensi bertemunya secara langsung dengan warga lebih besar potensinya, dan kontak langsung itu sedikit banyak akan juga membangun ‘insting’ etisnya. Menurut Levinas, pertemuan face to face itu adalah juga peristiwa etis, seakan yang lain juga sedang meminta tanggung jawab kita juga. Atau seakan sedang berkata, ‘jangan bunuh aku’, misalnya. Karena hal etis dimungkinkan untuk lebih terbangun maka iapun kemudian menjadi tidak mudah untuk semau-maunya. Tetapi bagaimana jika rentang warganya sungguh sangat luas, ditambah lagi telah berkembang secara massif apa yang disebut Guy Debord sebagai the society of the spectacle itu? Ketika pengalaman kontak secara langsung itu tiba-tiba saja telah ada dalam dunia tontonan?
Atau bagaimana tentang pendapat David C. Korten tentang kekuatan sayap kanan konservatif yang sebenarnya relatif sedikit jumlahnya itu terkait dengan kemampuannya me-monopoli cerita? Monopoli alur cerita tontonan? Coba kita bayangkan ketika digital-internet belum ada dan modus komunikasi man-to-mass via produk cetak, radio, film, televisi masih dominan, bagaimana dengan adanya Komite Creel di AS sono di sekitar tahun 1916-an itu? Atau naik dan merebaknya Hitlerisme? Atau bahkan ketika modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital-internet merebak, muncullah Skandal Cambridge Analytica seabad setelah Komite Creel. Atau berpuluh tahun ada pengalaman ketika bermacam media massa ada dalam genggaman kekuasaan. Jika ada yang membuat cerita lain maka akibatnya bisa-bisa akan dibredel. Tidak hanya moncong senjata yang selalu teracung, tetapi juga bagaimana ‘monopoli cerita’ berlangsung begitu lamanya. Apa yang terjadi? Modus ‘akumulasi kekayaan’ itupun menjadi ugal-ugalan. Saking ugal-ugalannya dan demi langgengnya kenikmatan itu, ‘pintu gerbang’-pun seakan hanya dibuka sedikit. ‘Pihak luar’ jika mau ikut-ikutan berpesta akan mengalami seleksi super ketat. Repot sekali.
Strict father sebagai salah satu pandangan dasar dari kaum konservatif sayap kanan di AS sono seperti sudah disinggung di bagian 1, apakah itu semata hanya mitos atau bukan? Setiap mitos biasanya akan berangkat juga dari satu-dua fakta, maka strict father bisa dilihat juga sebagai entitas yang mungkin saja muncul ketika kekuatan otot di era Revolusi Pertanian atau bahkan era perburuan memang yang dominan. Tetapi semakin ke sini, nampaknya memang itu (strict father) kemudian terhayati sebagai sebuah mitos saja. Mitos bagi kaum konservatif itu. Masalahnya, justru seakan sudah seperti mitos saja maka sudah tidak dipertanyakan lagi. Bahkan sudah seperti ranah agama saja, dimana Tuhan adalah sosok strict father yang paripurna.
