1690. (Menulis Ulang) Sejarah Kegilaan
10-06-2025
Mungkinkah diantara founding fathers yang ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945 dan memang faktanya lekat dengan gerakan antithesis terhadap penjajahan, akhirnya menemukan sintesisnya seperti tergambarkan dalam Pembukaan dan Proklamasi? Dan bahkan kemudian terhayati sebagai ‘jiwa absolut’ yang akan menentukan segala peristiwa di kemudian hari? Atau kemudian terhayati sebagai ‘asas tunggal’? ‘Ke-absolut-an’ yang seakan melumpuhkan kemampuan untuk ‘menunda’ atau dalam Fenomenologi disebut sebagai epoche itu. Yang dengan itu pula (epoche) siapa tahu realitas akan semakin menampakkan diri. Siapa tahu pula semakin menampakkan diri sebagai anti-tesis. Pembukaan dan Proklamasi tiba-tiba adalah sebuah tesis yang sedang berhadapan dengan anti-tesisnya. Dan mungkin saja muncul sintesis yang akan menjadi tesis baru: bubar.
Perbudakan, kolonialisme, exploitation de l’homme par l’homme, adalah sebagian yang bisa disebut dari sisi gelap manusia. Dari sisi kegilaan manusia. Dan ternyata ‘yang nyata’ itu tidak hanya ‘yang rasional’ saja. Kegilaan hasrat bahkan mempunyai potensi besar untuk memperbudak rasio. ‘Kejahatan logika’ itu bisa-bisa lekat dengan ‘kejahatan hasrat’. Dan hasrat apa yang mempunyai potensi kegilaan paling besar? Hasrat akan uang? Tapi lihat dalam film Wall Street (1987) ketika juga neoliberalisme seakan ada di atas angin, Gordon Gekko (Michael Douglas) sudah membaptis bahwa greed is good: bukan kegilaan, katanya. Dan bagaimana jika keserakahan (akan uang) ini akhirnya memperbudak ke-absolut-an ‘rasionalitas negara’? Apakah sudah waktunya keserakahan yang memperbudak ‘negara’ itu adalah juga sebuah tesis baru yang (semestinya) akan menghadirkan anti-tesisnya?
Jika hari-hari ini ada keinginan kuat dari penguasa untuk menulis ulang sejarah, maka dari sekian klaster sejarah ada baiknya ditulis juga sejarah tentang bagaimana bermacam kegilaan telah ikut mewarnai perjalanan republik. Termasuk juga bagaimana kegilaan itu tidak hanya terus ‘dinormalkan’ tetapi juga ditutupi oleh segala selubung ‘ke-absolut-an’, entah itu negara atau segala angan tentang kebesaran di masa depan. Realitas kegilaan yang memang sungguh nyata ada. Tetapi bagaimana sejarah kegilaan akan ditulis ketika kegilaan itu sendiri masih begitu dalamnya? Maka itu (‘sejarah kegilaan’) akan ditulis bukan sebagai ‘doktrin resmi’ tetapi sebagai sejarah perlawanan, dan sekali lagi, sebagai anti-tesis. *** (10-06-2025)
1691. Sebulan Lagi, 240 Triliun!
11-06-2025
You can sway a thousand men by appealing to their prejudices quicker than you can convince one man by logic ― Robert A. Heinlein
Bisakah anda bayangkan ketika korupsi sudah tidak melibatkan hanya milyaran atau triliunan rupiah, tetapi sudah puluhan triliun bahkan ratusan triliun? Atau dari Sabang sampai Merauke, jika meminjam kegilaan Trump: drill, baby, drill. Gali-gali-gali semua tambang itu dengan paradigma at all cost. Demi siapa? Demi kegilaan sik-Machiavelli dalam menumpuk harta! Machiavelli yang menua, demikian kata Leo Strauss. Semua tambang kalau perlu ‘di-privatisasi’ dan di-distribusikan pada lu lagi lu lagi. Baik itu ‘legal’ atau ‘ilegal’. Kalau perlu digeser ke propinsi lain yang ‘ramah lu lagi lu lagi’. Gila. Brutal. Belum lagi accumulation by dispossession yang tanpa beban lagi menggangsir bermacam dana pensiun itu, atau dana pekerja di Jamsostek. Atau dana haji. Melalui salah satu rute accumulation by dispossession (David Harvey): finansialisasi. Satu bulan lagi kita akan melihat bagaimana ‘manipulasi dan manajemen krisis’ akan menari-nari di atas panggung. Krisis yang terjadi di banyak desa-desa itu: kemiskinan dan keterjeratan terhadap tangan-tangan panjang bermacam mafia, sedang diorkestrasi untuk menyamarkan bagaimana salah satu bentuk accumulation by dispossession: finansialisasi, dimainken. Tidak akan jauh-jauh amat dari sritex-isasi, hanya saja ini dimainken sacara kolosal. Dan sekali dayung dua pulau dalam hal ini, hikayat menggangsir dan membangun jaringan politik. Jaringan politik di desa-desa yang akan digaji 8 juta per bulan! Judul Lakon di panggung: Koperasi DMP, tahap pertama dibuka sebulan lagi sebesar 240 triliun dari rencana 400 triliun!
