1740. Merendra-Inmessionante-Termul

12-08-2025

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan 7 tahun lalu, “Inmessionante[1], atau tepatnya ‘jawaban’ dari pertanyaan di akhir tulisan tersebut. Karena kesulitan melacak siapa-kapannya istilah ‘termul’ itu hadir untuk pertama kalinya dalam dunia kosa-kata republik, maka anggap saja ini adalah ‘jawaban sosial’ yang lahir dari dinamika sosial itu sendiri. Muncul begitu saja dalam ‘dunia obyektifikasi’ dan kemudian diserap-diinternalisasi-dihidup-hidupi untuk kemudian ‘terlembagakan’. Diterima sebagai bagian dari kosa-kata keseharian.

Tetapi imajinasi tentang kata ‘termul’ ini sebaiknya jangan menjadi begitu liarnya. Sama-sama ‘bayarannya’ tentu bisa berbeda dalam penghayatan antara ‘yang kepepet karena kebutuhan’ dan ‘yang (memang pada dasarnya) serakah’. Misal, karena kepepet kebutuhan kemudian mau saja dibayar sekian puluh ribu untuk ikut demo membela ‘mulyono’. Ketika ditanya mengapa ikut-ikutan demo, jawabannyapun amburadul, menjadi sangat tidak meyakinkan. Apakah yang seperti ini kemudian masuk golongan ‘termul’? Tidak-lah. Dalam banyak halnya, ia adalah korban dari ‘termul’.

Maka bisa dikatakan, ‘kualitas’ sik-termul itu salah satunya adalah buta soal ‘imperfect obligation’. Apakah lempar-lempar bingkisan kepada khalayak kebanyakan di luar ranah kampanye-pemilihan itu melanggar aturan? Tidak-lah. Apakah itu menjadi sah-boleh-boleh saja dilakukan ketika khalayak kebanyakan menjadi berkerumun memperebutkan bingkisan yang dilempar itu? Masalahnya adalah ada dalam diri sik-pelempar, apalagi jika sik-pelempar adalah pejabat publik. Semestinya sebagai pejabat publik ia punya kualitas untuk menimbang-nimbang bahwa hal itu sangat tidak pantas dilakukan terhadap rakyat yang dipimpinnya. Itulah gambaran imperfect obligation, meski tidak diatur dalam perfect obligation tetapi dengan kualitas diri dalam timbang-menimbang maka apakah akhirnya ia melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu. Bagi pejabat publik, imperfect obligation ini bisa menjadi penting, bukan hanya dalam hal membangun ‘aura-kualitas’ diri, tetapi juga merupakan latihan ketika ia berhadapan dengan perfect obligation. Jadi istilah ‘termul’ itu lebih pada yang lekat atau dilekati, atau merasa dilekati dengan power, bukannya yang powerless.

Hal kedua menunjukkan mengapa istilah ‘termul’ itu ter-nya adalah kependekan dari ternak. Menurut Levinas, pertemuan face-to-face antara dua (wajah) manusia itu akan menelusup sebuah etika. Seakan dalam pertemuan itu saya dituntut juga ikut bertanggung jawab terhadap ‘yang lain’. Atau, seakan (wajah) yang lain itu mengatakan ‘jangan bunuh saya’, misalnya. Dan ternyata dalam pertemuan tatap-muka itu ada satu pihak sudah kehilangan ‘wajah manusianya’. Karena begitu tertutup oleh iming-iming kenikmatan uang -serakah, atau karena ‘sandera kasus’. Karena salah satu sudah kehilangan ‘wajah manusianya’ maka etikapun menjadi mengering. Tidak ada nuansa etis dalam ‘hubungan tatap muka’ itu. Maka bagi khalayak kebanyakan yang terus menerus melihat ‘aksi panggung’ seperti itu, istilah ‘ternak’-pun kemudian dengan mudah saja masuk dalam kesadaran, tertuju bagi yang sudah kehilangan ‘wajah manusianya’ itu. Terlebih yang menjadi ‘model’ juga berulang-dan-berulang menampakkan diri sebagai yang sudah kehilangan ‘wajah manusianya’, karena gejolak hasrat akan kuasa dan uang yang sudah sampai pada tahap kegilaan. Seakan sudah menjadi dan menikmati situasi ‘machiavelli(isme) yang menua’, meminjam istilah Leo Strauss. *** (12-08-2025)

