1745. Dari K. Informasional ke K. Propaganda?
17-08-2025
Kapitalisme informasional adalah istilah yang digunakan Manuel Castells dimana informasi dan pengetahuan melalui bermacam tekhnologi (informasi dan komunikasi) diproses untuk mendukung berkembangnya bisnis (capital). Sebelumnya Alvin Toffler dalam Power Shift (1990) menunjukkan bagaimana informasi bisa mendorong terjadinya power shift. Toffler mencontohkan penggunaan bar code telah mendorong power shift dari produsen ke retailer. Apakah berkembangnya jarigan digital terutama terkait dengan e-commerce akan membuat juga hadirnya power shift?
Ketika televisi berkembang dan mampu menjangkau ruang-ruang keluarga, tiba-tiba saja muncul istilah throw-away society di pertengahan dekade 1950-an sebagai akibat berkembangnya hiper-konsumerisme. Bukankah televisi saat itu juga merupakan media bagi berkembangnya ‘kapitalisme informasional’ dalam arti ‘sihir-informasi’ dalam bentuk iklan? Atau juga ‘gaya hidup’? Bagaimana dengan berkembangnya jaringan internet terutama sosial media yang bahkan mampu menjangkau ruang-ruang privat masing-masing individu? Bermacam in-formatio itu bahkan bisa sampai ruang yang sungguh privat, dimana saja, kapan saja. Yang perlahan akan ‘membentuk’ (formatio) penerimanya. Diterima lebih dalam bentuk ‘melihat’, dimana menurut Walter J. Ong, ‘modus melihat’ itu cenderung ‘memecah belah’ sedangkan modus ‘mendengar’ akan cenderung mempersatukan. Inikah salah satu sebab adanya ‘paradoks’, jaringan digital berkembang termasuk sosial media, tetapi seakan kita menjadi semakin ‘terasing’ satu sama lain?
Bagaimana ketika ‘kapitalisme’ itu kemudian bersekutu dengan ‘negara’? Negara yang (terbukti dari waktu ke wajtu) lebih trampil dalam ‘propaganda’ dari pada membuat ‘iklan’, misalnya? Apakah kapitalisme tidak hanya kemudian bermain di ranah ‘iklan’ saja tetapi juga akan lekat dengan latar belakang ‘propaganda’? ‘Iklan’ dimana masih mempunyai ‘kode etik’nya sendiri, tetapi ‘propaganda’? Propaganda yang seakan ada di ‘ruang antara’ antara persuasi dan manipulasi itu? Dan bagaimana ketika dinamika di ‘basis’ itu lekat juga dengan dinamika ‘propaganda’, apakah politik yang ada di ‘bangunan atas’ itu juga akan ikut-ikutan ugal-ugalan dalam ‘manipulasi’? Ruang gelap yang punya potensi besar untuk terbangun terkait dengan rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II oleh BPS baru-baru ini bisa menjadi salah satu contoh kasus menarik.
Mengapa ‘kapitalisme propaganda’ ini bisa saja berhasil? Karena paling tidak menurut Alasdair MacIntyre, man is essentially a story-telling animal. Dan bahkan menurut David C. Korten, kekuatan sayap kanan radikal meski jumlahnya relatif sedikit, (dan karena itu) kekuatan utama mereka adalah dalam membangun story-telling. Tetapi dari peristiwa krisis subprime mortgage tahun 2008 itu kita bisa belajar bagaimanapun ‘kapitalisme propaganda’ -seperti ‘bentuk-bentuk’ kapitalisme lainnya, mempunyai ‘batas-batas’nya, dan ‘gelembung’ itupun akan meletus juga. Akhirnya oikos-nomoslah yang dipertaruhkan dengan segala konsekuensinya. Siapa bilang subprime mortgage itu tidak lekat dengan propaganda dalam dirinya? Menjadi kaya dan lebih kaya, dan lebih kaya lagi, lagi dan lagi, bukankah itu salah satu yang lekat dengan American Dreams?
