1675. Roti dan Sirkus

22-05-2025

Frasa ‘roti dan sirkus’ muncul kira-kira seabad sebelum masehi, di jaman Romawi Kuno. ‘Roti dan sirkus’ ditujukan untuk mengendalikan ‘yang banyak’, meski ada pihak yang mengkritisi juga dua milenium lalu. Hari-hari ini terkait dengan bermacam penampakan isu ijazah palsu semakin meyakinkan bagaimana ‘roti dan sikus’ ini telah dimainken lekat di bertahun terakhir. ‘Roti’ untuk penjilat dan kroni-kroninya. ‘Roti’ (baca: remah-remah) bagi ‘yang banyak’ itupun seakan disirkuskan dalam pemberian bansos. Dalam gambar besarnya, memang ‘yang banyak’ maunya dikenyangkan dengan ‘sirkus’ saja oleh penguasa.

Bahkan isu ijazah palsu hari-hari inipun menampakkan diri sebagai sirkus yang sedang dimainkan oleh si-pemilik ijazah. Bukannya menunjukkan ijazahnya untuk diuji palsu tidaknya secara saintifik, tetapi justru main ‘sirkus’. Seakan ya itu saja kemampuannya, main ‘sirkus’. Mengapa pengarah gaya menjadi begitu yakin akan khasiat ‘sirkus’-nya penguasa? Selain yakin sedang ada dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), nampaknya apa yang pernah dikatakan Sukardi Rinakit sekitar 17 tahun lalu - dua tahun setelah twitter, empat tahun setelah facebook, di era SBY, sedikit banyak bisa memberikan tambahan gambaran, masyarakat melodramatic: mudah bosan, mudah lupa, mudah kasihan.[1] Mudah bosan, mudah lupa mungkin mempunyai latar belakang ‘universal’-nya ketika 40 tahun sebelum Sukardi Rinakit memperkenalkan istilah masyarakat melodramatic, di nun jauh sana ketika hiper-konsumsi mulai merebak, merebak pula apa yang disebut sebagai ‘throw-away society’. Bahkan nampaknya ini semakin menebal di era Revolusi Informasi dengan diperkenalkannya istilah ‘logika waktu pendek’. Ketika sosial media meski sudah dikenal tetapi belum merebak seperti sekarang ini, Tina Talisa yang saat itu masih sebagai penyiar salah satu televisi swasta pernah mengatakan bahwa isu politik itu umurnya sekitar tiga bulanan. Dalam bayangan Tina saat itu nampaknya umur tersebut didukung pada seliweran hangatnya di media elektronik, dalam modus komunikasi man-to-mass seperti radio, surat kabar, atau televisi. Dalam banjir informasi via modus mass-to-mass seperti internet, sosial media, bisa-bisa lebih pendek umurnya. Maka ‘main sirkus’-nya penguasa sebenarnya adalah juga sedang ‘membeli waktu’ sampai khalayak kebanyakan menjadi bosan dan lupa. Bagaimana dengan ‘mudah kasihan’?

Bagaimana dengan mudah marah, mudah benci, mudah ngamuk? Dimana letaknya marah, benci, kasihan, sedih, senang? Salah satu pilar penting dalam kapitalisme adalah konsumsi, dan ketika terjadi hiper-konsumsi tiba-tiba saja muncul perilaku ‘mudah membuang’, throw-away society. Atau pada dasarnya adalah juga mudah lupa, mudah bosan, mudah membuang, dan … beli lagi. Membeli menjadi bukan lagi semata karena kebutuhan. “Desire is the essence of a man,” demikian pernah dikatakan Spinoza (1632-1677). Soal bagaimana hasrat ini dikelola nampaknya selalu membayangi perjalanan sejarah manusia. Diingkari, diterima sebagai bagian apa adanya manusia, dieksploitasi, diteliti, dan seterusnya. Yang pasti, hasrat perlu dilatih. Entah dilatih dengan ditabrakkan dengan hasrat lain yang lebih ‘terang’, atau dilatih untuk ‘mau mendengar’ bisikan hati nurani dan atau memberikan kesempatan timbang-menimbang masuk ke dalam dunianya. Tidak mudah memang, tidak hanya terkait dengan pendapat Spinoza di atas, tetapi karena id (Freudian) dimana hasrat sebagian besarnya bersemayam merupakan bagian besar dari ‘gunung es’ kesadaran (yang ada di bawah permukaan).

Penelitian tentang mirror neuron system sejak bagian akhir abad lalu telah memberikan ‘dukungan’ terhadap teori segitiga hasrat-nya Rene Girard (1923-2015). S (subyek) akan menghasrat O (obyek) karena meniru M (model) yang menghasrati O. Tak jauh-jauh amat dengan logika iklan sebenarnya. Bisa dibayangkan tingkah laku M itu seakan masuk dan tertangkap oleh jaringan mirror neuron system dalam otaknya S sehingga seakan ia juga (akan) berperilaku seperti itu. Maka jika hari-hari ini kita membaca berita Menteri Pertanian Jepang Taku Eto mengundurkan diri karena bicara di depan publik seakan tanpa empati[2], itu bisa dibayangkan para pejabat di sana paham betul apa yang dipertaruhkan. Bandingkan dengan yang terjadi di republik meski sama-sama warga Asia. Maka terkait yang sedang hangat hari-hari ini, yang sedang tersangkut isu ijazah palsu itu jelas orang yang tidak paham apa yang sedang dipertaruhkan republik. Bagi yang sungguh mencintai republik, melawan orang yang sudah keranjingan ‘main sirkus’ itu adalah wajib hukumnya. Jangan sampai orang dengan kualitas seperti itu menjadi ‘model’ yang akan ditiru oleh khalayak kebanyakan, terutama generasi muda. Orang itu memang (ditugaskan) merusak republik saja. Seribu persen kacung. *** (22-05-2025)

