1640. Teledor Soal 'Eksternalitas'? (2)
13-04-2025
Lima-puluh tahun lalu Peter L. Berger menerbitkan Pyramid of Sacrifice: Political Ethics and Social Change (1974), diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Piramida Kurban Manusia (LP3ES, 1982). Pyramid of Sacrifice terbit dalam rentang waktu Deng Xiaoping mulai menapak jalan ke puncak kekuasaan. Deng Xiaoping tidak hanya ikut berjuang berdampingan dengan Ketua Mao, tetapi juga menjadi saksi hidup ‘sisi gelap’ Revolusi Kebudayaan, bahkan ia disingkirkan karena tidak sejalan dengan ide Revolusi Kebudayaan. Maka tidak mengherankan dengan beragamnya perjalanan hidup, ia membawa China membuka diri dengan prinsip seakan ‘menyeberangi sungai diatas batu-batu (licin) yang ada di dasar’. Intinya ia paham sekali yang sedang dipertaruhkan. Paham sekali ‘eksternalitas’ saat membuka diri, atau ‘efek samping membuka diri’.
Ada satu ungkapan Deng Xiaoping yang sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai: “To get rich is glorious,” tetapi dari beberapa sumber terjemahan yang benar adalah: “Let some people get rich first.” Mungkin dari sisi ‘ouput’ tidak jauh berbeda, tetapi dari sisi ‘proses’ segera akan nampak bedanya. Bagaimana jika ‘some people get rich first’ itu melalui jalan kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, perburuan rente, korupsi? Maka tak mengherankan Deng Xiaoping dan penerusnya menjadi begitu keras terhadap para koruptor. Itu seiring juga dengan bagaimana ‘dongeng-dongeng’ tentang kerja keras terus diperbanyak oleh pemerintah. Bicara tentang ‘revolusi mental’ misalnya, tetapi justru korupsi merebak dengan jumlah dan kegilaan yang tak terbayangkan seperti di republik sepuluh tahun terakhir, jelas bukan seperti itu yang dimaksud Deng Xiaoping saat itu.
Nampaknya Deng Xiaoping bukanlah termasuk kaum ‘over-deterministik’ meski ia sangat paham bagaimana kekuatan dinamika yang ada di ‘basis’. Ia berusaha keras di sepanjang hidupnya bagaimana keputusan politik itu mampu mempengaruhi ‘pembagian kekayaan’ bagi warganya. Hasilnya? Dahsyat, ia bersama penerusnya mampu mengangkat 800 juta warganya mampu keluar dari kemiskinan. Dan sampai sekarang, ketika some people get crazy-rich first-pun masih mampu ‘didisiplinkan’. Lihat bagaimana ketika Jack Ma pernah ‘menghilang’ sampai berbulan-bulan. Sedang ‘didisiplinkan’? Mungkin saja. Apa yang terjadi di China sejak Deng Xiaoping itu bisa dibayangkan sebagai Alegori Kereta-nya Platon dalam praktek. Sik-kuda hitam dimana bersemayam hasrat akan uang, kekayaan itu dilepas dari ‘kandang’ tetapi dengan tetap sik-sais mampu ‘mengendalikan’ dibantu oleh sik-kuda putih dan sayap-sayap di kanan-kiri kereta. Tidak dibiarkan -sampai sekarang, sik-kuda hitam (maupun sik-kuda putih) terus menggantikan sik-sais. *** (13-04-2025)
1641. Teledor Soal 'Eksternalitas'? (3)
14-04-2025
Keteledoran dengan tidak diperhatikannya ketika seekor kupu-kupu mengepakkan sayap, bisa-bisa pada satu saat badailah yang akan dituai meski itu terjadi di jauh sana. Paling tidak ini ada dalam cerita butterfly effect itu. Artinya, teledor yang bahkan ketika itu dianggap ‘hal kecil’ saja bisa-bisa akan mengakibatkan bermacam akibat yang tak terduga di kemudian hari. Terlalu banyak hal yang sebenarnya ‘tidak terjelaskan’ tanpa melihat atau mempertimbangkan hal-hal lain. Dalam tubuh kita terjadi ‘mekanisme umpan balik’ yang terus saja terjadi dari waktu ke waktu, misalnya. Web of life dalam praktek memang sungguh hadir dalam banyak segi kehidupan. Jika kemudian dicari apa yang menjadi ‘daya ungkit terbesar atau besar’ bagi perubahan tidak salah-salah amat, tetapi kadang sesuatu ‘hal kecil’ yang mesti diselesaikan ‘lebih dulu’ sering diabaikan karena sifat ‘banal’-nya. Akibatnya perubahan yang dibayangkanpun menjadi tertatih-tatih. Kadang-kadang perjalanan perubahan dipercepat dengan adanya ‘patahan sejarah’, tetapi siapa yang paling siap ‘mengemudikan’ akibat dari ‘patahan sejarah’ itu? Salah satu yang paling siap menyambut ‘patahan sejarah’ dalam bermacam bentuknya adalah agen-agen neolib, suka atau tidak. Tidak hanya karena mereka ‘dilatih’ untuk terampil dalam hal itu, tetapi memang kapitalisme yang dipeluk erat itu sangat lekat dengan bermacam krisis. Atau karena kapitalisme akan selalu menghadapi ‘gangguan’ sehingga ia tidak menjadi semakin brutal.