Semakin nampak yang dihadapi bertahun terakhir sudah bukan ‘kejahatan hasrat’ lagi, tetapi ‘kegilaan hasrat’. Maka semakin ke sini semakin terasa tepat saja istilah ‘termul’ itu: ternak mulyono. Karena orang-orang itu semakin menampakkan diri saja lebih mendekat pada perilaku binatang dengan hilangnya hal timbang menimbang sebagai salah satu imbangan dari gejolak hasrat. Tidak ada kepentingan lain selain kepentingan diri dan komplotannya. Bahkan untuk menormalkan situasi, dibukalah tutup kotak Pandora itu lebar-lebar, semua kejahatan kemudian seakan menjadi normal-normal saja bebas beredar di tengah republik. Bahkan harapan yang ikut keluarpun dipermainkan habis-habisan dengan ngibul yang sudah tidak tahu batas lagi. Res-publika kemudian bergeser lebih merupakan bagian dari ilmu zoology. Dengan segala ke-brutal-annya. *** (11-06-2025)
1692. Keranjingan Kerumunan
13-06-2025
Pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga, katanya. Pengalaman apa dapat diperoleh bertahun terakhir terkait kekuasaan dalam praktek? Tentu banyak, tetapi pada kesempatan ini terkait dengan kerumunan. Ada yang keranjingan pada kerumunan, atau bahkan kecanduan kerumunan dalam olah kuasa. Dari kerumunan kamerawan yang selalu menguntit, kerumunan dari hasil survei, kerumunan digital yang dimobilisir untuk sebuah ‘trending’, atau kerumunan di ‘lapangan’ dalam bermacam peristiwa. Atau kerumunan yang sibuk membicarakan dia, atau sesuatu. Macam-macam. Bahkan sampai menggunakan media lempar-lempar bingkisan segala. Atau setiap Agustus-an, setelah upacara dan di tempat yang sama, di depannya kerumunan adipati sedang berjoget. Disuruh berjoget. Disaksikan oleh ‘sik-raja’ dengan angguk-angguk kecil sambil pecingas-pecingis. Komplit dengan tepuk tangan ringan a la Mafioso. Raja tentu tak boleh berjoget bersama para abdi. Macam-macam, namanya saja sudah kecanduan. Jadi bukan ‘raja jawa’ atau lainnya, tetapi ‘raja kerumunan’. Tak peduli kerumunan asli, palsu, atau bayaran.
Banyak pendapat yang mungkin muncul terkait peristiwa di atas. Macam-macam. Kerumunan dalam praktek kuasa sudah ada sejak sejak dulu. Istilah ‘roti dan sirkus’ sudah dikenal lebih dari 2000 tahun lalu. Raja-raja tidak akan ada jika tidak ada kerumunan dalam bermacam peristiwa. ‘Tekhnologi’ axis mundi tidak akan muncul jika tidak ada kerumunan yang menghidup-hidupinya. Bahkan tilikan Manuel Castell tentang masyarakat jaringan-pun tidak lepas bagaimana kerumunan menempatkan diri. Masyarakat dan kerumunan memang beda, tetapi dalam praktek kuasa kadang masyarakat dihayati oleh sang-penguasa tidak lebih dari sekedar kerumunan saja. Dan inilah yang menjadi fokus tulisan, keranjingan akan kerumunan itu perlahan kemudian menggeser persepsi sang-penguasa terhadap masyarakat sehingga lebih dihayati sebagai kerumunan saja.
