1640. Teledor Soal 'Eksternalitas'? (2)

13-04-2025

Lima-puluh tahun lalu Peter L. Berger menerbitkan Pyramid of Sacrifice: Political Ethics and Social Change (1974), diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Piramida Kurban Manusia (LP3ES, 1982). Pyramid of Sacrifice terbit dalam rentang waktu Deng Xiaoping mulai menapak jalan ke puncak kekuasaan. Deng Xiaoping tidak hanya ikut berjuang berdampingan dengan Ketua Mao, tetapi juga menjadi saksi hidup ‘sisi gelap’ Revolusi Kebudayaan, bahkan ia disingkirkan karena tidak sejalan dengan ide Revolusi Kebudayaan. Maka tidak mengherankan dengan beragamnya perjalanan hidup, ia membawa China membuka diri dengan prinsip seakan ‘menyeberangi sungai diatas batu-batu (licin) yang ada di dasar’. Intinya ia paham sekali yang sedang dipertaruhkan. Paham sekali ‘eksternalitas’ saat membuka diri, atau ‘efek samping membuka diri’.

Ada satu ungkapan Deng Xiaoping yang sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai: “To get rich is glorious,” tetapi dari beberapa sumber terjemahan yang benar adalah: “Let some people get rich first.” Mungkin dari sisi ‘ouput’ tidak jauh berbeda, tetapi dari sisi ‘proses’ segera akan nampak bedanya. Bagaimana jika ‘some people get rich first’ itu melalui jalan kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, perburuan rente, korupsi? Maka tak mengherankan Deng Xiaoping dan penerusnya menjadi begitu keras terhadap para koruptor. Itu seiring juga dengan bagaimana ‘dongeng-dongeng’ tentang kerja keras terus diperbanyak oleh pemerintah. Bicara tentang ‘revolusi mental’ misalnya, tetapi justru korupsi merebak dengan jumlah dan kegilaan yang tak terbayangkan seperti di republik sepuluh tahun terakhir, jelas bukan seperti itu yang dimaksud Deng Xiaoping saat itu.

Nampaknya Deng Xiaoping bukanlah termasuk kaum ‘over-deterministik’ meski ia sangat paham bagaimana kekuatan dinamika yang ada di ‘basis’. Ia berusaha keras di sepanjang hidupnya bagaimana keputusan politik itu mampu mempengaruhi ‘pembagian kekayaan’ bagi warganya. Hasilnya? Dahsyat, ia bersama penerusnya mampu mengangkat 800 juta warganya mampu keluar dari kemiskinan. Dan sampai sekarang, ketika some people get crazy-rich first-pun masih mampu ‘didisiplinkan’. Lihat bagaimana ketika Jack Ma pernah ‘menghilang’ sampai berbulan-bulan. Sedang ‘didisiplinkan’? Mungkin saja. Apa yang terjadi di China sejak Deng Xiaoping itu bisa dibayangkan sebagai Alegori Kereta-nya Platon dalam praktek. Sik-kuda hitam dimana bersemayam hasrat akan uang, kekayaan itu dilepas dari ‘kandang’ tetapi dengan tetap sik-sais mampu ‘mengendalikan’ dibantu oleh sik-kuda putih dan sayap-sayap di kanan-kiri kereta. Tidak dibiarkan -sampai sekarang, sik-kuda hitam (maupun sik-kuda putih) terus menggantikan sik-sais. *** (13-04-2025)

1641. Teledor Soal 'Eksternalitas'? (3)

14-04-2025

Keteledoran dengan tidak diperhatikannya ketika seekor kupu-kupu mengepakkan sayap, bisa-bisa pada satu saat badailah yang akan dituai meski itu terjadi di jauh sana. Paling tidak ini ada dalam cerita butterfly effect itu. Artinya, teledor yang bahkan ketika itu dianggap ‘hal kecil’ saja bisa-bisa akan mengakibatkan bermacam akibat yang tak terduga di kemudian hari. Terlalu banyak hal yang sebenarnya ‘tidak terjelaskan’ tanpa melihat atau mempertimbangkan hal-hal lain. Dalam tubuh kita terjadi ‘mekanisme umpan balik’ yang terus saja terjadi dari waktu ke waktu, misalnya. Web of life dalam praktek memang sungguh hadir dalam banyak segi kehidupan. Jika kemudian dicari apa yang menjadi ‘daya ungkit terbesar atau besar’ bagi perubahan tidak salah-salah amat, tetapi kadang sesuatu ‘hal kecil’ yang mesti diselesaikan ‘lebih dulu’ sering diabaikan karena sifat ‘banal’-nya. Akibatnya perubahan yang dibayangkanpun menjadi tertatih-tatih. Kadang-kadang perjalanan perubahan dipercepat dengan adanya ‘patahan sejarah’, tetapi siapa yang paling siap ‘mengemudikan’ akibat dari ‘patahan sejarah’ itu? Salah satu yang paling siap menyambut ‘patahan sejarah’ dalam bermacam bentuknya adalah agen-agen neolib, suka atau tidak. Tidak hanya karena mereka ‘dilatih’ untuk terampil dalam hal itu, tetapi memang kapitalisme yang dipeluk erat itu sangat lekat dengan bermacam krisis. Atau karena kapitalisme akan selalu menghadapi ‘gangguan’ sehingga ia tidak menjadi semakin brutal.