Tetapi kekuatan agen-agen neolib itu tidak hanya soal ‘membangun dongeng’ terutama saat krisis atau pasca-krisis, seperti ketika ulah Trump itu semakin menampakkan hadirnya krisis, dengan sigap mereka-mereka itu segera saja mendongeng soal ‘deregulasi’, salah satu pilar dari Konsensus Washington empat-puluh lima tahun lalu. ‘Deregulasi’ buat siapa? Tentu pertama-tama adalah untuk pendukung utamanya, modal terutama modal besar. Atau dalam kata-kata demonstran di AS hari-hari ini: “Hands off!” Tak jauh-jauh amat dari seruan saat sekitar-sekitar Revolusi Perancis: “Laissez-faire!” Yang dilawan hampir sama: konservatisme dari kaum konservatif. Atau yang paling dibenci oleh Friedrich von Hayek pasca Perang Dunia II, ‘ekonomi terpusat’. Tentu banyak nuansa yang berkembang pula.
Modal terutama modal besar sebagai pendukung utama dari kaum neolib, apapun itu memang berhasil membangun ‘kerajaannya’ tidaklah semata sebagai ‘istana pasir’ saja. Lihat bagaimana teori-teori managemen berkembang, dari saintifik manajemen, continuous improvement, zero-defect, kaizen, quality control, dan banyak lagi. Belum lagi ‘buku-buku tebal’ yang dikeluarkan dengan logika yang ketat pula. Kompetisi yang bahkan menghadirkan bayang-bayang ‘kematian’ -bangkrut, membuat bermacam inovasi dan kreatifitas dilahirkan. Itulah ‘dongeng’ yang diluncurkan oleh kaum neolib itu adalah ‘dongeng’ yang terdukung oleh kemampuan modal dalam mengorganisir diri, termasuk dalam hal ini terkait dengan merger yang dipotret dengan baik sekali oleh Joel Bakan dalam The Corporation (2003). Tidak hanya itu, John Perkins dalam Confessions of Economic Hitman (2004) bahkan menggambarkan bagaimana ekonomi negara bisa dihancurkan jika tidak membuka diri ikut mau-maunya sik-modal (besar). “Sistem pasar bebas adalah hakim bagi setiap kebijaksanaan,” demikian ditulis oleh B. Herry Priyono dalam Sesudah Modal Lolos dari Trias Economica (lihat dalam Esei-esei Bentara 2003, Penerbit Kompas, 2003, cat.: trias economica yang dimaksud: tanah, modal, dan tenaga kerja).
Dari hal-hal di atas, jika memakai pembedaan negara-pasar-masyarakat sipil, ranah negara mestinya juga selalu meningkatkan ‘kualitas diri’ sehingga tidak ketinggalan terhadap segala dinamika ‘pasar’. Demikian juga sebenarnya, masyarakat sipil. Banyak analisis yang mengkaitkan ‘runtuhnya kekaisaran’ dikaitkan dengan penurunan kualitas kepemimpinannya. Tetapi benarkah kuncinya ada dalam kepemimpinan? Karena sik-aktor atau sistem yang membusuk? Jangan-jangan ‘faktor penentunya’ adalah ‘kaum tengah’, middleman. Kualitas dari ‘kaum tengah’. Dalam pasar ritel atau pasar keuangan, ‘kaum tengah’ bisa kita bayangkan bagaimana ia ‘memainkan’ peran sentralnya. Bagaimana dengan ranah negara? Nampaknya lebih ada dalam partai politik, entah itu multi-partai, dua partai dominan, atau bahkan ‘partai tunggal’. Di ranah masyarakat sipil? Bisakah disebut peran penting dari kelompok-kelompok kesuka-relaan? Dan juga lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga keagamaan? Jika memakai terminology Marxian, segera saja nampak bahwa ada yang bersemayam di ‘bangunan atas’ dan ada yang di ‘basis’. Maka ‘kualitas diri’ yang dimaksud di atas terlebih ranah negara dan masyarakat sipil adalah terkait dengan bagaimana ‘melawan’ arus kuat determinasi dari, katakanlah dalam konteks bahasan ini: pasar.