Atau kalau meminjam istilah Braudel meski spekulatif sifatnya, kerumunan itu adalah event history, masyarakat mid-term, dan peradaban adalah longue duree. Bisa dibayangkan juga ketika masyarakat kemudian dihayati sebagai kerumunan maka yang dipertaruhkan adalah juga peradaban. Mengapa kerumunan mempunyai potensi merusak peradaban ketika menjadi pusat gravitasi olah kuasa? Gustav Le Bon pernah mengingatkan terkait dengan ‘anonimitas kerumunan’. Anonim adalah serapan dari bahasa asing yang dari asal katanya dekat dengan pengertian ‘tanpa nama’. Individu-individu yang larut dalam kerumunan itu seakan menjadi ‘tanpa nama’ lagi. Dan bisa jadi ‘subyek’pun akan melenyap. Atau kalau dalam film kartun, pemilik modal tiba-tiba saja melihat manusia-manusia dalam kerumunan itu nampak menjadi lambang dollar atau rupiah.
Maka manusia-manusia dalam kerumunan itu akan terhayati sebagai obyek belaka. Dan relasi antara penguasa dan kerumunan itu jika memakai istilah Martin Buber, adalah relasi I-it. Terlebih dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede): yang keranjingan bisa-bisa menjadi kecanduan. Tetapi dalam demokrasi, bukankah memang tidak mungkin lepas dari olah kerumunan? Dalam rejim monarki - aristokrasi, bisa dikatakan yang ‘butuh’ kerumunan adalah sik-mono, atau sik-aristo. Sedang dalam rejim demokrasi, mestinya kerumunan itu tercipta karena mau-maunya sik-demos. Maka adalah penting untuk memberi kandang ketat terhadap kemungkinan ‘manipulasi tingkat dewa’ terkait kerumunan yang sudah dilepas dari mau-maunya sik-demos, yaitu ada di rentang kampanye saja. Bermacam tehnik manipulasi modern, ‘manipulasi tingkat dewa’ yang sudah berkembang sejak awal abad 20 itu. Keranjingan atau bahkan kecanduan kerumunan dalam olah kuasa adalah bablasan dari rentang kampanye. Tiada hari yang tidak diupayakan untuk mengolah kerumunan seakan sedang kampanye saja. Tiada hari yang tidak mengerahkan buzzerRp untuk membangun kerumunan digital. Dan seterusnya.
Kampanye dalam rejim demokrasi, terlebih terkait dengan rentang pemilihan umum, suka atau tidak jika memakai pembedaan tahap-tahap kebudayaannya Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, akan lekat dengan eksploitasi tahap mitis. Selalu akan ada upaya ‘mengurung’ yang banyak sehingga itu pula yang akan dibawa ke bilik-bilik coblosan. Mungkin saja akan ada bentuk dialog -relasi I-thou (Martin Buber), yang menggali bersama apa yang menjadi ‘esensi’ masalah: tahap ontologis, tetapi tetap saja itu akan mempunyai potensi besar sebagai yang minor saat itu. Jepang adalah negara yang mengeluarkan peraturan ketat dalam kampanye politik. Aturan dalam segala pernak-pernik kampanye politik. Salah satu yang ditekankan oleh Public Official Election Act (POEL) di Jepang sana adalah “election campaign by candidate are permitted only during the election period.”[1] Dan banyak lagi. Jadi, mengapa dalam hal ini tidak belajar dari Jepang saja? Sudah terbukti. *** (13-06-2025)
[1] Masahiro Usaki, Restriction on Political Campaigns in Japan, 1990 (Bisa dicari via google)
