1721. Serakah Itu Baik (?) (1)
24-07-2025
Prolog. (Gordon Gekko, Wallstreet (Film) -1987)
[Gordon Gekko]: Well, ladies and gentlemen, we’re not here to indulge in fantasy, but in political and economic reality. America has become a second-rate power. Its trade deficit and its fiscal deficit are at nightmare proportions.
Now in the days of the free market, when our country was a top industrial power, there was accountability to the stockholder. The Carnegies, the Mellons, the men that built this great industrial empire made sure of it because it was their money at stake. Today, management has no stake in the company. All together these man sitting up here own less than 3% of the company. And where did Mr. Cromwell put his million dollar salary? Not in Teldar-Scott, he owns less than 1%. You own the company, that’s right, you the stockholders and you are all being royally screwed over by these bureaucrats, with their state lunches, their hunting and fishing trips, their corporate jets and golden parachutes.
[Mr. Crowmwell]: This is an outrage, you’re out of line, Gekko.
[Gordon Gekko]: Teldar Paper, Mr. Cromwell. Teldar Paper has 33 different vice president, each earning over $200,000 a year. Now, I have spent the last two months analyzing what all these guys do, and I still can’t figure it out. [Laughs]
One thing I do know is that our paper company lost a $110 million last year. And I’ll bet that half of that was spent in all the paperwork going back and forth between all these vice presidents [Laughs]
The new law of evolution in corporate America seems to be survival of the un-fittest. Well in my book you either do it right, or you get eliminated. In the last seven deals that I’ve been involved with, there were 2.5 million stockholders who have made a pre-tax profit of $12 billion. [APPLAUSE]
Thank you. [APPLAUSE]
I am not a destroyer of companies. I am a liberator of them!
The point is, ladies and the gentlemen, that greed, for lack of a better word, is good. Greed is rights, greed works. Greed clarifies, cuts through and captures the essence of the evolutionary spirit. Greed in all of its forms. Greed for life, money, knowledge, has marked the upward surge of mankind, and greed -you mark my words - will not only save Teldar Paper, but that other malfunctioning corporation called the U.S.A. Thank you very much. *** (24-07-2025)
1722. Serakah Itu Baik (?) (2)
25-07-2025
Di periode pertama ketika wakil presidennya Jusuf Kalla, Jokowi juga pernah menyinggung soal keserakahan. Nampaknya yang dimaksud adalah keserakahan di kanan kirinya. Tetapi mengapa Rizal Ramli segera saja diganti ketika istilah peng-peng: ‘pengusaha-penguasa’, semakin naik ke permukaan? Kemudian setelah itu Sudirman Said, Ignatius Jonan, Susi Pujiastuti, Tom Lembong, hilang satu per satu. Seakan menggambarkan ‘jaman old mini’, yang di bagian pertama peran kaum teknokrat masih kuat, setelah itu perlahan tapi pasti keserakahan-lah yang kemudian memimpin. Setelah rentang waktu nama-nama di atas -paling tidak, ‘menghilang’ maka dengan telanjang kita bisa melihat bagaimana keserakahan yang maju paling depan. Sampai sekarang.
Salah satu ‘peta keserakahan’ yang bisa kita pakai adalah ‘Alegori Kereta’-nya Platon. Kereta jaman Yunani Kuno itu ditarik dua ekor kuda, kudah putih dan kuda hitam. Dengan seorang sais di badan kereta, dan ada juga sayap di kanan-kiri kereta. Dari Platon, sais menggambarkan nalar, atau bagian kepala. Kuda putih, menggambarkan kehormatan atau bagian dada. Kuda hitam menggambarkan segala hasrat perut ke bawah, hasrat akan makan, seks, dan terutama: uang. Kuda putih cenderung mau mendengar perintah atau bisikan dari sais, sedang kuda hitam cenderung semau-maunya. Dan tenaganyapun sangat kuat, meledak-ledak. Selain semau-maunya, kuda hitam juga cenderung ‘meluncur ke bawah’, dan kurang mau mendengar sais. Cenderung tuli. Padahal kereta semestinya selalu diarahkan ‘ke atas’, mendekati ‘kebaikan para dewa’. Tetapi mengapa Platon tidak membuang saja ‘kuda hitam’ itu? Meski keserakahan bisa saja menghinggapi baik sais, kuda putih, maupun kuda hitam?
“Teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi bintang, tetapi teori tentang manusia bisa mengubahnya secara eksistensial,” demikian pernah dikatakan oleh Abraham J. Heschel dalam Who Is Man? (1965). Dan berapa nyawa melayang akibat ‘ide-ide yang dibangun berdasarkan nalar’ manusia? Atau kebanggaan, ultra-nasionalis misalnya. Atau keserakahan manusia akan uang? Dari Marx kita bisa belajar bagaimana sebaiknya kita memberikan perhatian lebih, yaitu pada bagaimana ‘kekayaan itu diproduksi’. Melalui bermacam modus produksinya, dari waktu ke waktu. Apa yang disebut ‘nalar’ misalnya, atau sekitar-sekitarnya, bahkan juga soal rasa-merasa terkait dengan kebanggaan, akan banyak dipengaruhi oleh bagaimana ‘kekayaan’ itu diproduksi. Apakah ini kemudian berarti bahwa dinamika sais sebenarnya adalah ‘cerminan’ saja dari bagaimana ‘kekayaan’ itu diproduksi?
Ada banyak ‘versi’ bagaimana pemikiran Marx ini dipraktekkan di abad-20, dan itu banyak memberikan pelajaran. Termasuk bermacam ‘penyesuaian-pihak-lawan’ terkait dengan pemikiran Marx ini. Ada yang mengatakan bahwa ‘pemilik’ masa lalu sebenarnya adalah masa depan. Artinya, bagaimana masa lalu memberikan pelajarannya saat meniti masa depan. Salah satu pelajaran adalah, jika memakai pendapat Abraham J. Heschel di atas, ‘teori tentang manusia’ semestinya tidak melupakan juga bermacam ‘biaya-biaya’-nya, terutama biaya ‘sosial maupun kemanusiaan’. Dan juga terkait dengan apa yang dihadapi manusia bertahun terakhir: ‘biaya ekosistem’. Dinamika abad-19 dan terlebih abad-20 mestinya telah memperkaya horison kita tentang hidup bersama di planet ini.
Hari-hari ini ada istilah baru, serakahnomic, apa itu? Tetapi apapun mau ditambahkan di depan ‘nomic’, itu menjadi mungkin karena ada istilah ekonomi. Dan itu sebenarnya berarti oikos-nomos, oikos = keluarga. Keluarga dalam pengertian Yunani Kuno dalam hal ini: polis. Sejak jaman Aristoteles-pun sudah ada ‘yang lain’ di luar oikos-nomos, chrematistics: oikos-nomos ditinggalkan, ‘bicara uang’ hanya soal (akumulasi) uang itu sendiri. Segala ‘bablasan’ pun sebenarnya sudah berumur panjang, sepanjang manusia menjalani hidupnya. Maka jika kita bicara ranah negara, dari pada sibuk tudang-tuding kanan-kiri, pertanyaannya adalah apa yang akan anda perbuat terkait dengan oikos-nomos? Pelajaran sekitar sepuluh tahun lalu, demen tudang-tuding ada yang serakah ternyata rejim bertahun kemudian justru berkembang dengan begitu serakahnya, menjadi rejim serakah, mengubur telak oikos-nomos. Jangan sampai tudang-tuding jadi hobi, jadi kebiasaan. Kayak Trump saja, ketika isu Epstein files semakin menguat, Obama yang sedang liburan itu tiba-tiba saja dituding macam-macam. Kucluk. Déjà vu, cuk … *** (25-07-2025)
1723. Vs Empire
26-07-2025
Apakah yang ditulis Antonio Negri dan Michael Hardt, terutama dalam Empire (2000, Multitude, 2004 dan Commonwealth, 2009) bisa kita pelajari melalui dinamika ‘ijasah palsu’ di republik? Bagaimanapun juga isu ‘ijasah palsu’ itu adalah juga soal power. Bukan sekedar palsu atau tidaknya sebuah ijasah. Mengambil dari ‘rangkuman’ rentang waktu tertentu di jaman Yunani Kuno (Polybius, 200 SM - 118 SM, sejarawan) Negri dan Hardt mengintrodusir tentang ‘rejim campuran’. Campuran antara rejim monarki-aristokrasi-demokrasi. Bahkan di tingkat global.