[1] https://news.detik.com/berita/d-925914/oh-melodramatiknya-indonesia

[2] https://news.detik.com/internasional/d-7924712/menteri-jepang-mundur-usai-dihujat-karena-bilang-tak-pernah-beli-beras

1676. Industri dan 'Kebaikan Dewa-dewa'

23-05-2025

Jika industri berkembang maka ia akan mendorong kesejahteraan bersama, salah satunya dengan menyediakan lapangan pekerjaan. Atau juga pajak. Ada banyak kebaikan mengalir dari industrialisasi, tetapi tidak sedikit pula sisi gelapnya. Semestinya berkembangnya industri bisa dibayangkan ada di tempat ‘kebaikan para dewa-dewa’ bersemayam dalam Alegori Kereta-nya Platon. Kita bisa membayangkan sebuah kereta perang jaman Yunani Kuno ditarik oleh dua ekor kuda, kuda putih dan kuda hitam. Kuda putih melambangkan kehormatan, keberanian, sedang kuda hitam segala hasrat perut ke bawah, makan, sex, dan terutama hasrat akan uang. Kereta dikendalikan oleh sais, dan di kanan-kiri ada sayap-sayap. Sais melambangkan nalar atau rasio, sedang sayap-sayap katakanlah energi hidup, semangat hidup, atau kalau meminjam istilah Henry Bergson, elan vital. Kuda hitam mempunyai sifat semau-maunya dan cenderung tuli sehingga sulit mendengar kata-kata atau perintah sais. Selain itu kuda hitam mempunyai kecenderungan meluncur ke bawah, padahal seharusnya kereta diarahkan ke atas untuk semakin mendekati ‘kebaikan dewa-dewa’. Tetapi pada kuda hitamlah bersemayam energi atau kekuatan paling besar, meledak-ledak. Kuda putih mempunyai sifat lebih mau mendengar kata-kata sais. Sayap sebagai ‘semangat-energi hidup’ akan membantu mendorong kereta ke atas. Bisa patah, tetapi bisa juga tumbuh lagi.

Platon membangun Alegori Kereta ini tidak jauh-jauh dari tripartite jiwa-nya, dan terefleksi kemudian dalam ‘tata kelola’ polis. Jadi hal-hal di atas sebenarnya bicara juga tentang ‘habitat’ yang mendukung berkembangnya industri dalam hal ini. Maka segera nampak bahwa soal industrialisasi ini tidak hanya sekedar ‘investasi’ saja. Tetapi ada juga soal ‘kehormatan’, ‘nalar-rasio’, dan elan vital yang ikut mengembangkan ‘habitat’ tersebut. Kita beberapa kali melihat bagaimana pejabat publik di Jepang sono mundur karena ‘masalah sepele’. Sepele, ècèk-ècèk? Jelas tidak, karena itu adalah masalah kehormatan (di ranah publik)! Ada yang lebih penting dibanding skill atau ketrampilan, atau kalau kembali kita memakai contoh di Jepang, ada soal Japanese ethos, misalnya. Ini kita bicara juga soal ‘sayap-sayap’ di kanan-kiri kereta. Ada yang mengatakan bahwa salah satu mengapa China mampu berkembang seperti sekarang ini karena dalam ranah negara mereka mampu mengembangkan apa yang disebut sebagai entrepreneurial bureaucracy. Menurut Ciputra, entrepreneur adalah soal ‘mengubah sampah menjadi emas’. Dalam arti vulgarnya, ada cerita dari teman karena hobi fotografi sampailah ia di daerah suburban di China sana pada penghujung abad 20 lalu., ketika masih banyak yang buang air besar bahkan kadang di sembarang tempat. Selain terus berupaya menyediakan toilet, pemerintah daerah terus menerus tanpa henti mengumpulkan hasil-keluaran-outcome buang air besar itu, dan kemudian diubah menjadi ‘emas’ dalam bentuk biogas dan pupuk. Hal ‘kecil’ yang bisa menggambarkan bagaimana entrepreneurial bureaucracy di sana memang sudah berkembang sejak lama.

Kata industri adalah serapan bahasa asing yang maknanya terkait dengan ‘ketekunan, semangat, aktivitas.[1] Mangunwijaya dalam Kini Kita Semua Perantau (1989) menuliskan: “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan.” Apalagi dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede) dimana komunitas Asia sebagian besar masuk di dalamnya, faktor ‘struktural’ ini akan mempunyai daya ungkit besar dalam menentukan sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa. Rusak-rusakan dalam tata kelola-pengendalian kekuasaan akan berpengaruh besar dalam menentukan sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa.

Tetapi Marx telah menunjukkan bagaimana pengaruh besar dari, katakanlah si-kuda hitam terutama terkait hasrat akan uang, kekayaan. Termasuk juga bagaimana tata kelola-pengendalian kekuasaan menampakkan diri. Bagi kaum neolib, yang ideal tali kekang yang dipegang oleh sais sebaiknya tipis-tipis saja yang tertambat pada si-kuda hitam. Atau bahkan jika mungkin: tidak ada tali kekang lagi. Tidak hanya itu, di beberapa komunitas si-kuda putih -dalam imajinasi Platon ia menunjuk pada kelas serdadu, atau yang pegang senjata, yang sebenarnya lebih mudah untuk mendengar sais ternyata malah bersekutu dengan si-kuda hitam. Ketularan menjadi semakin tuli. Akhirnya sais yang lekat dengan nalar-rasio itupun bisa-bisa jatuh pada ‘kejahatan logika’ karena ia telah mengabdi pada hasrat (si-kuda hitam) yang sudah tak terkendali semau-maunya dan bahkan telah berubah menjadi ‘kejahatan-hasrat’. Sayap-sayap yang semestinya membantu mendorong kereta ke atas menjadi patah berantakan. Hal semacam ‘japanese ethos’ itupun tidak tumbuh-tumbuh lagi sebagai sayap. Keranjingan akan kebohongan itu ternyata telah menjadi kepakan kupu-kupu dalam hikayat butterfly effect. Menciptakan badai di kemudian hari dan merusak segala aspek hidup bersama. Ternyata sudah tidak lucu lagi. *** (23-05-2025)