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/080-Inmessionante/

1741. "Analisa Kelas" dalam Fenomena One Piece

13-08-2025

Kadang-kadang memang perlu ‘jembatan keledai’ untuk membuat sesuatu menjadi lebih mudah dipahami, atau diingat. Atau menjadi lebih ada greget. Seperti hari-hari ini, merebaknya bendera One Piece. Maka, apa yang mau di-‘jembatan keledai-i? Apakah lama ada berkembang suatu ‘tacit knowledge’ yang perlahan menelusup dalam kesadaran khalayak kebanyakan? Dan seakan mendapat ‘katalis’nya dalam bendera One Piece itu? Mendapat ‘kosa-kata’-nya dalam bentuk bendera itu? Apakah memang perlahan mulai terasa di republik seakan ada dua ‘kelas’, katakanlah ‘kelas perampok’ dan ‘kelas pekerja (keras)’? Yang mungkin saja tidak jauh-jauh amat ketika sik-‘pekerja keras’ mulai sadar akan posisi di hadapan ‘kaum aristokrat’ yang banyak malasnya, tetapi tetap saja menjadi (selalu) kaya? Seperti ketika feodalisme itu perlahan mendapat ‘gangguan’ serius dari kaum ‘kapitalis’ pada masanya? Seperti ditunjukkan Ben Anderson dalam Komunitas Terbayang, inovasi mesin cetak massal oleh Guttenberg itu ternyata tidak hanya mendorong munculnya negara-bangsa, tetapi juga ‘print capitalism’. Yang dengan itu pula terus menggelinding dalam abad-abad berikutnya sehingga kesadaran ‘sana mau ke sana sini mau ke sini’ menjadi semakin jelas.

Apalagi bertahun terakhir sik-pengelola negara bahkan secara telanjang memang suka main raja-rajaan. Tidak hanya dalam perilaku, tetapi bahkan dalam berpakaian, kadang memang suka sekali dilekati dengan pernak-pernik ‘kemaha-rajaan’. Kalau baru-baru ini Menteri Agraria dan Tata Ruang, NW, mengatakan bahwa semua tanah adalah milik negara, itu bukanlah kebetulan saja. Atau candaan belaka seperti ‘klarifikasi’ di kemudian harinya. Bisa jadi itu habit yang seakan terbawa sebagai bagian dari ‘termul’ yang bertahun-tahun menganggap republik ini memang sebuah ‘kerajaan’ dengan ‘raja’nya adalah sik-Mul itu. Karena semua tanah dianggap sebagai ‘tanah kerajaan’ maka dengan enteng-entang saja tambang-tambang dibagi pada kaum bangsawannya, atau yang mau ‘bersumpah-setia’ sebagai kaum bangsawannya. Dengan tanpa beban pula tanah-tanah adat digusur. Karena itu pula maka khalayak kebanyakan-pun harus bayar upeti, pajak-pajak-pajak. ‘Pajak’ disebut sampai 3x untuk menegaskan pajak-pajak yang semakin aèng-aèng dalam jenis dan besarannya itu semakin lama semakin dirasakan sebagai upeti saja. Terlebih ketika pajak terkumpul yang semestinya dipertanggung jawabkan itu justru dikelola secara ugal-ugalan. Demi hasrat ‘megalomania’-nya sik-‘raja’. Atau bahkan pesta-pora yang tidak kunjung selesai bersama kaum ‘bangsawannya’: korupsi merebak dalam sebaran dan jumlah yang tak terbayangkan sebelumnya. Merdeka! *** (13-08-2025)