Dari banyak pelajaran masa lalu, propaganda sering tidak jauh-jauh amat dari megalomania, kegilaan akan yang besar-besar. Tulisan ini didorong oleh ‘The Rise and Fall of China Evergrande’[1], diunggah oleh South China Morning Post, satu tahun lalu. Yang sebenarnya tak jauh-jauh amat dari krisis subprime mortgage 17 tahun lalu. Keserakahan yang tidak hanya mendorong meletusnya ‘gelembung’ tetapi juga menguak apa yang sebenarnya terjadi. Selubung fakta itu perlahan terkuak lapis demi lapis. Sampai sekarang. Bahkan dengan jalan ‘kecelakaan’-pun bisa jadi ikut terlibat dalam penguakan.[2] Sayangnya, keserakahan itu sulit sekali untuk diajak berangkat sekolah, sulit untuk ‘dididik’. Meski tentu, bukannya tidak bisa. Jadi, what is to be done? *** (17-08-2025)
[1] https://www.youtube.com/watch?v=ZYdxlM4LSXM, lihat juga laporan DWTV, https://www.youtube.com/watch?v=92xrv3IiPlk
[2] Lihat misalnya kecelakaan adu banteng antara Roll Royce vs Mercedes Benz baru-baru ini di Sydney Australia yang melibatkan seorang wanita muda (mabuk) usia 23 tahun.
1746. Sana Mau ke Sana, Sini Mau ke Sini
18-08-2025
Judul adalah penggalan dari tulisan si-Bung. Jika memakai istilah Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944), salah satu ‘terjemahan bebas’ dari ungkapan si-Bung di atas bisa dibayangkan adanya double movement atau gerakan ganda. Tentu ada ‘terjemahan’ lain yang mungkin saja lebih dekat dengan apa yang dimaksud si-Bung, seperti misalnya revolusi dan musuh-musuh revolusi, misalnya. Revolusi mau ke sini, sedang musuh-musuh revolusi mau ke sana. ‘Gerakan ganda’ di atas juga tidak terlalu ada dalam ranah ‘kapitalis’ vs ‘sosialis’, tetapi memang sebenarnya lebih ada dalam ranah kapitalisme. Atau sebenarnya bisa dikatakan bagaimana keserakahan yang ada ‘di sini’ itu bisa ‘dikendalikan’ melalui gerakan lainnya yang ada ‘di sana’. ‘Dikendalikan’ dalam arti supaya tidak menjadi menghancurkan hidup bersama. Atau kalau memakai istilah Aristoteles, ini mungkin saja bisa dibayangkan sebagai oikos-nomos vs chrematistics. Bisa juga dibayangkan bahwa ini adalah juga soal akal sehat dan hasrat. Maka memang menjadi tidak mudah, sebab hasrat yang banyak ngendon dalam ‘bawah sadar’ itu menurut Freud akan lebih mempengaruhi tindakan kita dibanding yang dituntun oleh ‘akal sehat’ atau rasio. Atau jika memakai istilah Daoed Josoef, ini adalah juga soal ‘rehabilitasi masa depan’. Masalahnya, siapa dan apa yang sedang atau mau direhabilitasi (masa depannya)? Ataukah pada titik tertentu ketika sampai pada level ‘kecanduan’ -dimanapun letak ‘kecanduannya’, maka ‘proyek rehabilitasi masa depan’-pun seharusnya mulai diintrodusir?