[1] https://www.etymonline.com/word/industry

1677. Dialektika Tuan Budak

23-05-2025

Bagaimana jika panas dinginnya isu ijazah palsu hari-hari ini salah satu ujungnya adalah hikayat ‘dialektika tuan-budak’? Yang dulunya merasa menjadi tuan karena di sana-sini menebar jabatan dan uang, tiba-tiba saja arah angin berhembus berlawanan dan kemudian menempatkan dirinya sebagai budak? Budak dari si-tuan baru yang mengamankan dan memegang kartunya? Dulu menjadi tuan dari banyak budak si-tersandera kasus, bagaimana jika sekarang ada mega-sandera-kasus melilit dirinya? Jika itu terjadi, republik akan semakin kurus kering saja. Lung-lit,[*] cuk … Mau?! *** (23-05-2025)

[*] (Tinggal) balung dan kulit, tulang dan kulit

1678. Cornelius Castoriadis, Pemikirannya dan Kita

24-05-2025

The directors’ dan ‘the executans’ adalah istilah yang dikemukakan oleh Cornelius Castoriadis menunjuk pada yang mengelola dan menjalankan birokrasi -‘the directors’, dan yang menerima perintah dan menjalankannnya -‘the executans’. Birokratisasi adalah salah satu titik tolak pemikiran Castoriadis dengan melihat fakta bahwa setelah revolusi Bolshevik dan USSR berhasil ditegakkan, justru soviet sebagai kelompok-kelompok kelas pekerja yang berhasil mereka kelola sendiri menjadi tersingkir dan dalam posisi yang tidak berdaya. Ironisnya, ini semua terjadi atas nama kelas pekerja! Di negara-negara Barat, menurut Castoriadis, dominasi elit ’demokrat’ yang mengklaim dirinya sebagai wakil rakyat pada saat yang sama juga memperlakukan kontrol terhadap kelas pekerja melalui birokrasi yang dikelolanya. Terhadap gejala dan fakta birokratisasi yang melemahkan kapasitas atau kemampuan mengelola diri sendiri ini, Castoriadis tetap optimis bahwa ini bukannya tidak dapat diatasi.[1]

Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan sosok Cornelius Castoriadis. Setelah pengantar singkat ini akan disampaikan riwayat dan pemikiran-pemikiran Castoriadis dan kemudian ditutup dengan kesimpulan serta menguak sedikit kemungkinan relevansi pemikiran Castoriadis dengan situasi kongkret yang dihadapai masyarakat Indonesia saat ini maupun masa datang.

Riwayat Singkat dan Pemikiran Castoriadis

Cornelius Castoriadis (1922-1997) lahir di Konstantinopel Yunani dan adalah juga seorang aktifis politik dan teoritisi revolusioner. Pada tahun 1945 ia menetap di Paris dan bersama Claude Lefort (dan teman-teman lainnya) membuat jurnal Socialisme ou Barbarie (1944-1965) sambil bekerja sebagai ekonom profesional di OECD (Organization for Economic Coorporation and Development) yang pensiun darinya pada tahun 1970.

Untuk menghindari ancaman deportasi dari Perancis, Castoriadis menulis tentang politik dengan nama samaran seperti Paul Cardan, Pierre Chaulien, sampai ia menerima kewarganegaraan Perancisnya pada akhir tahun 1960-an. Banyak ide-idenya saat itu yang ikut menjadi inspirasi bagi gerakan Mei 1968 di Perancis. Pada tahun 1974, Castoriadis menjadi praktisi psikoanalisis.

Karya terpentingnya, ”The Imaginary Institution of Society” dipublikasikan di Perancis pada tahun 1975. Castoriadis meninggal pada usia 75 tahun karena komplikasi setelah operasi jantung.

Di jantung pemikiran Castoriadis terdapat pertanyaan: apa yang membuat orang-orang tetap hidup bersama dalam masyarakat? Apa yang membuat masyarakat itu berubah dan apa yang membuatnya menjadi baru? Terhadap permasalahan krusial ini Castoriadis dengan tegas mengatakan bahwa manusia hanya bisa eksis dalam masyarakat dan melalui masyarakat.[2]

Institusi dalam pemikiran Castoriadis adalah dalam makna yang luas seperti bahasa, alat-alat, ketrampilan, norma-norma, nilai-nilai dan lain-lain. Dan institusi-institusi ini, baik mengandung ancaman sangsi atau tidak, ia akan menentukan cara dari bertindak dan berpikir, terutama dalam cara berpikir.[3] Pabrik, modal, pekerja adalah institui-institusi, pertanyaannya adalah, apa yang mengikat mereka bersama? Yang yang menjadi asal-muasal dari kebersamaannya itu? Menurut Castoriadis, kita tidak bisa dengan jelas menjawab pertanyaan ini, tetapi masalah ini bisa didekati dengan melihat realisasi dari kebersamaan itu sendiri yang dilihat sebagai keluaran atau hasil dari jalinan makna internal yang padu, atau signifikan, meliputi semua kehidupan dalam masyarakat dan mengarahkannya. Inilah yang disebut oleh Castoriadis sebagai ’the social imaginary signification’. ’The social imaginary signification’ ini mewujud dalam dan ‘meniupkan kehidupan’ ke dalam institusi-institusi tertentu. Contohnya adalah, tidak seorangpun dapat melihat sebuah bangsa di bawah mikroskop; bangsa eksis hanya sebagai sebuah signifikasi imajiner yang mengikatnya bersama, katakanlah semua orang Perancis adalah yang berpikir: kita adalah bangsa Perancis. Hal yang sama jika kita bicara mengenai Negara, partai, komoditas, tabu-tabu, keutamaan, dosa dan lain-lain, yang mereka itu juga adalah ’the social imaginary signification’. Termasuk juga di sini misalnya, laki-laki, perempuan, anak-anak, adalah institusi sosial.[4]