Baru-baru ini Trump membubarkan Departemen Pendidikan yang ada di bawahnya. Terkejut? Tentu kita akan bertanya-tanya, soal efisiensikah itu? Nampaknya itu lebih karena penghayatan akan strict father itu. Bahkan JD Vance sik-wakil presiden itu dalam satu kesempatan malah mengolok-olok para professor yang terlibat dalam pendidikan! Pendidikan ya tanggung jawab penuh dari sik-strict father dalam keluarga, demikian pandangan mereka kaum konservatif itu. Strict father yang paling tahu segalanya, termasuk mana yang baik dan yang buruk. Bahkan mungkin juga tidak hanya ranah pendidikan dalam negeri, bagaimana jika logika ini terrefleksi dalam tata hunungan global dimana AS masih merasa sebagai si-super power? Merasa diri sebagai satu-satunya sik-strict father global bersemayam? Yang tentu akan lebih nyaman jika menjalin hubungan dengan sik-plonga-plongo misalnya, atau sik-‘para-para’ selama mereka itu tidak menunjukkan penampakan sebagai sosok strict father seperti ketika pasca Ronald Reagan para diktator itu kemudian bertumbangan satu per satu. Dan siapa penumpang gelap yang akan naik ‘gelombang’ logika seperti ini? Dan ‘what is to be done’? *** (24-03-2025)
1626. Kapitalisme Maskulin vs Kapitalisme Negara (3)
24-03-2025
Sebagai bagian dari pandangan kaum konservatif di AS sono, strict father hadir tidak di ruang kosong. Ia hadir di ruang keyakinan bahwa dunia di luar sana adalah dunia penuh mara bahaya. Dalam dunia seperti itu, hanya yang paling fit-lah akan survive. Apakah karena ‘generasi bunga’ seliweran di depan matanya kemudian Thatcher sik-Iron Lady itu menjadi begitu geramnya saat naik ke puncak kekuasaan? Mungkin saja. “Ambil sepedamu, dan carilah itu pekerjaan,” seru salah satu menterinya. Maksudnya jangan apa-apa mengharapkan dari negara a la ‘negara kesejahteraan’ pasca Perang Dunia II. Bahkan Thatcher sampai berucap dalam salah satu interview: “There’s no such thing as society.” Yang ada adalah individu-individu dan keluarganya masing-masing. Di balik itu sebenarnya adalah pengurangan beban korporasi terhadap ‘beban-beban sosial’-nya. Maka kaum konservatif akan cenderung mengurangi pajak korporasi atau pajak si-kaya. Cerita selanjutnya adalah soal ekspansi survival of the fittest itu yang juga akan lintas negara. Istilah globalisasipun kemudian perlahan menguat. Tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana segala cerita itu telah mendorong volume perdagangan pasar keuangan dengan semakin beragam dan beranak-pinak produk-produknya, menjadi berlipat-lipat, bahkan pada titik tertentu telah jauh melampaui volume perdagangan ‘pasar komoditas dan jasa’. Yang dulu ada uang-barang/jasa-uang, sekarang uang-uang dan bahkan uang secara fisiknyapun sudah menghilang. Keserakahan itu semakin mendapat mainan barunya. Tiga puluhan tahun setelah Thatcher/Reagan itu, tiba-tiba saja krisis menghampiri, krisis subprime mortgage, dengan sebelumnya juga telah terjadi beberapa letupan krisis salah satunya di sekitar tahun 1998 itu. Ternyata ada society lain di luar pemahaman Thatcher tentang there’s no such thing as society, yaitu ‘masyarakat pasar keuangan’ yang mana hanya ada satu nilai di dalamnya: serakah. Dan suka atau tidak, dalam pasar keuangan itu bisa-bisa menjadi begitu brutalnya. Homo economicus menjadi sulit dibedakan dengan economic animal. Oikos-nomos benar-benar telah dipinggirkan oleh laku chrematistikos.
Dari banyak hal di lima puluh tahun terakhir, kita dapat melihat bagaimana oikos-nomos yang berangkat dari societyyang genuine justru telah mengembangkan dasar kuatnya sebagai alternative dari brutalnya dunia chrematistikos. Masyarakat ‘genuine’ yang terdiri dari banyak nilai dan hasrat, dan hal serakah itu ditempatkan sebagai salah satu bagian saja. Ternyata siklus uang-barang/jasa-uang dalam oikos-nomos bisa sungguh menantang dalam adu strategi/taktik dalam ranah ekonomi. Ke-prudence-an kemudian menjadi salah satu pondasi penting dalam membangun kebijakannya. Perangkap-perangkap dalam dunia chrematistikos itupun bisa dihitung dengan penuh kehati-hatian. Termasuk salah satunya jebakan hutang, misalnya. Kebrutalan dari dunia chresmatistikos ini bisa dibayangkan bahkan dari istilah David Harvey tentang akumulasi di era neoliberalisme ini, yaitu: accumulation by dispossession, yang mempunyai fitur-fiturnya, privatisasi, finansialisasi, manipulasi dan manajemen krisis, dan terkait dengan state redistributions. Yang semua fitur-fitur itu sangat mungkin akan jatuh pada praktek ‘kontra’ oikos-nomos. Lihat bahkan ketika krisis berdampak pada semua anggota oikos-pun akan dimanipulasi demi akumulasi pribadi atau kelompoknya. Brutal. *** (24-03-2025)
1627. Saat Rasio Diperbudak Hasrat
26-03-2025
“Desire is the very essence of man,” demikian Spinoza (1632-1677) pernah menulis. Di abad berikutnya, David Hume (1711-1776) pernah menulis: “Reason is, and ought only to be the slave of passions, and can never pretend to any other office than to serve and obey them.” Perbedaan desire dan passion bisa dibayangkan bahwa desire lebih dekat pada ‘nature’ sedangkan passion lebih condong ke ‘nurture’. Platon sebelum masehi, dalam Alegori Kereta menggambarkan sayap di kanan kiri kereta tempat si-sais, rasio, berdiri mengendalikan kuda putih dan kuda hitam. Sayap menggambarkan energi atau katakanlah elan vital yang sebenarnya tidak akan tumbuh tanpa adanya passion ini. Albert Camus (1913-1960) beberapa tahun setelah Perang Dunia II berakhir menulis dalam Pendahuluan bukunya The Rebel, membedakan antara ‘crimes of passions’ dan ‘crimes of logic’. Bagaimana dengan pembagian kesadaran dari Sigmund Freud (1856-1939)? Apakah bisa dikatakan bahwa desire itu lebih ada di id, sedang passion itu di super ego, dan rasio di ego? Atau pendapat Wilhelm Reich (1897-1957) yang intelektualnya matang di era naiknya Nazisme, sebagai pengikut Freud ia berpendapat bahwa fasisme itu pada dasarnya berangkat dari eksploitasi ketidak-sadaran, atau katakanlah id.