Tetapi di satu sisi menurut Nietzsche, hasrat utama manusia adalah terkait dengan will to power. Istilah ‘mabuk kekuasaan’ atau banyak lagi istilah yang menunjukkan bahwa kuasa itu memang tidak hanya menggoda, tetapi juga mudah bikin orang kecanduan. Maka akan menjadi ‘rumit’ ketika kekuasaan itu kemudian diletakkan pada dataran ‘maksud baik dari orang baik’ saja. Pengalaman memberikan pelajaran berharganya. ‘Gerakan ganda’ seperti disebut di atas, bisa menjadi mudah masuk dalam rute kenang-kenangan ketika ia digelar dalam satu orkestrasi dengan satu konduktor saja. Memang dikenal adanya istilah ‘kediktatoran yang baik hati’, tetapi adakah contoh yang itu berkembang di sebuah negara dengan kekayaan alamnya melimpah? Atau dimana ketika tongkat dan batu jadi tanaman? Istilah resources curse lahir tidaklah di ruang kosong. Maka adalah penting adanya dinamika check-balances, apapun bentuknya itu. Belum lagi ketika ingat akan potensi munculnya fasisme, yang salah satu pintu masuknya adalah eksploitasi ‘bawah sadar’ itu. Sudah merupakan bagian besar yang berpengaruh pada tindakan kita, itupun masih dieksploitasi oleh para demagog. Maka rasio dan apa-apa yang ada dalam ‘super-ego’-pun akan terusik. Hannah Arendt kemudian menamakan itu sebagai banality of evil di ujung sana. Tetapi apa yang juga dipertaruhkan ketika ‘ego’ dan ‘super-ego’ tertekan? Meminjam istilah Amartya Sen, itu bisa juga disebut sebagai komitmen. Komitmen adalah kritik Sen terhadap klaim kaum neolib yang menempatkan ‘kepentingan diri’ di atas altar sucinya, dan membaptisnya sebagai satu-satunya yang rasional. Bagi Sen, komitmen-pun juga rasional. Jika ini ditempatkan dalam kerangka ‘gerakan ganda’ di atas, maka akan segera nampak memang ‘kepentingan diri’ itu pada akhirnya akan berhadapan berhadapan dengan ‘komitmen’. Sedikit banyak ini menjelaskan mengapa bertahun terakhir orang-orang yang mempunyai komitmen, integritas, dan nalar yang bisa dipertanggung jawabkan malah tersingkir. Ranah negara seakan telah kehilangan ‘r’-nya, bukan lagi banyak animal rationale-nya. Vita activa-nya Hannah Arendt itu kemudian hanya soal kerja-kerja-kerja, dan mereduplah karya dan tindakan. Bahkan vita contemplativa-nya juga tertekan. Rusak-rusakan, semau-maunya.
Itulah mengapa meski para Paskibraka sudah dipersiapkan dengan serius berminggu-minggu, bendera pusaka dibawa dan dicium dulu sebelum dikibarkan, ada mengheningkan cipta, dan seterusnya, dan seterusnya, dengan segala kekhidmatannya, di tempat yang sama terus dilanjutkan dengan jogat-joget. Tanpa beban. Seakan tidak ada tempat lain saja. Rasanya seperti kita baru saja selesai ibadah, bukannya terus undur dengan segala kekhidmatan yang sudah terbangun, tetapi langsung saja jogat-joget, juga di tempat atau rumah ibadah itu. Tentu akan ada pembelaan -silahkan saja, tetapi juga sah-sah saja jika ada yang melihat bahwa ‘kegilaan’ itu sebenarnya menunjukkan pula bagaimana soal komitmen dalam bermacam halnya itu seakan tidak dipersilahkan untuk masuk-mengendap dalam olah menahan diri dalam ruang dinamika vita contemplativa. Bahkan hanya untuk satu hari saja, di satu tempat tertentu. Taste, cita res-publika memang sedang dirusak, bertahun terakhir ini. Sambil pecingas-pecingis. *** (18-08-2025)
1747. Hit and Run
19-08-2025
Ketika Y yang menko itu baru saja dilantik, pagi-pagi ia sudah menebar wacana bahwa peristiwa 98 itu bukan pelanggaran HAM berat. Memang sehari kemudian ia memberikan ‘klarifikasi’nya, bla … bla … bla…, apapun itu, tetapi bagaimanapun juga tidak mengubah meluncurnya simpanan ‘tabungan’ yang sudah disetor dalam dunia ke-3nya popperian itu. Tidak penting ‘tabungan’ ucapan itu sebuah pembelaan atau bukan, apa-apa yang sudah masuk dunia ke-3 popperian itu memang bisa menjadi ‘liar’. Menjadi tidak tergantung lagi pada Y bagaimana pihak lain akan mempersepsikan. Termasuk persepsi bahwa sebenarnya ada ancaman terselubung di situ, pesan terselubung supaya ‘yang disasar’ itu tetap manut, tetap ‘ikut komando’. Tak jauh-jauh amat dari permainan ‘sandera kasus’, dan atau pembagian kenikmatan yang sungguh luar biasa. Utang budi bayar bodi. Sebenarnya itu juga tak jauh-jauh amat dari sandera kasus. Pemberian kenikmatan yang luar biasa itu sering juga bisa dikasuskan. Apapun rute pengkasusannya akan diambil.