Disebut “imajiner” karena mereka bukanlah sesuatu yang rasional atau dapat dikonstruksikan secara logis. Imajiner karena mereka bukanlah sesuatu yang nyata atau dapat diturunkan dari benda-benda. Juga karena mereka merupakan keluaran dari apa yang semua kita lihat sebagai yang harus dilakukan dengan kreasi: yaitu dengan imajinasi. Di sini bukan sebagai imajinasi individual tetapi imajinasi sosial.[5] Tetapi lebih dari itu, menurut Castoriadis, sejarah manusia adalah sejarah dari imajinasi manusia dan kerja-kerjanya. Imajinasi di sini dalam pengertian radikal yang segera nampak ketika manusia berkelompok: maka kemudian itu merupakan imajinasi institusi sosial yang menciptakan institusi secara umum (bentuk dari institusi) dan dengan mempertimbangkan institusi-institusi khusus dari masyarakat.[6]

Pertanyaan berikutnya adalah, apa yang membuat masyarakat berkembang? Menurut Castoriadis ada dua dimensi yang tak terpisahkan dalam berkembangnya masyarakat, pertama yang disebut Castoriadis sebagai ‘the ensemblist-identitary dimension’ dan yang kedua ‘the specifically imaginary dimension’. Dalam ‘the ensemblist-identitary dimension’ institusi-institusi dari masyarakat beroperasi (dalam bertindak dan berpikir) pada sebuah skema yang sama seperti dalam teori logika-matematik. Skema seperti elemen-elemen, kelas-kelas, properti-properti, dan relasi-relasi, yang posisi-posisinya jelas perbedaannya dan definisinya. Skema operasional fundamental di sini adalah determinasi: eksistensi dalam hal ini, adalah determinasi; untuk sesuatu eksis, ia harus didefinisikan dengan jelas atau terdeterminasi.[7]

Dalam ‘the specifically imaginary dimension’ eksistensi adalah signifikan (signification), dapat terlihat tetapi tidak secara penuh terdeterminasi. Signifikan tidak jelas bedanya dan tidak dengan baik didefinisikan. Mereka berhubungan satu dengan yang lain melalui sebuah tipe relasi yang disebut referral (Perancis: renvoi). Signifikan ‘pendeta’ menunjuk pada signifikan ‘agama’ yang menunjukkan pada saya ke ‘Tuhan’, dan dalam kasus ini adalah pada dunia seperti yang saya ciptakan. Mereka tidak dapat direkonstruksi melalui jalan logis, dan inilah juga mengapa sebuah organisasi sosial atau suatu tata sosial tidak dapat direduksi menjadi masalah matematika, fisika maupun biologi. Yang penting di sini adalah, domain sosial-historis menciptakan sebuat tipe dari tatanan masyarakat yang orisinal.[8]

Castoriadis memberikan contoh bagaimana analisasi dua dimensi dalam masyarakat dapat dilakukan, misalnya bahasa. Dalam bahasa, ‘the ensemblist-identitary dimension’ berkorespondensi dengan yang disebut Castoriadis sebagai ‘code’. Sedangkan ‘the specifically imaginary dimension’ mewujudkan dirinya melalui yang disebut: ‘tongue’ (langue). Kalimat seperti “Berikan aku palu” atau “Dalam setiap segitiga, jumlah sudut-sudutnya adalah 180 derajat” adalah milik ‘code’, sedangkan kalimat seperti “Dalam kegelapan yang Absolut, semua sapi hitam” adalah milik ‘tongue’. Perbedaan antara ‘code’ dan ‘tongue’, atau secara umum antara ‘the ensemblist-identitary dimension’ dan ‘the specifically imaginary dimension (the strictly / properly imaginary dimension)’ bukanlah merupakan perbedaan substansi, tetapi adalah pada penggunaan dan operasinya. Dua dimensi tersebut ada di setiap bahasa dan di setiap kehidupan masyarakat.[9]

Pembedaan antara ‘the ensemblist-identitary dimension’ dan ‘the specifically imaginary dimension (the strictly / properly imaginary dimension) oleh Castoriadis didasarkan adanya fakta bahwa tidak ada masyarakat tanpa aritmatika (ini akan menunjuk pada ‘the ensemblist-identitary dimension’) dan tidak ada masyarakat tanpa kehadiran mitos (menunjuk pada ‘the specifically imaginary dimension’).[10]

Di atas disebutkan bahwa yang penting adalah, domain sosial-historis menciptakan sebuat tipe dari tatanan masyarakat yang orisinal. Atau tegasnya apa yang dimaksud oleh Castoriadis: kita adalah pengarang-pengarang dari tindakan-tindakan kita sendiri.[11] Tetapi meskipun begitu, Castoriadis sadar bahwa ini akan dihadapkan pada masalah orisinalitas dari ’tindakan’ itu sendiri.

Jika kita adalah pengarang dari tindakan-tindakan kita sendiri maka, menurut Castoriadis, otonomi menjadi penting. Otonomi, yaitu memberikan kepada seseorang hukum-hukumnya sendiri, secara tidak langsung memerlukan hadirnya daya ciptanya sendiri (self-creation), dan ini tentunya kemudian menempatkan problematika yang terkait dengan daya cipta itu sendiri yang mana bagi Castoriadis itu adalah lebih daripada masalah elemen-elemen yang ada sebelumnya. Ini adalah menyangkut hal baru secara radikal, mengandung sebuah diskontinyuitas yang tidak bisa diprediksi, dan sumber dari segala ciptaan adalah imajinasi, yang pada seorang individu adalah imajinasi radikal (radical imagination) sedangkan dalam masyarakat adalah ‘the instituting social imaginary’ seperti sudah disebut di atas. Bagi Castoriadis, imajinasi dan ciptaan selalu berkaitan erat. Setiap orang menciptakan dunianya sendiri dan masing-masing mempunyai kekuatan imajinasi sendiri.[12] Otonomi: kita membuat hukum-hukum, dan kita tahu itu, dan karena itu kita bertanggung jawab atas hukum-hukum kita dan selalu menanyakan pada diri kita setiap saat, “Mengapa harus hukum ini dan mengapa tidak yang lainnya?”.[13]