Yang dimaksud dengan ‘rasio diperbudak hasrat’ dalam judul, maka mari kita bayangkan lebih dahulu yang dimaksud dengan ‘hasrat’ itu adalah passion seperti pendapat Hume di atas. Atau dalam Alegori Kereta-nya Platon dimana sayap bisa saja patah di tengah jalan, tetapi tetap bisa tumbuh atau ditumbuhkan lagi. Passion ini memang seakan akan memperbudak rasio karena kebanyakan rasio memang baru akan ‘bergejolak dan terpecut’ ketika apa yang menjadi passion-nya itu sudah seakan merengsek dalam ‘semangat hidup’. Sayap di kanan-kiri kereta-nya Platon itu memang mempunyai keinginan kuat untuk semakin mendekat pada ‘kebaikan para dewa-dewa’. Semestinya. Dan itu kemudian menjadi bahan bakar utama sehingga rasio menjadi lebih berkembang. Tulisan ini didorong oleh situasi begitu carut-marut yang mestinya datang tidak dengan tiba-tiba saja. Tidak terus mendadak carut marut. Atau mendadak rusak-rusakan. Tentu banyak faktor yang akan berpengaruh, tetapi pada kesempatan ini hal-hal di atas menjadi pintu masuk ‘analisa’.
Bertahun terakhir bisa dikatakan adalah ‘hikayat sayap-sayap patah’. Patahnya saya-sayap berakibat meredupnya passion terhadap ‘kebaikan para dewa-dewa’ atau katakanlah, cita-cita Proklamasi. Lihat misalnya naik dan amblasnya narasi ‘revolusi mental’ itu misalnya. Atau paling vulgar, isu ‘mobil esemka’. Atau contoh dalam dunia perguruan tinggi bagaimana passion terhadap integritas keilmuan mengalami keretakan besarnya. Lihat penampakan dari masalah disertasinya sik-Balil itu, di UI. Atau soal Sirekap KPU, di ITB. Juga soal ijasah palsu yang hari-hari ini semakin tersingkap saja kepalsuannya, di UGM. Belum lagi soal Lembaga-lembaga penelitian yang seakan memang sengaja dikerdilkan. Terlalu banyak passions yang dipreteli sehingga rasio dalam konteks ranah negara itu semakin kehilangan bahan bakar utamanya. Akibatnya? Bermacam hasrat -desire, yang ada di kuda putih dan kuda hitam-pun kemudian menjadi ugal-ugalan. Hasrat akan kebesaran, kemegahan, ‘kehormatan’ yang ada dalam kuda putih (oleh Platon bisanya menunjuk pada ‘kelas serdadu’: baca juga, yang pegang kekuatan kekerasan) serta hasrat akan makan, seks, dan terutama uang dalam diri kuda hitam (‘kelas pedagang’ ada di sini sebagai ‘kelas’ utamanya) menjadi ugal-ugalan, dan akhirnya justru mereka-mereka itu, terutama hasrat akan uang akan memperbudak rasio sik-sais. Ke-prudence-an perlahan kemudian melenyap, dan menjadi begitu mudahnya jatuh pada ‘jebakan utang’, misalnya. Sayap-sayap yang (semestinya) mempunyai passion terhadap ‘kebaikan dewa-dewa’ itu akhirnya patah berantakan dan sayangnya, (di)tumbuh(kan) baru dengan segala ‘crimes of passions’ yang akhirnya mendorong berkembangnya ‘crimes of logic’ yang menghamba atau bersekutu pada ugal-ugalannya hasrat terutama hasrat akan uang. Uang yang tidak hanya berhenti pada kenikmatan, tetapi juga diyakini sebagai bahan bakar utama dalam memuaskan will to power. Pernah ada pengalaman panjang terkait dengan ‘passion palsu’ ini: tinggal landas. Jaman now, yang era ‘emas-emas’ itu.