Beberapa waktu lalu seorang menteri urusan tanah, N, membuat heboh terkait dengan urusan tanah. Tanah nganggur akan diambil alih oleh negara. Katanya, apa mbahmu bisa buat tanah? Tentu pernyataan ini akan menambah heboh laksana seperti menyiram bensin dalam api, dan memang kemudian mendapat perhatian lebih dari khalayak. Tetapi apakah itu kebetulan saja, tiba-tiba bangun tidur terus mendapat ide bahwa ‘tiada mbah yang mampu buat tanah’? Atau secara tersamar ada yang sedang ‘ditembak’, atau ‘diperingatkan’? Tak lama kemudian pernyataan itu kemudian ‘dibantah’ sendiri, itu candaan saja … katanya. Tak jauh-jauh amat dari peristiwa Y yang menko itu, seperti di awal tulisan. Atau sebelumnya ribut-ribut soal ITB mau buka gedung fakultas di PIK-2, dan selang beberapa hari mundur. Adakah pesan yang mau disampaikan dalam peristiwa itu, yang memang peristiwa itu seakan bergaya hit and run juga? Atau juga satu-dua professor membuat pembelaan tentang keaslian sebuah ijazah, sekali saja keluar dan terus menghilang, menjadi begitu pengecutnya untuk ‘bertarung ulang’ atau memperdebatkan pembelaannya itu.
Ada gaya lain selain hit and run, seperti gaya bertinju Muhammad Ali misalnya, float like a butterfly, sting like a bee. Tidak semata tiba-tiba meng-hit dan segera saja run, tetapi hit-nya diorkestrasi cukup lama -float like a butterfly, sebelum akhirnya dilakukan hit yang sesungguhnya, dan berulang lagi. Dan ini nampaknya dilakukan oleh menteri urusan kebudayaan, F, yang tentu ada back up dari menko-nya P, dan juga wakilnya G. Nampaknya apa yang diangkat oleh menko Y di awal-awal pemerintahan itu ternyata masih bersambung juga, dan sequel-nya lebih mengerikan, tentang perkosaan. Tetapi tujuannya sebenarnya sama, melakukan ‘setoran isu’ dalam dunia ke-3nya popperian itu. Tabungan yang ‘siap tarik’ jika ada yang bandel tak mau diperintah. Tak jauh-jauh amat dari ‘tabungan kasus’ dari banyak pihak dalam dunia penegakan hukum yang siap ‘ditarik’ kapan saja jika tidak mau diperintah lagi. Bahkan ketika diperintah untuk koprol atau kayang sekalipun. Semau-maunya. *** (19-08-2025)


1748. Jika Pendleton Act Tidak Pernah Ada
20-08-2025
Melihat sejarah Amerika Serikat antara awal abad 19 sampai awal abad 20, ada beberapa hal yang menarik. Kira-kira di tengah-tengahnya lahir yang dikenal sebagai The Pendleton Civil Service Reform Act, tahun 1883. Rentang pembahasan adalah mulai naiknya Andrew Jackson (1767-1845), presiden ke-7 AS, menjabat antara tahun 1829-1837, sampai merebaknya ‘Era Progresif’ pada tahun 1890an-1920an. Di Indonesia ada istilah Reformasi Birokrasi, yang sebenarnya adalah juga tuntutan gerakan Reformasi 1998. Pada era SBY keluar Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010, tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