Maka pula dalam rangka ‘menggerogoti kualitas diri’ (sehingga dominasi ‘pasar’ tetap terjaga) lembaga-lembaga pendidikan bisa-bisa akan dibidik untuk dirusak, atau minimal dimasukkan dalam ‘logika pasar’. Demikian juga lembaga-lembaga keagamaan! Lihat bagaimana disodorkan hal menggiurkan terkait pengelolaan tambang, misalnya. Atau kelompok-kelompok kesuka-relaan itu kemudian diolok-olok habis-habisan, dengan istilah social justice warrior, misalnya. Partai politik? Sangat telanjang di republik bagaimana itu dirusak atau ‘merusakkan diri’. Di China? Boleh saja kita mengajukan kritik terkait dengan ‘terkutuknya’ partai tunggal, tetapi sejauh tidak meninggalkan kritik-otokritik utamanya, ia sebenarnya akan mampu membuat kepemimpinan yang berkualitas menjadi ‘terdukung’. *** (14-04-2025)
1642. Teledor Soal 'Eksternalitas'? (4)
15-04-2025
Apa yang bisa dibayangkan kemungkinan ‘gelindingan’ dari “let some people get rich first”? Bagaimana jika itu kemudian menjadi bagian dari ‘investasi dalam negeri’? Sementara itu investasi dari luar negeri juga dibuka lebar dalam rangka ‘membuka diri’, bahkan disediakan banyak kemudahan, hanya saja itu lebih di arahkan pada ‘daerah khusus’. Sementara itu ‘investasi dalam negeri’-pun kemudian di subsidi dalam bermacam bentuknya, termasuk penerapan tariff juga sebenarnya, tak jauh-jauh amat dari logika ‘infant industry’-nya Alexander Hamilton di AS sana di awal-awal kemerdekaannya. Tetapi apa sebenarnya subsidi terbesar, terutama bagi ‘investasi dalam negeri’ seperti di atas? Tidak lain adalah trust. Kepercayaan warga terhadap pemerintahannya. Dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede) dimana kebanyakan komunitas di Asia banyak ‘digolongkan’, ketika pemerintahan menjadi entitas yang sungguh dapat dipercaya oleh rakyatnya, itulah sebenarnya modal terbesar bagi kemajuan bersama. Apalagi jika pemerintahnya mampu juga berkembang sebagai ‘bureaucratic entrepreneurs’.[i]
Masalah trust, kepercayaan ini bukanlah soal ‘maksud baik’ atau ‘orang baik’, tetapi adalah juga soal persepsi. Bagaimana impuls-impuls yang menghampiri ‘tubuh’ itu kemudian membangun bermacam persepsi. Termasuk bagaimana dunia sekitar terbangun dalam persepsinya. Maka pertanyaannya, perlukah ‘tubuh’ yang ‘sehat’ sehingga persepsi yang terbangun itu menjadi, katakanlah, ‘produktif’? Dan apa itu ‘sehat’ dalam konteks ini? Program ‘housing first’ dari Finlandia terkait dengan yang homeless kiranya dapat sebagai perbandingan. Mempunyai tempat tinggal ‘permanen’ dengan bantuan dari pemerintah sebenarnya adalah bagaimana sebuah ‘keberakaran’ (dwelling) dibangun. Ketika ‘keberakaran’ itu mulai terbangun maka bisa dibayangkan ia menjadi mampu berdiri pada satu titik dan kemudian mampu membangun horisonnya sendiri. Hadirnya horison berarti pula hadir bermacam kemungkinan, dan dengan pendampingan yang tepat (dari pemerintah dalam hal ini) maka berkembang majupun menjadi lebih dimungkinkan. Meski istilah globalisasi mulai meningkat sejak 40 tahun lalu dan hidup semakin tidak bisa dipisahkan dengan yang disebut Manuel Castells sebagai space of flows, tetapi faktanya manusia tidak bisa meninggalkan space of places sebagai yang utama dalam membangun keberakarannya.