Tetapi bagaimana ‘distorsi’ passion dapat dimungkinkan di ranah olah kuasa negara? Karena bagaimanapun juga, katakanlah jika memakai Alegori Kereta-nya Platon di atas, kereta berjalan tidak di ruang kosong. Tidak sedang melaju di jalan tol seperti saat pandemi menggila. Bagaimana jika kereta melaju di situasi genting, exception - entah asli atau ‘rekayasa’, seperti dibayangkan Carl Schmitt ketika ia mendefinisikan tentang siapa ‘yang berdaulat’ dalam situasi exception? “Sovereign is he who decides on the exception,” demikian tulis Carl Schmitt seabad lalu. Apakah benar si-sais yang berdaulat, ataukah sebenarnya kuda putih, ataukan kuda hitam, ataukah persekutuan iblis-iblis? Jika passion itu lebih dekat pada nurture, lihat misalnya soal MAGA yang selalu saja di-latar-belakangi oleh kedaruratan imigrasi, misalnya. Dan lihat bagaimana ‘tontonan-brutal’ terkait dengan masalah itu dipertontonkan di AS sono.
Maka ‘hikayat sayap-sayap patah’ salah satunya berujung pada ‘salah asuh’ terhadap passion yang semestinya akan menjadi bahan bakar rasio. Passion ‘palsu’ yang dalam praktek sebenarnya tak jauh dari ‘crimes of passion’ seperti dinampakkan oleh Nazisme, akhirnya merupakan bahan bakar bagi ‘crimes of logic’ yang ujung-ujungnya melahirkan apa yang disebut Hannah Arendt sebagai banality of evil. Apakah berbeda dengan ‘crimes of passion’ yang membayangi MAGA dengan situasi ‘kedaruratan-imigrasi’ dengan munculnya bermacam ‘crimes of logic’ ketika Trump membuat keputusan?
Jika melihat ‘peta masalah’ di atas, maka tuntutan demonstrasi hari-hari ini terkait ‘tentara kembali ke barak’ adalah benar sekali dan sangat perlu didukung. Tidak hanya ‘tentara kembali ke barak’ sebenarnya, tetapi juga ‘pedagang kembali ke pasar’. Tetapi melihat karakter sik-kuda hitam itu jelas juga tidak mudah untuk ikut saja pada bisikan ‘kembali ke pasar’. Maka sekali lagi, ‘tentara (baca juga: yang pegang senjata) kembali ke barak’ adalah lebih ‘strategis’ sehingga ‘persekutuan iblis’ ketika kuda putih dengan kuda hitam menjadi lebih kecil potensinya. Sais menjadi lebih mampu bertahan menghadapi gempuran sik-kuda hitam (karena kuda putih mempunyai karakter lebih mudah mendengar bisikan sais), dan kemudian menjadi lebih mampu mengasuh, merawat, menumbuhkan sayap-sayap (sebagaimana mestinya, tidak yang ‘palsu’) yang akhirnya juga akan menjadi bahan bakar utamanya dalam berkembangnya rasio yang digendong sik-sais. Seluruh ‘cerita’ di atas sebenarnya adalah juga perjalan panjang manusia, yang mana ia akan disibukkan dalam bagaimana cara, percobaan, mengelola hasrat -desire. ‘Politik hasrat’ a la pembukaan tutup Kotak Pandora bertahun terakhir ini akhirnya semakin menampakkan diri apa yang menjadi konsekuensinya, rusak-rusakan kronik yang sedang menampakkan ke-akut-annya hari-hari ini. *** (26--03-2025)