Mengapa Reformasi Birokrasi merupakan salah satu tuntutan di tahun 1998? Salah satu cara untuk membayangkan bagaimana penggalan sejarah AS menjadi fokus tulisan ini adalah melihat adanya jalur ABG di jaman old di republik. Jalur ABRI-Birokrasi-Golkar, yang dasar utamanya adalah loyalitas pada sik-patron di ujung-ujungnya, loyal pada sik Pak H. Maka memang spoils system yang diintrodusir oleh Andrew Jackson seperti disebut di atas, sering dikenal juga sebagai sistem patronase. Jawaban AI dalam pencarian di google tentang spoils system ini memberikan jawaban tanpa basa-basi, ‘sistem rampasan’. Seperti perang saja, Andrew Jackson menandaskan bahwa pemenang pemilihan berhak ‘merampas’ semuanya, “to the victor belong the spoils”. Artinya, pemenang pemilihan berhak membagi-bagi semua jabatan pada para pendukung. Akibatnya banyak pos-pos di pemerintahan diisi oleh orang-orang yang tidak kompeten, miskin integritas, pokoknya: loyal. Atau kalau memakai bahasa di republik, yang berkeringat. Kelihatannya ‘logis’ saja, tetapi sejarah telah menunjukkan bahwa ketika itu terjadi maka korupsi-pun akhirnya merebak dimana-mana. Pelayanan bagi warga sipil-pun kemudian menjadi carut-marut, lembaga-lembaga negara mengalami pembusukan kronis dari bermacam arah dan tingkatannya, amburadul.
Akhirnya segala gelapnya perekrutan pegawai di pos-pos pemerintahan yang ugal-ugalan ini mengundang bermacam kritik sejak akhir dekade 1860-an. Puncak dari kritik ini adalah ketika terjadi pembunuhan presiden ke-20 James A. Garfield, ditembak (yang membuat Garfield luka parah, dan dua bulan kemudian meninggal karena infeksi) oleh Charles J. Guiteau pada tahun 1881. Itu kemudian melanjut dalam percepatannya kritik hingga pada tahun 1883 The Pendleton Civil Service Reform Act di sahkan. Bisa dilihat di sini, perlu waktu lebih dari 10 tahun sehingga segala kritik terhadap spoils system ini berhasil. Bahkan diperlukan pemicu percepatannya, pembunuhan seorang presiden untuk ‘memperoleh’ momentumnya. Dan Amerika kemudian masuk Era Progresif, yang salah satu agenda utamanya adalah ‘reformasi birokrasi’ itu. Jika dihitung-hitung sejak pembunuhan presiden James A. Garfield sampai berakhirnya Era Progresif, bisa dikatakan ‘reformasi birokrasi’ yang kemudian berbasis ‘sistem meritokrasi’ itu perlu waktu 40 tahun. Itupun dari beberapa catatan masih perlu 10-20 tahun lagi sehingga benar-benar bisa seperti yang diharapkan.