Maka bisa dibayangkan pula “let some people get rich first” yang kemudian melanjut pada ‘investasi dalam negeri’ adalah upaya membangun ‘keberakaran’ bersama juga. Dengan hadirnya ‘rumah produksi bersama’ maka ketika melihat bermacam ‘investasi asing’ yang ada di ‘daerah-daerah khusus’ itu misalnya, maka horison akan semakin maju juga. Inovasi dan kreatifitas tiba-tiba saja mendapat ruang lebih luas. Apa yang disebut B. Herry Priyono sebagai ‘trias economica’: tanah, modal, tenaga kerja, benar-benar terolah dalam ‘oikos-nomos’ yang ‘terjaga’. Tetapi apakah hanya ‘itu’? Cerita di China di atas nampaknya masih perlu ditambahkan dengan nilai-nilai yang terus dikembangkan, salah satunya seperti disinggung oleh Manuel Castell yang menyebutnya sebagai ‘kapitalisme guanxi’.[ii]*** (15-04-2025)
[i] Manuel Castells, End of Millennium, Blackwell Publisher, 2nd ed, 2000, hlm 317. Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/044-Kapitalisme-Guanxi/
[ii] Manuel Castells, End of Millennium, Blackwell Publisher, 2nd ed, 2000, hlm 313
1643. Imperfect Obligation, Apa yang Dimaksud?
17-04-2025
“37 Who Saw Murder Didn’t Call the Police; Apathy at Stabbing of Queens Woman Shock Inspector,”[1] demikian judul laporan The New York Times, 27 Maret 1964, enampuluh tahun lalu. Laporan tersebut terkait dengan terbunuhnya Catherine Genovese (28 th.) yang akrab dipanggil Kitty oleh tetangga-tetangganya, dua minggu sebelumnya. Ia ditusuk malam hari sepulang dari kerja, di depan gedung apartemennya. Ia sudah berteriak-teriak minta tolong, dan banyak yang mendengarnya, tetapi tetangga-tetangganya memilih untuk diam saja. Menurut Amartya Sen dalam The Idea of Justice (2009), ada tiga isu dalam peristiwa tersebut, (1) sebagai isu utama adalah kebebasan Kitty yang sebenarnya tidak boleh dilanggar. Kitty sebenarnya tidak boleh diserang dan mengalami kekerasan, (2) Si-penyerang sebenarnya mempunyai kewajiban untuk tidak menyerang, untuk tidak melakukan kekerasan terhadap Kitty, atau orang lain. Ini merupakan ‘perfect obligation’. Dan (3) para tetangga yang mendengar jeritan dan tahu ada kekerasan itu sebenarnya ia mempunyai juga ‘kewajiban’, yang disebut sebagai ‘imperfect obligation’.[2]
‘Perfect obligation’ bisa dibayangkan ia akan dibayang-bayangi lekat oleh hukum. Atau juga ‘perjanjian bersama antar beberapa pihak’ yang mempunyai konsekuensi hukum ketika salah satu merasa haknya dicederai, misalnya. Sedangkan ‘imperfect obligation’ katakanlah lebih sebagai ‘moral duty’, karena dorongan pertimbangan moral dan atau suara hati nurani. Tetapi dalam ranah publik kadang bisa mengalami ‘perluasan’, misalnya kita bukan pejabat dan menerima bingkisan, kita tidak wajib lapor ke siapa-siapa. Kita hanya punya ‘kewajiban’ mengucapkan terimakasih pada pemberi bingkisan saja. Itupun jika tidak kita lakukan tidak juga kemudian bisa dituntut di pengadilan. Tetapi bagi pejabat publik, ia punya kewajiban melaporkannya.
Tulisan ini didorong oleh peristiwa yang menghangat lagi hari-hari ini, soal ‘ijazah’ Joko Widodo. Joko Widodo merasa tidak punya kewajiban untuk memperlihatkan ‘ijazah asli’-nya kepada publik, atau dalam hal ini pihak-pihak yang mempersoalkan. Ranah tempat berdiri ketika ia mengatakan itu nampaknya adalah ranah ‘perfect obligation’. Tetapi bagaimana sebenarnya hidup bersama itu menghayati soal ‘perfect obligation’ sehingga hidup bersama ini menjadi terus berkembang dan ‘berkualitas’? Apakah kita bisa mengatakan bahwa soal ‘rasa-merasa’, soal ‘cita rasa’ terkait dengan ‘perfect obligation’ ini akan sangat dipengaruhi bagaimana kita menghayati ‘imperfect obligation’? Lihat bagaimana seorang pejabat publik di Jepang sana mengundurkan diri karena ‘kepeleset lidah’ terkait ‘bias jender’. Bandingkan bacot dari jubir istana di republik soal ‘kepala babi’ itu, ia masih saja dengan tanpa beban pecingas-pecingis di depan publik!