1628. Wajib Tonton
27-03-2025
Klik: https://x.com/hashtag/NarasiExplains?src=hashtag_click
1629. Deep-party?
27-03-2025
Donald Trump dan gerombolannya itu nampaknya sudah belajar banyak dari republik jaman old, terkait dengan istilah deep state. Bagi yang cukup lama rentang dewasanya ada di era republik jaman old tentu akan akrab dengan istilah ‘bahaya laten’, komplet dengan segala catatan ‘bersih lingkungan’-nya, atau litsus-nya, dan seterusnya, dan seterusnya. Sebenarnya baik istilah deep state maupun ‘bahaya laten’ itu adalah juga soal praktek ‘olah kuasa’, “sovereign is he who decides on the exception,” demikian tulis Carl Schmitt seabad lalu. Dan yang berdaulatpun kemudian memutuskan untuk membangun bermacam ‘jalur’ demi semakin kokohnya keberdaulatannya, maka kemudian kita mengenal jalur ABG itu di jaman old. Di tengah-tengah situasi exception karena selalu saja ada ‘bahaya laten’ yang terus mengintai.
Tetapi bagaimana dengan celetukan Medikbudristek 2021 -2024 Nadiem Makarim di PBB pertengahan September 2022 terkait dengan ‘organisasi bayangan’ itu? Atau logika istilah ‘pakta dominasi primer’ dan ‘pakta dominasi sekunder’ dari Cardoso di sekitar tahun 1970-an? Atau peringatan SBY tentang ‘matahari kembar’? Apakah memang beda anatara deep state dan shadow state? Apakah penghayatan kita terkait dengan adanya ‘tangan-tangan tak terlihat’ dalam ranah negara mengambil inspirasi dari adanya malaikat dalam ranah teologi? Ataukah didorong juga ketika masuk era modern, ada semangat untuk mencari hukum-hukum universal yang menggerakkan sesuatu? Hukum gravitasi Newton salah satunya. Atau bagaimana kita memahami mengapa partai-partai politik itu terlalu sering bermain secara kucluk-kucluk-an? Karena ‘sandera kasus’ terus menjadi masuk akal ketika ada yang melihat bahwa tidak hanya deep state, tetapi ada juga deep-party? Atau katakanlah jika memakai istilah Cardoso di atas, partai politik di republik dalam praktek ia sebenarnya adalah ‘pakta dominasi sekunder’ saja. Jika Cardoso melihat kapitalisme sebagai penggerak utama dalam ‘pakta dominasi primer’ yang akan berimbas besar dalam ‘pakta dominasi sekunder’, bagaimana dalam dunia kepartaian di republik? Akankah istilah kapitalisme di atas bisa kita ganti dengan modal, atau jelasnya: uang? Dengan peristiwa kedaruratan berulangnya adalah ketika pemilihan umum? Pemilihan umum yang sudah terlalu telanjang menjawab siapa yang sebenarnya berdaulat: uang. Tetapi apakah ini akan mulus-mulus saja jika tidak ada aktor-aktor manusia kongkret sebagai ‘operator’nya? Bermacam ‘operator’ yang kemudian menjadikan Trump dan gerombolannya memompa isu deep state itu?
Jika kita membayangkan peristiwa di UGD sebuah rumah sakit, dan dokter dibantu para perawat sedang berusaha menyelamatkan jiwa korban kecelakaan, apakah dokter itu kemudian sibuk mencari ‘jiwa’ dan setelah ketemu kemudian ‘diselamatkan’? Tentu tidak, ia akan segera membebaskan jalan napas dan memberikan bantuan pernapasan, kemudian berusaha menghentikan perdarahan, mengganti darah yang hilang dan menjaga sirkulasi darah dalam tubuh. Jika itu semua dilakukan maka diharapkan akan selamatlah jiwa korban. Apakah deep state atau dalam konteks tulisan ini deep-party kita sedang bicara soal the ghost in the machine? Yang karena sibuk bicara tentang itu menjadikan semakin tidak sadar saja betapa sudah rusaknya ‘tubuh’? Tetapi bukankah ‘organisasi bayangan’ yang disebut Nadiem Makarim di atas adalah kongkret memang ada? Atau jangan-jangan sik-Mas Menteri sadar atau tidak, sedang melakukan sebuah ‘kesalahan kategoris’? *** (27-03-2025)