Jika setiap orang menciptakan dunianya sendiri dan masing-masing mempunyai kekuatan imajinasi sendiri, apakah itu kemudian berarti masyarakat adalah merupakan produk dari individu-individu? Castoriadis menolak pendapat ini dan yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam Philosophy, Politics, Autonomy – Essays in Political Philosophy (1991), seperti dikutip oleh Ilana Mountian[14], Castoriadis mengatakan bahwa, ‘Masyarakat adalah hasil kerja dari the instituting imaginary. Individu-individu merupakan produk dari institusi masyarakat, pada saat yang sama mereka mempengaruhi dan memperbaharui masyarakat. Dua hubungan mutualis yang tidak dapat direduksi ini adalah the instituting imaginary radikal – di satu sisi merupakan ranah dari ciptaan sosial-historis dan di sisi lain adalah hidup psikis yang unik.’

Dari sini kelihatan jelas bahwa Castoriadis menolak pendekatan deterministik yang telah gagal menjelaskan mengapa orang-orang bertindak dalam jalan mereka sendiri. Marxism dalam pandangan Castoriadis telah gagal menjelaskan secara mendasar analisis mengenai tindakan sosial, motivasi dan hasrat. Penjelasan ini menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan, mengapa dan bagaimana rakyat memutuskan untuk melawan dominasi. Apa yang ada di belakang tuntutan untuk sebuah perubahan yang radikal? Bagaimana pada sebuah masyarakat yang nampak seperti terintegrasi dalam realitas sosial dapat dengan tiba-tiba dan secara spontan berbalik dan melaksanakan revolusi? Pertanyaan-pertanyaan ini oleh Castoriadis didekati dengan prinsip, seperti telah disebut di atas, kita adalah pengarang dari tidakan-tindakan kita sendiri.[15]

Ketidak-sadaran (unconscious), seperti yang dikembangkan dalam psikoanalisa, menjadi faktor penjelas yang penting terkait dengan asal-usul dari tindakan yang kita karang sendiri itu. Problematik bagaimana menghubungkan ketidak-sadaran dengan politik emansipasi mendapat perhatian lebih dalam pemikran Castoriadis. Perhatian lebih pada ketidak-sadaran dalam pemikiran Castoriadis ini banyak dipengaruhi oleh psikoanalisanya Jacques Lacan.

Ketidak-sadaran adalah merupakan sumber dari realitas, tetapi menurut Castoriadis, sumber yang tidak dapat diketahui karakternya, dengan kata lain tidak dapat dideterminasi. Apa yang ingin dihindari Castoriadis adalah memandang ketidak-sadaran dalam pengertian sebagai ruang statis atau tempat dimana ciptaan simbolik diletakkan. Ketidaksadaran tidak dapat dianggap sebagai dalam istilah-istilah yang sifatnya reduktif. Menurut Castoriadis, ketidak-sadaran lebih baik dikarakteristikkan sebagai sesuatu yang cair, bergerak dan tidak bisa diprediksi – tetapi tetap masih kreatif. Istilah untuk ketidak-sadaran yang dikarakteristikkan seperti ini yang diajukan oleh Castoriadis adalah: ‘magma’.[16]Magma’ inilah faktor penjelas terkait dengan asal-usul dari tindakan yang kita karang sendiri itu sekaligus juga menjelaskan darimana makna atau realitas itu datang.

Magma’, seperti dijelaskan oleh Castoriadis, adalah seperti inti atau pusat bumi yang ada di bawah permukaan yang tampak dan dapat kita ketahui, maka ‘magma’ adalah seperti pusat bumi, sesuatu yang tidak diketahui dan tidak dapat diketahui secara detail, yang kita tahu adalah ia ada di sana. ‘Magma’ merupakan hal yang misterius, ruang kreatif yang meskipun begitu ‘produktif’, dalam hal ini ‘memproduksi’ makna.[17] Sulit untuk memberikan dengan jelas definisi formal dari ‘magma’ ini. Dengan tetap sadar bahwa ini masih belum memuaskan, Castoriadis menjelaskan bahwa magma adalah dari yang mana orang dapat menyarikan (atau dalam mana seseorang dapat membangun) dalam jumlah yang tak terbatas dari organisasi-organisasi kelompok tetapi tidak akan pernah dapat menyusun kembali (secara ideal) oleh (terbatas atau tak terbatas) komposisi kelompok dari organisasi-organisasi itu.[18]

Demokrasi merupakan salah satu perhatian utama Castoriadis. Membicarakan demokrasi adalah membicarakan politik. Bagi Castoriadis, sekarang, politik , politics (la politique)- tidak ada di manapun. Politik yang benar adalah merupakan hasil dari sebuah ciptaan (creation) social-historis yang tipis dan mudah retak. Apa yang sebenarnya perlu ada dalam setiap masyarakat adalah ranah yang politik dalam pengertian umum dan netral. Yang politik, the political (le politique) adalah yang eksplisit atau implicit, kadang-kadang merupakan dimensi yang hampir-hampir tidak tergenggam dalam hubungannya dengan kekuasaan, yang disebut sebagai instansi yang terlembaga yang mampu menangani perintah yang berhubungan dengan sangsi dan yang mesti selalu, dan bersifat eksplisit, termasuk paling tidak deangan apa yang kita sebut kekuasaan yudisial dan kekuasaan pemerintah. Di sana dapat, dan kita berharap akan ada lagi masyarakat tanpa Negara, yang dimaksudkan: tanpa suatu organisasi yang hirarkis dengan apparatus birokrasi terpisah dari masyarakat dan mendominasi masyarakat. Menurut Castoriadis, negara adalah ciptaan historis yang dapat mati. Sebuah masyarakat tanpa yang seperti negara adalah mungkin dan dapat dibayangkan. Tetapi masyarakat tanpa institusi-institusi yang eksplisit dari kekuasaan adalah sebuah absurditas.[19]