1693. Dari Epstein Files ke Epstein-Barr?
14-06-2025
Bertahun terakhir kita bisa melihat dengan telanjangnya bagaimana orang bisa mau melakukan hal-hal ‘di luar nalar’ akibat sandera kasus. Kita membayangkan orang dengan kapasitas seperti itu semestinya hil yang mustahal untuk melakukan hal-hal yang ‘di luar nalar’ itu. Tapi nyatanya terjadi juga, bahkan jika disuruh kayang atau koprol sekalipun akan dilakukan. Bertahun sebelum media sosial merebak, dan jaringan internet sedang mulai menyebar, Manuel Castells telah memperingatkan bahwa nantinya di era Informasi, politik skandal akan menempati posisi penting. Sebelum internet masuk dalam keseharian - beberapa tahun sebelum Manuel Castells menulis triloginya, Gary Hart yang digadang-gadang menjadi calon presiden dari Partai Demokrat tersandung sebuah foto dengan Dona Rice di tahun 1987. Muncul di sebuah majalah cetak. Jika itu masuk dalam logika ‘Epstein files’, foto seperti itu akan disimpan saja dan tidak dipublikasikan untuk menjadi senjata dalam ‘sandera kasus’ jika siapa tahu nantinya Gary Hart jadi presiden, misalnya. Atau menjadi bagian dari ‘politik skandal’ seperti dimaksud oleh Castells di atas.
Dalam trilogy yang terbit di dekade terakhir abad 20, Manuel Castells juga menyebut akan adanya ketegangan antara the net dan the self dalam Revolusi Informasi ke depannya. “Man is essentially a story-telling animal. That means I can only answer the question ‘what am I to do’ if I can answer the prior question of ‘what story or stories do I find myself a part of?” Demikian ditulis Alasdair MacIntyre dalam After Virtue beberapa tahun sebelum trilogy Castells terbit. Bisa dibayangkan salah satu sumber utama dari bangunan stories di atas bisa saja akan ada-terbangun dalam dinamika the net. Masalahnya, bagaimana I find myself a part of jika kaki-tangan tersandera kasus? Istilah ‘jati diri’ dalam hal ini memang sengaja dihindari karena sering sudah mengalami ‘inflasi’-nya. Kegagapan republik bertahun terakhir dalam menghadapi bermacam dinamika the net rasa-rasanya salah satu sumber utamanya adalah keranjingannya akan ‘politik skandal’ ini. Pertanyaan ‘what am I to do’ tidak pernah terjawab secara otentik.
Peristiwa yang membangun Epstein Files dimulai tak jauh-jauh amat dari terbitnya triloginya Manuel Castells. Dan peristiwa itu tak jauh-jauh amat dari kegilaan hasrat, terutama hasrat akan seks. Tidak hanya itu, tetapi ternyata banyak melibatkan wanita-wanita muda. Anak-anak? Masih belum terkuak memang. Jelasnya, ternyata Epstein itu mucikari. Dan pelanggannya kalangan ‘elit’, yang menurut Elon Musk ketika perang kata-kata dengan Trump, jika Epstein Files itu dibuka semua, Trump katakanlah akan ‘kesulitan’. Tetapi dalam konteks ‘politik skandal’, masalahnya bukan sekedar ‘kesulitan’ lagi, tetapi bisa-bisa membuat -jika memakai istilah Castells, the self perlahan akan melenyap. Jika itu terkait dengan kekuasaan, kuasa bisa-bisa berkembang menjadi ‘tanpa wajah’ lagi. Dalam pertemuan tatap-muka, face-to-face, ada sebuah etika yang berkembang menurut Levinas. Seakan kita dalam pertemuan tatap-muka itu dituntut untuk ikut bertanggung jawab terhadap ‘yang lain’. Ekstremnya, ‘yang lain’ itu seakan sedang menyampaikan pada kita, ‘jangan bunuh saya’. Ketika kuasa semakin ‘tanpa wajah’ karena jeratan ‘politik skandal’, maka bisa dikatakan juga ia semakin menjauh dari penghayatan akan etika. Ada yang menyebut abad 21 semestinya menjadi Abad Etika, nampaknya itu perlu perjuangan yang tidak kecil. Bahkan etika bisa-bisa terkapar berhadapan dengan soal perkontholan dan pertempikan yang sudah berubah menjadi ‘politik skandal’. Sudah terlanjur membuat analisa ‘tingkat dewa’, ternyata port de entrée segala kegelapan itu berasal dari perkontholan dan pertempikan. Kucluk berat-lah ... *** (14-06-2025)
Catatan: Epstein-Barr adalah virus yang bisa menular lewat ludah atau cairan tubuh lain. Salah satu akibat jangka panjang yang meski jarang terjadi adalah kanker.

