1595. Negeri Tanpa KLB?
24-01-2025
KLB adalah Kejadian Luar Biasa, istilah dalam ranah kesehatan masyarakat yang bagi rekan-rekan tenaga medis dimanapun akan sangat paham tentang hal ini. Ada beberapa kategori dalam bidang epidemiologis sehingga temuan tertentu kemudian disebut sebagai KLB. Dan dengan ditetapkan sebuah temuan atau peristiwa sebagai KLB maka semua protocol wajib dilaksanakan. Tetapi sebagai istilah di luar ranah kesehatan masyarakat, apakah kita mengenal juga tentang KLB ini? Apapun itu kemudian di-istilahkan? Gebrakan pertama Donald Trump setelah disumpah bisa dilihat di sana-sini nuansa ‘emergency’ muncul.[1] Tetapi kita memang harus hati-hati dalam menempatkan nuansa ‘emergency’ ini. ‘Bablasan’-nya mungkin saja lebih pada keinginan untuk unjuk-gigi tentang siapa yang (sedang) berdaulat. Menurut Carl Schmitt se-abad lalu, sovereign is he who decides on the state of exception. Jadi nuansa ‘emergency’ itu bisa-bisa menjadi background untuk laku petèntang-petèntèng, bahkan semau-maunya. Tetapi bagaimana jika ‘tidak mengenal’ nuansa ‘emergency’, atau seperti digambarkan dalam judul, tidak mengenal KLB?
Dalam ranah kesehatan, jika tidak mengenal KLB maka potensi diserang wabah akan membesar. Ketika kesiap-siagaan menipis, tahu-tahu satu jenis penyakit sudah merebak tidak karu-karuan, menjadi sulit dikendalikan lagi. Dan semua itu dimungkinkan karena manusia mampu membangun imajinasi. Imajinasi bahwa ia hidup di ‘ruang antara’, antara chaos dan kosmos. Pada saatnya ‘ruang antara’ di atas lebih didekati dengan teknologi bermacam ‘axis mundi’. Tetapi dengan berkembangnya bermacam pengetahuan, teknologi ‘axis mundi’ ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga perlahan peran manusia menjadi sentral. Tetapi dari dulu sampai sekarang, bermacam ‘axis mundi’ itu tidak akan terjelaskan dan hadir jika manusia tidak mengenal bahasa.
Dalam ‘ruang antara’ itu, bagaimana harus bertindak akhirnya -paling tidak, berkembang dua ‘pendekatan’, satunya berangkat dari ‘keterpesonaan’ akan chaos lainnya akan kosmos. Katakanlah ada asumsi bahwa manusia itu ‘jahat’ karena lebih merupakan bagian dari chaos, satunya memandang bahwa manusia itu pada dasarnya ‘baik’ dan lebih menjadi bagian dari kosmos. Karena dengan ‘baik’-nya ia menjadi mampu bersepakat. Ada juga yang tidak urusan apakah manusia itu pada dasarnya baik atau jahat, tetapi lihatlah bagaimana manusia itu mencari penghidupannya. Tetapi apapun itu, semuanya menjadi mungkin karena sekali lagi: adanya bahasa. Maka tak mengherankan jika Heidegger meyakini bahwa bahasa adalah juga rumah being, atau katakanlah rumah manusia. Dengan bahasa manusia menjadi lebih dimungkinkan membangun ‘keberakaran’ hidupnya. Dengan bahasa manusia lebih mampu membuka lapis demi lapis bermacam selubung realitas, dan terus saja dimajukan dari waktu ke waktu. Kebenaran sebagai aletheia. Tetapi dalam praktek bahasa sebagian besar akan menjadi sekedar alat saja, ready for hand. Wajar, hanya saja masalahnya adalah ketika bahasa sebagai alat kemudian menjadi satu-satunya alasan kehadirannya. Jika itu terjadi, bisa-bisa ‘rumah’ manusia menjadi kering dan pengap. Dan dalam konteks tulisan ini, bisa-bisa kemudian hidup bersama tidak mengenal lagi apa itu KLB. Karena bahasa kemudian hanya menjadi alat menipu, ngibul, ngelès, mlipir. Dengan bahasa manusia kemudian mampu mencapai puncak kelicikan dan keculasannya. Akibatnya, potensi merebaknya bermacam ‘penyakit’ atau juga ‘kejahatan luar biasa’-pun akan membesar. Chaos-pun akan semakin membayang lekat. Atau sebaliknya, bahasa kemudian lebih sebagai alat untuk petèntang-petèntèng gegayaan sok-sok-an seakan-akan hanya dia saja yang berdaulat. *** (24-01-2025)
[1] Lihat misalnya, https://www.bbc.com/news/articles/ced961egp65o