Institusi dapat eksis hanya jika mampu menjaga dan memelihara dirinya, hanya jika cukup mampu untuk bertahan. Institusi menjaga dirinya juga berarti masalah kekuasaan, dan adanya kekuasaan ini pertama-tama adalah sebagai yang radikal, selalu implisit, ‘infrapower’. Bagi Castoriadis, orang lahir di Perancis bukanlah kemauan atau keputusan orang itu, tetapi di mana ia lahir akan menentukan eksistensinya, bahasa aslinya, agamanya, dan seterusnya. Dunia tempat kita dilahirkan bagi Castoriadis tidak dimaknai sebagai hanya sebuah dunia, tetapi sebagai dunia sosial-historis.[20] Maka sejak lahir manusia terkait dengan ranah sosial-historis dan dia selalu ‘terpapar’ dengan ‘infrapower’ yang implisit ini.[21]

Disamping kekuasaan infra yang implisit ini, selalu ada kekuasaan yang eksplisit, semacam institusi dengan rancangan khusus dengan fungsi yang terbatas.dan mempunyai legitimasi untuk memberikan sangsi dalam pelaksanaannya terhadap apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh, mengeksekusi keputusan-keputusan, menyelenggarakan pengadilan, dan memerintah. “Yang politis’ atau the political mungkin dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang terkait atau concerns dengan kekuasaan eksplisit ini. Ini termasuk dengan cara untuk mengakses kekuasaan eksplisit itu, cara yang tepat dalam mengelolanya, dan lain-lain.[22]

Menurut Castoriadis, tujuan dari politik adalah bukan kebahagiaan, happiness, tetapi kebebasan, freedom. Kebebasan yang efektif aktual disebut oleh Castoriadis sebagai otonomi (autonomy). Otonomi kolektif yang mana hanya dapat dicapai melalui self-institution yang eksplisit dan pemerintahan-sendiri, adalah tidak bisa dipikirkan tanpa kebebasan yang efektif-aktual dari individu-individunya. Sebaliknya juga benar, yaitu otonomi individu adalah tidak bisa dipikirkan dan tidak mungkin tanpa adanya kolektifitas yang otonom. Pertanyaannya adalah, apa prasyarat otonomi individual? Menurut Castoriadis, pertama-tama adalah seseorang harus mempunyai kemungkinan yang efektif-aktual untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum dari institusi. Alasan Castoriadis adalah, saya akan tetap bebas di bawah hukum hanya jika saya dapat mengatakan bahwa hukum ini milik saya.[23]

Politik praktis di Athena era Yunani kuno menarik perhatian Castoriadis, terutama dalam pembedaan aktifitas manusia ke tiga ranah, yaitu oikos, agora dan ekklēsia, atau ranah privat (private sphere), ranah privat/publik, dan ranah publik (public sphere). Ekklēsia atau ranah publik menurut Castoriadis, adalah yang ia sebut sebagai kekuasaan eksplisit (explicit power).[24]

Oikos –rumah tangga, ranah privat- adalah domain dimana, baik secara formal dan prinsipiil, kekuasaan politik tidak dapat dan tidak harus intervensi. Tetapi meskipun begitu ini tidak boleh menjadi absolut. Ada hukum yang melarang kekerasan dalam keluarga. Agora –tempat pasar dan tempat bertemunya masyarakat- adalah domain dimana individu-individu datang bersama secara bebas, berdiskusi tentang berbagai masalah secara bebas, melakukan kontrak satu sama lain, menjual dan membeli. Di sini juga kekuasaan politik tidak dapat dan tidak harus intervensi. Sama halnya dengan oikos, agora pun juga tidak boleh menjadi absolut. Contoh misalnya dengan adanya hukum yang melarang untuk mempekerjakan anak-anak. Ekklēsia adalah tempat dari kekuasaan yang politik. Kekuasaan yang politik ini termasuk juga kekuasaan-kekuasaan dan kekuasaan-kekuasaan ini harus baik terpisah maupun berhubungan. Ketika aktifitas dari kekuasaan-kekuasaan yang berlainan berjalan konkret, seseorang dapat secara jelas melihat bahwa tidak ada domain sebuah keputusan dapat diterima dan dipakai tanpa adanya pertimbangan dari hal yang substantif sifatnya. Contoh dalam aplikasinya misalnya, ketika seorang hakim menjatuhkan putusan maka ia akan terlibat dalam sebuah interpretasi terhadap hukum dan pada level terdalamnya adalah merupakan pertanyaan tentang persamaan (equity).[25] Demikian juga dengan yang terlibat dalam legislatif maupun pemerintahan, interpretasi harus sampai pada pertanyaan yang paling dalam.

Castoriadis membedakan demokrasi menjadi demokrasi sebagai rejim dan demokrasi sebagai prosedur. Demokrasi sebagai rejim adalah yang akan selalu mencoba untuk mencapai, sejauh bisa dan mungkin, baik otonomi individual maupun kolektif serta kepentingan umum seperti yang dipahami oleh kolektifitas atau orang banyak dalam setiap masalah-masalah tertentu. Dan seperti disebut di atas mengenai kekuasaan politik, demokrasi sebagai rejim adalah juga tidak dapat dipisahkan dari konsep substantif. Bagi Castoriadis, demokrasi adalah lebih dari sekedar masalah prosedural.

Kesimpulan dan Relevansi

Dari pemikiran-pemikiran Castoriadis yang sudah dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa Castoriadis menolak pendekatan deterministik Marxism ortodoks yang mengatakan bahwa suprastruktur seperti ideologi, imajinasi, negara dan lain-lain ditentukan secara deterministik oleh basis, yaitu relasi produksi ekonomi. Bagi Castoriadis pendekatan yang deterministik ini menghilangkan peran penting manusia dan masyarakat sebagai yang mempunyai otonomi.