Mungkin saja tidak salah jika ‘perfect obligation’ di ranah publik itu adalah soal kualitas penegakan hukumnya. Tetapi itu baru bicara tentang prakondisi politis dan teknis, bagaimana dengan prakondisi sosialnya? Sehingga ‘penegakan hukum’ itu menjadi ‘terdukung’? Itulah mengapa ‘latihan diri’ soal ‘imperfect obligation’ ini menjadi penting. Latihan, latihan, dan latihan terus. Dan dukungan latihan paling penting di luar keluarga dan komunitas terdekat adalah terkait dengan pemimpin. Terlebih dalam komunitas dengan power distance tinggi (Hofstede), seperti di Jepang sana. Atau sebagian besar komunitas di Asia. Taste, cita-rasa soal ‘perfect obligation’ ini akan sangat ditentukan oleh bagaimana berkembangnya ‘imperfect obligation’ dalam hidup bersama. Terutama oleh pemimpinnya, sebagai katakanlah role-model.
Maka memperlihatkan ‘ijazah asli’ dalam kasus Joko Widodo hari-hari ini (dan sebenarnya juga bertahun lalu saat masih jadi pejabat publik) sebagai pertanggung jawaban publik adalah juga bagaimana ‘imperfect obligation’ itu ‘dipenuhi’. Jika para pemimpin di sana-sini terlalu sering menampakkan diri bagaimana tidak terlatihnya ‘imperfect obligation’ ini maka malanglah komunitas itu dalam mengembangkan hidup bersama semakin berkualitas. Benar kata Napoleon, “when small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” *** (17-04-2025)
[1] https://web.archive.org/web/20181108183955/https://www.nytimes.com/1964/03/27/archives/37-who-saw-murder-didnt-call-the-police-apathy-at-stabbing-of.html
[2] Amartya Sen, The Idea of Justice, hlm. 374-375, lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/769-Imperfect-Obligation/
1644. Para Perusak Ekosistem (1)
19-04-2025
Ekosistem adalah serapan bahasa asing, yang asal usul katanya tidak jauh-jauh amat dari kata ekonomi. Sama-sama menggendong kata ‘oikos’, kerumah-tanggaan. Maka yang dimaksud dengan ekosistem dalam hal ini terkait dengan segala sistem ‘kerumah-tanggaan’, termasuk juga tentu lingkungan ‘sekitar-dalam rumah’. “Sifat, watak, wajah, dan suasana suatu bangsa ditentukan langsung oleh derajat kemampuan, seni, dan efektivitas bangsa itu dalam mengendalikan kekuasaan. Bangsa yang merdeka per definitionem adalah bangsa yang efektif mampu mengendalikan kekuasaan dalam suatu keseimbangan, demi kebaikan dan perbaikan masyarakat seluruhnya,” demikian ditulis Mangunwijaya dalam Kini Kita Semua Perantau (1989). Dalam kata “masyarakat seluruhnya” itulah nampaknya kita bisa menempatkan konteks oikos dalam ekosistem. Kata kunci kedua dari kutipan Mangunwijaya di atas adalah “keseimbangan”. Bahkan sampai tingkat tata surya-pun Bumi menjadi layak untuk kehidupan karena ada juga faktor ‘keseimbangan’ ini, ada di zona goldilocks. Tentu faktor horison yang terus berkembang akan mengambil peran juga, tetapi apapun itu rejim demokrasi berkembang karena desakan terus menerus terkait dengan ‘keseimbangan’ ini juga. “Arus balik” demokrasi akan terjadi ketika ‘keseimbangan’ menjadi sangat terganggu.