Apa yang bisa dipelajari? Salah satunya adalah, menjadi tidak mudah untuk membongkar rejim yang didasarkan oleh membabi-butanya bagi-bagi jabatan, bagi-bagi tambang, bagi-bagi kuota impor, bagi-bagi lapak illegal fishing, bagi-bagi lapak judi on-line, bagi-bagi lahan korupsi, bagi-bagi proyek, bagi-bagi tanah adat, bagi-bagi proyek strategis nasional, dan bagi-bagi banyak lagi, yang bersamaan dengan semua itu, disingkirkan pula yang terkait dengan kompetensi, komitmen, integritas, meritokrasi, secara telak. Juga membabi-buta. Bahkan diperlakukan sebagai criminal, misalnya kasus Tom Lembong itu. Rejim seperti ini tidak peduli lagi apa yang sedang dipertaruhkan. Apa yang dimulai di era SBY terkait dengan upaya reformasi birokrasi dalam hal ini, telah dirusak habis-habisan, tanpa beban. Ikan busuk mulai dari kepala, demikian ‘pepatah’ 2000 tahun lalu. Kenikmatan-kecanduan menjadi ‘patron’ itu sungguh telah membawa republik tiba-tiba saja sudah sampai di tepi jurang. Meski begitu, tetap saja mata gelap, dan kenikmatan itu nampaknya akan dipertahankan dalam mode at all cost-nya. Termasuk ternak-ternaknya, melalui ternak-ternaknya. Jika republik harus pecah-pun mereka juga tidak akan peduli lagi. Bahkan bisa-bisa itu adalah Plan B-nya. Kegilaan yang sudah sampai ubun-ubun. Keserakahan yang sudah tidak bisa diajak berdamai lagi.
Ada peristiwa penting dalam rentang waktu naiknya Andrew Jackson pada tahun 1829 sampai berakhirnya Era Progresif di tahun 1920-an di AS sana doeloe, Perang Saudara, 1861-1865. Jika dihitung dari naiknya Andrew Jackson jadi presiden sampai pecahnya Perang Saudara, rentang waktunya 32 tahun.
Seperti sudah disinggung di atas, kritik terhadap spoils system ini mulai muncul di tahun 1860-an, dan sangat mungkin setelah Perang Saudara berakhir. Secara garis besar, Perang Saudara itu adalah antara yang masih mendukung perbudakan vs yang menolak perbudakan. Apakah Perang Saudara telah memberikan ‘shock hebat’ bagi warga AS saat itu sehingga menjadi lebih mungkin ‘menulis ulang’ terkait spoils system itu? Mungkin saja jika kita ingat tulisan Naomi Klein dalam The Shock Doctrine. Artinya prakondisi sosial kontra-spoils system memang perlahan mulai terbangun. Dengan kemenangan dari yang menolak perbudakan dalam Perang Saudara, prakondisi politik-pun mulai merekah bagi gerakan kontra-spoils system itu. Bukankah ‘alam pikir’ spoils system itu memang dekat-dekat dengan perbudakan? Lihat pengalaman di republik bertahun terakhir, yang ‘tersandera kasus’ atau yang sudah diberi kenikmatan luar biasa itu akhirnya diperlakukan layaknya sebagai budak saja. Harus siap setiap saat jika sik-tuan, sik-‘patron’ ingin ini atau itu. Apapun itu. Disuruh asal mangap, asal njeplak, asal ancam, asal tantang-pun akan dijalani. Maka jangan heran jika kemudian sik-tuan perlahan merasa diri seakan sebagai raja. Tak heran pula jika para penjilat-bayarannya itupun kemudian mengusungnya sebagai ‘nabi’. Kegilaan yang semakin nampak republik akan membayar mahal terhadap ugal-ugalan ini.
Puncak dari prakondisi sosial dan prakondisi politis di atas adalah lahirnya Pendleton Act itu. Dan untuk membangun prakondisi teknis, seperti sudah disinggung di atas perlu waktu lama, bahkan setelah Era Progresif itu berakhir di tahun 1920-an masih saja belum selesai bagaimana ‘hal-hal teknis’ sistem meritokrasi itu akan dijalankan.
Maka bisa dibayangkan bagaimana perjalanan AS jika Pendleton Act tidak pernah ada. Atau, terlambat jauh adanya. Bayangkan jika rakyat AS pada waktu itu tidak menemukan solusi terhadap kerusakan bermacam lembaga negara yang dimulai oleh presiden AS ke-7 itu? *** (20-08-2025)
1749. Tentang Pertumbuhan 5,12 %