Tetapi kekuatan agen-agen neolib itu tidak hanya soal ‘membangun dongeng’ terutama saat krisis atau pasca-krisis, seperti ketika ulah Trump itu semakin menampakkan hadirnya krisis, dengan sigap mereka-mereka itu segera saja mendongeng soal ‘deregulasi’, salah satu pilar dari Konsensus Washington empat-puluh lima tahun lalu. ‘Deregulasi’ buat siapa? Tentu pertama-tama adalah untuk pendukung utamanya, modal terutama modal besar. Atau dalam kata-kata demonstran di AS hari-hari ini: “Hands off!” Tak jauh-jauh amat dari seruan saat sekitar-sekitar Revolusi Perancis: “Laissez-faire!” Yang dilawan hampir sama: konservatisme dari kaum konservatif. Atau yang paling dibenci oleh Friedrich von Hayek pasca Perang Dunia II, ‘ekonomi terpusat’. Tentu banyak nuansa yang berkembang pula.

Modal terutama modal besar sebagai pendukung utama dari kaum neolib, apapun itu memang berhasil membangun ‘kerajaannya’ tidaklah semata sebagai ‘istana pasir’ saja. Lihat bagaimana teori-teori managemen berkembang, dari saintifik manajemen, continuous improvement, zero-defect, kaizen, quality control, dan banyak lagi. Belum lagi ‘buku-buku tebal’ yang dikeluarkan dengan logika yang ketat pula. Kompetisi yang bahkan menghadirkan bayang-bayang ‘kematian’ -bangkrut, membuat bermacam inovasi dan kreatifitas dilahirkan. Itulah ‘dongeng’ yang diluncurkan oleh kaum neolib itu adalah ‘dongeng’ yang terdukung oleh kemampuan modal dalam mengorganisir diri, termasuk dalam hal ini terkait dengan merger yang dipotret dengan baik sekali oleh Joel Bakan dalam The Corporation (2003). Tidak hanya itu, John Perkins dalam Confessions of Economic Hitman (2004) bahkan menggambarkan bagaimana ekonomi negara bisa dihancurkan jika tidak membuka diri ikut mau-maunya sik-modal (besar). “Sistem pasar bebas adalah hakim bagi setiap kebijaksanaan,” demikian ditulis oleh B. Herry Priyono dalam Sesudah Modal Lolos dari Trias Economica (lihat dalam Esei-esei Bentara 2003, Penerbit Kompas, 2003, cat.: trias economica yang dimaksud: tanah, modal, dan tenaga kerja).

Dari hal-hal di atas, jika memakai pembedaan negara-pasar-masyarakat sipil, ranah negara mestinya juga selalu meningkatkan ‘kualitas diri’ sehingga tidak ketinggalan terhadap segala dinamika ‘pasar’. Demikian juga sebenarnya, masyarakat sipil. Banyak analisis yang mengkaitkan ‘runtuhnya kekaisaran’ dikaitkan dengan penurunan kualitas kepemimpinannya. Tetapi benarkah kuncinya ada dalam kepemimpinan? Karena sik-aktor atau sistem yang membusuk? Jangan-jangan ‘faktor penentunya’ adalah ‘kaum tengah’, middleman. Kualitas dari ‘kaum tengah’. Dalam pasar ritel atau pasar keuangan, ‘kaum tengah’ bisa kita bayangkan bagaimana ia ‘memainkan’ peran sentralnya. Bagaimana dengan ranah negara? Nampaknya lebih ada dalam partai politik, entah itu multi-partai, dua partai dominan, atau bahkan ‘partai tunggal’. Di ranah masyarakat sipil? Bisakah disebut peran penting dari kelompok-kelompok kesuka-relaan? Dan juga lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga keagamaan? Jika memakai terminology Marxian, segera saja nampak bahwa ada yang bersemayam di ‘bangunan atas’ dan ada yang di ‘basis’. Maka ‘kualitas diri’ yang dimaksud di atas terlebih ranah negara dan masyarakat sipil adalah terkait dengan bagaimana ‘melawan’ arus kuat determinasi dari, katakanlah dalam konteks bahasan ini: pasar.

Maka pula dalam rangka ‘menggerogoti kualitas diri’ (sehingga dominasi ‘pasar’ tetap terjaga) lembaga-lembaga pendidikan bisa-bisa akan dibidik untuk dirusak, atau minimal dimasukkan dalam ‘logika pasar’. Demikian juga lembaga-lembaga keagamaan! Lihat bagaimana disodorkan hal menggiurkan terkait pengelolaan tambang, misalnya. Atau kelompok-kelompok kesuka-relaan itu kemudian diolok-olok habis-habisan, dengan istilah social justice warrior, misalnya. Partai politik? Sangat telanjang di republik bagaimana itu dirusak atau ‘merusakkan diri’. Di China? Boleh saja kita mengajukan kritik terkait dengan ‘terkutuknya’ partai tunggal, tetapi sejauh tidak meninggalkan kritik-otokritik utamanya, ia sebenarnya akan mampu membuat kepemimpinan yang berkualitas menjadi ‘terdukung’. *** (14-04-2025)