Tetapi demokrasi sebagai ranah politik tidak akan pernah lepas dari dinamika ‘pencarian rejeki’ yang ada dalam bermacam relasi-relasi kekuatan produksi. Monarki dengan segala nuansa feodalismenya mengalami keretakan besar ketika cara ‘pencarian rejeki’ itu terus berkembang dan mencari ‘keseimbangan’ baru. Perang dagang dengan provokasi penetapan tariff masuk yang ditabuh Trump itupun sebenarnya hadir dalam bayang-bayang ‘keseimbangan’. Masalahnya, ‘keseimbangan’ dari sudut pandang siapa? Dari sudut Athena ketika ia ‘negosiasi’ dengan Melos ketika Perang Peloponnesian 400 SM doeloe? Dari jaman dulu sampai sekarang hidup bersama akan selalu lekat dengan bermacam ketimpangan, maka ‘keseimbangan’ apa yang mestinya dibangun dalam dunia penuh ketimpangan ini? ‘Keseimbangan’ yang disamarkan dalam idiom ‘stabilisasi’ seperti jaman old itu? Amartya Sen kemudian menunjuk pada soal ‘akses’. Kita bisa membayangkan bagaimana kelas pekerja ada yang meyakini bahwa melalui demokrasi ia akan mampu meningkatkan kesejahteraannya. Benarkah? Bisa ya dan tidak. Tetapi dari situ kita bisa membayangkan bagaimana jika pernak-pernik demokrasi itu ternyata tidak bisa di-akses oleh khalayak kebanyakan termasuk kelas pekerjanya sehingga tidak bisa lagi sebagai ‘alat’ untuk memperjuangkan keadilan, atau meningkatkan ‘rejeki’-nya? Atau ternyata memang bisa di-akses tetapi ternyata semu? Banyak orang Amerika sono yang setuju dengan program dari Partai Demokrat yang akan berpihak pada kelas pekerja terutama blue collar-nya, tetapi toh akhirnya nyoblos Republik karena isu kepemilikan senjata? Atau karena sihir MAGA? Pelajaran berpuluh tahun di jaman old, dengan jalur ABG-nya memang dinampakkan pengendalian kekuasaan menjadi efektif, tetapi kita juga bisa melihat dengan telanjang faktor mendasar dalam demokrasi: ‘keseimbangan’, dikorbankan dengan telaknya.
Sebagian besar hidup akan dijalani dengan modus ‘taken for granted’ saja. Bayangkan jika semua harus ditimbang-timbang lebih dahulu, hidup akan terasa penuh dengan ‘beban’, meski memang pada peristiwa tertentu sikap ‘taken for granted’ ini (mestinya) akan bisa ‘ditunda’ lebih dahulu. Maka jangan harap setiap saat, setiap waktu kita akan menimbang-nimbang soal demokrasi, soal politik, atau hal-hal di luar kesibukan kita dalam mempertahankan hidup, misalnya. Untuk itulah hidup bersama kita perlu ‘orang-orang tengah’ yang tangguh, punya integritas, punya per-hati-an lebih, punya ‘waktu lebih’ untuk menyoal demokrasi, soal politik misalnya. Dalam masyarakat sipil, adakah partai politik seperti itu, karena mau-tidak-mau satu kaki partai itu ada di ranah masyarakat sipil juga? Atau pers, juga segala yang terkait dengan kesuka-relaan itu. Tetapi sikap ‘taken for granted’ ini bukanlah ada di ruang kosong, sama dengan sikap yang terbangun pada ‘orang-orang tengah’ bahkan juga pemimpin, ia ada dalam ekosistem tertentu. Ekosistem yang juga membangun ‘habitat’ tempat kita hidup.
Sebagai ‘contoh kasus’ kita bisa lihat bagaimana ekosistem dibuat panas-dingin oleh propaganda MAGA di AS sono. Ke-taken for granted itu bagi sebagian besar khalayak seakan membuat tidak bisa lepas dari denyut MAGA itu. Jika memakai istilah George Lakoff, ekosistem yang dimaksud dalam hal ini sebenarnya tidak jauh-jauh amat dari deep frame, yaitu tempat dimana surface frame akan ‘digantungkan’. Lihat bagaimana deep frame terkait ‘stabilitas’ itu bekerja di jaman old. Atau sukses besar penerimaan program ‘ABRI Masuk Desa’[1], juga di jaman old. Menurut Alvin Toffler, Revolusi Pertanian membuat kekuatan dominan adalah ‘kekuatan kekerasan’, jadi ya jangan heran mengapa AMD di jaman old itu bisa dengan mudah ‘sukses besar’. Bagaimana dengan era yang didorong oleh Revolusi Informasi dimana semestinya ‘kekuatan pengetahuan’ ada di ujung tombak? Akankah akan ada ‘ABRI Masuk Universitas’? *** (19-04-2025)