Yang politik (the political) bagi Castoriadis adalah apa yang disebutnya sebagai kekuasaan eksplisit, dan tempatnya itu adalah di ranah publik (ekklēsia, public sphare). Demokrasi yang tidak bisa lepas dari masalah politik harus dipahami demokrasi sebagai rejim yang selalu akan berusaha mewujudkan baik otonomi individu maupun otonomi kolektif.

Meski Castoriadis menaruh perhatian pada apa yang terjadi di polis jaman Yunani kuno, tetapi bukan pada model demokrasi dan politiknya yang ingin ditekankan, seperti yang ditulis oleh David Ames Curtis dalam Pengantar di bukunya Castoriadis, Philosophy, Politics, Autonomy (1989), Castoriadis ingin menggaris bawahi tentang proses yang terus terjadi dalam pelembagaan aktifitas tersebut selama hampir empat abad lamanya. Maka dapat dimengerti upaya politik yang diupayakan oleh Castoriadis kemudian diberi nama sebagai ’proyek otonomi’

Kemudian, apa relevansi pemikiran Castoriadis bagi kita yang hidup di Indonesia sekarang ini?

Yang nampak jelas adalah bagaimana elit politik yang dipilih melalui pemilihan umum itu kemudian justru membuat rakyat semakin terpinggirkan. Demokrasi yang berkembang dan kemudian dipahami sebagai hal prosedural justru membuat frustasi sosial meningkat tatkala apa yang disebut sebagai kepentingan orang banyak seperti dipahami kebanyakan masyarakat tidak pernah didengarkan. Contoh yang sangat nyata dalam hal ini adalah rencana pembangunan gedung baru DPR RI.

Meski kemampuan imajinasi ini melekat pada diri manusia, tetapi adalah penting untuk sejak usia dini, terutama sampai selesai pendidikan dasar (sampai lulus SMP) kemampuan ini didorong untuk semakin berkembang. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana imajinasi-imajinasi yang berkembang ini dapat di-dialogkan. Tidak hanya anak-anak kita berlatih mengungkap apa yang menjadi imajinasinya dia, tetapi teman-temannya juga berlatih menerima dan mengapresiasi imajinasi orang lain. *** (2011 )

[1] Tormey, Simon, Townshend, Jules, Key Thinkers from Critical Theory to Post-Marxism, SAGE Publications, 2006, hlm. 16

[2] Castoriadis, Cornelius, A Society Adrift, Fordham University Press, New York, 2010, hlm. 45

[3] Ibid, hlm. 46

[4] Ibid, hlm. 47

[5] Ibid, hlm. 48

[6] Castoriadis, Cornelius, Figures of the Thinkable, hlm. 123

[7] Castoriadis, Cornelius, A Society Adrift, Fordham University Press, New York, 2010, hlm. 52

[8] Ibid

[9] Castoriadis, Cornelius, World in Fragments: Writing on Politics, Society, Psychoanalisis, and the Imagination, Stanford University Press, 1977 , hlm. 12

[10] Ibid, hlm. 11

[11] Tormey, Simon, Townshend, Jules, Key Thinkers from Critical Theory to Post-Marxism, SAGE Publications, 2006, hlm. 22

[12] Radical Philosophy, Cornelius Castoriadis, 1922-1997, July/August 1998 – http://www.radicalphilosophy.com/default.asp?channel_id-2191&editorial_id=10264 (diunduh 8 Januari 2011)

[13] Castoriadis, Cornelius, World in Fragments: Writing on Politics, Society, Psychoanalisis, and the Imagination, Stanford University Press, 1977, hlm. 18

[14] Mountian, Ilana, Some Questions Around Social Imaginary and Discourse Analysis for Critical Research, Annual Review of Critical Psychology, 7, pp. 205-222 (http:/www.discourseunit.com.arcp/7.htm) - diunduh 9 Januari 2011

[15] Tormey, Simon, Townshend, Jules, Key Thinkers from Critical Theory to Post-Marxism, SAGE Publications, 2006, hlm. 22

[16] Ibid, hlm. 24

[17] Ibid

[18] Castoriadis, Cornelius, The Imaginary Institution of Society, Polity Press, 1997, 343

[19] Castoriadis, Cornelius, Democracy as Procedure and Democracy as Regime, dalam Castoriadis, The Rising Tide of Ignificancy, http://www.costins.org/x/castoriadisrising_tide.pdf.>, diunduh 7 Januari 2011, hlm. 330

[20] Ibid, hlm. 332

[21] Ibid. hlm. 333

[22] Ibid, hlm. 334

[23] Ibid, hlm. 337

[24] Ibid, hlm. 340

[25] Ibid, hlm. 341

1679. Krisis Politik Republik

25-05-2025

Pada tahun 1917, Woodrow Wilson presiden AS membentuk Komite Creel dengan tujuan mencari dukungan rakyat Amerika saat itu terkait keterlibatan AS dalam Perang Dunia I di Eropa sono. Dalam banyak halnya peristiwa tersebut adalah bentuk ‘propaganda modern’, dan terus berkembang. Dan bisa dikatakan semakin mendasarkan diri pada bermacam sain. Salah satu yang nampak klaim saintifik ini adalah pada bermacam survei, misalnya.

Kebohongan selalu saja akan menjadi bagian dari propaganda, dalam rentang jumlah-keseringannya, dalam rentang ‘kehitamannya’ - ‘keputihannya’ karena ada yang namanya ‘kebohongan putih’ juga. Maka ketika politik tidak lepas dari propaganda, kebohongan sebagai kemungkinan akan terus membayang lekat. Politik tidak akan pernah steril dari kebohongan. Tetapi bagaimana ketika politik terhayati sebagai semata propaganda? Propaganda yang dalam pernak-perniknya telah mengajukan klaim bahwa ia didasarkan pada sains? Dan tiba-tiba saja realitas politik itu adalah propaganda? Propaganda yang jika memakai istilah Lakoff bisa dibayangkan juga sebagai deep frame? Sedang agitasi atau bermacam pernak-pernik ‘kecil-kecil’ sebagai surface frame? Menurut Lakoff deep frame adalah tempat ‘digantungkannya’ surface frame.