Negri dan Hardt juga mengintrodusir istilah multitude, dan itu nampak misalnya pada yang mempermasalahkan ijasah sik-J, palsu atau tidak. Datang (selanjutnya) dari bermacam kelompok untuk melawan power ‘di atas’ tanpa masing-masing kehilangan ‘identitas’-nya. Dan seperti dikatakan Negri dan Hardt, jika ini mau berhasil maka harus siap dan mau membuka diri dengan ‘jaringan global’. Atau membangun ‘jaringan global’. Lihat misalnya, salah satu counter ‘gerakan’ ini. Bisa kita lihat semakin telanjang bagaimana ini ‘digiring’ menjadi bukan multitude, karena itu adalah ‘mono-identitas’. Katanya. Di balik ini adalah upaya menggencèt akal sehat dengan fanatisme. Ketika multitude adalah ‘multi-identitas’ maka fanatisme sebagai faksi akan dipinggirkan dan memberi jalan pada ‘akal sehat’. Adu domba-pun menjadi tidak mudah lagi. Multutide adalah ‘musik jazz’, (harus) siap dengan bermacam kreatifitas, sedang Empire kemana-mana yang ditawarkan adalah musik dengan partitur patennya: mono-identitas yang melanjut pada ‘dikotomi’, atau juga fanatisme.
Ketika ada kesepakatan dengan AS terkait dengan tariff yang (menjadi) 19% dan bla … bla … bla ..., itu bukanlah ada di ruang kosong. Atau ‘ruang baik hati’. Dan tidak juga sekedar ada di dalam ‘perangkap Thucydides’, tetapi sangat mungkin juga ada dalam logika Empire di atas. Jika ingin (tetap) sebagai kelas aristokrat, apa yang kamu ‘persembahkan’? Panas dinginnya tariff atau perang dagang itu bukan lagi semata soal deficit (perdagangan), tetapi juga seperti dikatakan Carl Schmitt se-abad lalu: “Sovereign is he who decides on the exception.” Maka di balik kesepakatan tariff, sekali lagi apa yang dipersembahkan pada sik-sovereign? Untuk (tetap) sebagai kelas aristokrat (global)? Apa yang diberikan Jair Bolsonaro pada Trump dan gerombolannya itu sehingga ia dibela mati-matian oleh Trump?
Sebagai catatan, ‘pendukung utama’ dari monarki dalam hal ini adalah kekuatan perangnya, hard-power. Maka jangan heran jika para aristokrat-nya itu banyak yang kemudian menikmati bagaimana ‘hilirisasi’ kekuatan kekerasan ini di masing-masing ‘perdikan’-nya. Tak jarang ini kemudian dihayati sebagai ‘negara-polisi’ dalam arti vulgarnya. Tak jauh-jauh amat dari jaman Hitler. *** (26-07-2025)
1724. Imagination Is More Important Than Knowledge?
27-07-2025
Judul adalah kutipan dari Einstein, di sekitar awal-awal abad-20. Apakah kemudian knowledge menjadi tidak berarti, atau kelasnya di bawah imajinasi? Dari beberapa sumber mungkin kita bisa membayangkan bagaimana peran knowledge dalam ‘memprovokasi’ berkembangnya imajinasi. Dan imajinasi-pun adalah imajinasi yang dimungkinkan untuk di periksa dalam eksperimen, kira-kira demikian maksud saintis Einstein, yang mungkin saja saat itu belum mungkin karena keterbatasan alat atau teknologinya. Mungkin untuk menggambarkan yang dimaksud bisa kita lihat dari Tabel Periodik (Elemen) Mendeleev, dari waktu ke waktu.
Imjajinasi yang abstrak itu dimungkinkan karena kita punya bahasa. Jika seorang melihat A mirip dengan B, A mirip dengan C, dan juga A mirip dengan D, berdasarkan pengetahuan masa lalu dan pengamatan-pengamatannya, maka ia kemudian mempunyai imajinasi bahwa A, B, C, D, itu adalah sama. Tidak hanya mirip, tetapi sama. Karena imajinasi bisa sangat liar maka ia perlu mengkomunikasikan imajinasinya dengan imajinasi-imajinasi lainnya. Atau imajinasi itu di cek ulang dengan realitas yang ada. Melalui bermacam caranya. Intinya adalah, imajinasi bagaimanapun harus terbuka untuk dilakukan cek-ricek. Tidak terus ‘mono-tafsir’. Bahkan imajinasi yang tidak bisa dicek melalui realitas atau bermacam eksperimen misalnya, itupun masih ada fungsinya dalam hidup bersama, utopia misalnya. Ia bisa berfungsi untuk ‘menegur’. ‘Menegur’ melalui bahasa. Bahasa yang terlibat dalam komunikasi ‘antar imajinasi’. Atau imajinasi yang sedang berusaha menerobos batas horison. Salah satunya karena bahasa itu sendiri mempunyai batas-batasnya. “Whereof one cannot speak, thereof one must be silent,” demikian kata Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus (1921).
Dalam Sang Penguasa Machiavelli bertanya kepada Sang Pangeran: “Anda sedang merebut kekuasaan atau menggunakan kekuasaan?” Merebut dan menggunakan/mempertahankan kekuasaan ternyata bisa berbeda. Contoh, Hitler merebut kekuasaan melalui jalan demokrasi, tetapi menggunakan/mempertahankan kekuasaan melalui jalan fasisme. Apakah Hitler begitu menghayati Nietzsche? Sedang memuja habis-habisan sang-Ubermensch? Siapa tidak mau menjadi ‘manusia unggul’? Bahkan jika itu sebatas imajinasi? Maka pada awalnya, fasisme mempunyai pintu masuk eksploitasi ‘bawah sadar’ yang digendong setiap individu. Yang semakin cepat ‘menular’ ketika mendapat momentumnya dalam kerumunan. Ada yang mesti diantisipasi bersama: sang-Ubermensch!
Dan ‘jembatan keledai’-nya ada dalam diri Hitler. Hitler sebagai ‘model’ yang akan ditiru oleh khalayak kebanyakan yang sudah tersihir itu. Menurut Girard, antara ‘subyek’ yang meniru ‘model’, perlahan akan tumbuh rivalitas. Maka demi ‘tertib tatanan’ diperlukan adanya ‘kambing hitam’ yang menjadi ‘musuh bersama’. Maka seiring dengan ‘eksploitasi bawah sadar’ itu, mulailah muncul rejim tudang-tuding. Tudang-tuding yang saat itu berujung pada peristiwa holocaust yang mengerikan itu. Tetapi kesadaran tidaklah urusan ‘masa kini’ yang sudah tereksploitir ‘bawah sadar’-nya dalam hal ini, atau segala kesibukan mengelola ‘kambing hitam’, yang keduanya secara implisit sebenarnya untuk ‘antisipasi’ masa depan yang bla … bla … bla … itu, tetapi juga berurusan dengan ‘masa lalu’. Masa lalu, endapan pengetahuan-ingatan masa lalu yang akan mengalami ‘retensi’-nya dan sekarang sedang sekaligus mengantisipasi ‘masa depan’. Maka demi ‘antisipasi’ tidak ‘meleset’ perlulah ‘masa lalu’ itu diotak-atik sehingga klop seperti yang diinginkan. Atau dalam kasus Hitler di atas, supaya nada 1, nada 2 (sekarang), dan nada 3-nya selalu dalam melodi ‘Ubermensch’. Maka jangan heran jika sejarah-pun akan ditulis ulang dalam kacamata Ubermensch itu.
Dan terkait dengan latar belakang ‘penulisan ulang sejarah’ di atas, biasanya itu akan terkait juga dengan terror. Jaman Hitler melalui ‘polisi-politik’-nya, SS. Apa yang ditulis Naomi Klein dalam The Shock Doctrine bisa membantu memahami hal tersebut. *** (27-07-2025)