Menurut Fenomenologi, kesadaran itu akan selalu ‘sadar akan sesuatu’. Ada keterarahan di situ, intensionalitas. Obyek yang ‘memicu’ keterarahan kesadaran kita pada dasarnya tidak pernah memberikan dirinya secara lengkap. Sebuah kubus tidak pernah memberikan dirinya komplet sebagai kubus, bisa saja ia nampak sebagai jajaran genjang misalnya. Tetapi karena endapan ingatan akan kubus, bisa-bisa yang nampak sebagai jajaran genjang itu akan segera saja kita antisipasi sebagai kubus. Benarkah itu kubus? Bisa ya bisa tidak. Kita bisa melihat bagian depan rumah papan, dan kita antisipasi sebagai rumah karena memang namapak ada pintu, jendela, dan terasnya. Tetapi ketika kita mendekat, ternyata itu properti dari sebuah produksi film, hanya bagian depannya saja yang ada. Ternyata ‘antisipasi’-nya salah. Maka dalam hal ini intersubyektifitas akan memegang peranan penting, selain cek ricek lagi ke ‘benda’nya itu sendiri, misal kita mendekat atau keliling untuk melihat dari berbagai sudut.

Hal yang bisa kita pelajari di atas adalah ternyata intensionalitas yang lekat dengan kesadaran itu memang terbatas. Ada batas, obyek tidak pernah memberikan dirinya secara lengkap. Selain batas, maka ada juga ‘keunikan’ sendiri-sendiri yang dibawa ‘subyek’. Dalam Strategi Kebudayaan, Van Peursen mencontohkan bagaimana gunung yang sama-sama memberikan dirinya akan dilukis secara berbeda dari yang ‘endapan ingatannya’ terbangun dalam tahap mitis, ontologis, dan fungsionil. ‘Antisipasinya’ menjadi berbeda-beda. Propaganda pada dasarnya ingin membangun ‘endapan ingatan’ yang sama sesuai dengan yang diinginkan, sehingga ketika menghadapi gunung misalnya, yang dilukis akan sama. Atau ketika pemilihan umum mendekat sebagai ‘surface frame’ ia akan mendapat tempat ‘gantungannya’ pada hasil propaganda itu. Atau ketika ‘agitasi’ datang, tiba-tiba semua menjadi masuk akal.

Buku The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (1939) karya Husserl kira-kira tidak jauh dari gambaran di atas. Krisis sains modern itu karena sains yang sebenarnya dikembangkan dengan metode ketat itu telah mendaku sebagai yang obyektif. Yang sebenarnya ‘partikular’ kemudian mengklaim sebagai yang ‘universal’. Padahal ‘manusia biasa-kebanyakan’ itupun telah menemukan ‘obyektifitas’ sendiri melalui jalan di atas. Pengalaman-pengalaman keseharian telah mendahului segala metode yang mungkin saja akan dipakainya nantinya, atau tidak. Obyektifitas bisa saja dibangun melalui glenak-glenik intersubyektifitas. Maka tidak mengherankan jika di tahun-tahun 1970-an Noam Chomsky menegaskan bahwa ‘status quo’ akan menghadapi tantangan serius jika satu sama lain tahu apa yang menjadi sentiment masing-masing. Sik-A dan sik-B saling ‘memberikan dirinya’ (yang tak pernah lengkap pula). Status quo yang bisa juga karena ada klaim di belakangnya sebagai yang saintifik. Hal yang tidak jauh berbeda juga ketika kita bicara soal (de)industrialisasi, yang terhayati sebagai pendukung obyektif satu-satunya adalah investasi yang bisa dihitung-hitung, yang bisa segera di-kuantifikasi.[1] Atau bagaimana dengan Koperasi DMP yang akan diresmikan 12 Juli itu? Narasinya seakan lebih dipenuhi dengan angka-angka, dari yang 400 T dalam dua tahun akan menjadi 2000 T, masing-masing dari 80.000 koperasi itu akan ada gelontoran dana 5 Milyar, dan untuk sementara 3 Milyar dulu, itu berarti akan ada gelontoran dana tahap pertama sebasar 240 T. Nanti juga pengurus koperasi akan dapat gaji per bulan sebesar 8 juta. Seakan-akan hal obyektif itu bisa diangkakan melalui ilmu akuntansi, misalnya. Dan kotbahpun dikumandangkan tentang akan berhasilnya koperasi itu.

The Crisis of European Sciences ditulis Husserl di tengah-tengah ingatan kuat akan Perang Dunia I, dan semakin memanasnya kemungkinan pecahnya Perang Dunia II. Tujuan tulisan ini adalah mengingatkan ketika kebohongan sebagai bagian dari propaganda itu telah menggelinding dengan tidak tahu batas lagi, krisislah yang akan dihadapi republik. Ketika politik kemudian dikooptasi oleh sains propaganda termasuk kebohongan di dalamnya, dan kemudian mengajukan klaim bahwa karena itu semua, politik ya gitu itu. Ketika jarak antara klaim tersebut semakin jauh dan dalam terhadap realitas yang dihayati khalayak kebanyakan, apalagi hari-hari ini kemungkinan untuk melakukan intersubyektifitas semakin luas, maka ‘perang’ sebagai kemungkinanpun akan semakin mendekat. ‘Yang pegang senjata’ itu bisa-bisa akan mendeklarasikan ‘perang’ melawan khalayak kebanyakan yang membelikan mereka senjata melalui pajak-pajak yang dibayarkan. Maka sekali lagi, segala kebohongan itu sudah tidak lucu lagi. Sama sekali tidak lucu. *** (25-05-2025)

[1] https://pergerakankebangsaan.org/tulsn-121, No. 1676