1750. Daya Tahan dan Umpan Balik
21-08-20205
Apa yang terjadi ketika pancreas terganggu dalam menghasilkan insulin, apapun penyebabnya? Maka glukosa dalam darahpun akan beredar tetap tinggi, dan membayanglah penyakit diabetes mellitus, kencing manis. Gula darah tinggi seperti ketika habis makan misalnya, akan merangsang pancreas memproduksi insulin, yang akan digunakan membantu dirinya untuk masuk dalam sel-sel tubuh sehingga akhirnya gula yang beredar dalam darah itu menjadi berguna, bukan malah menjadi penyakit. Tubuh memang banyak sekali menghadirkan mekanisme umpan balik (feedback mechanism) seperti di atas sehingga menjadi terjaga ‘kesejahteraannya’. Bahkan rasa sakit -menginjak paku misalnya, beserta respon kitapun juga melibatkan mekanisme umpan balik. Tetapi ketika penyakit kencing manis itu menjadi tidak terkendali, bisa-bisa ujung kaki menjadi tidak peka, atau bahkan serasa mati rasa. Dan ketika menginjak paku, bisa tak merasakan sakit, dan santai-santai saja. Tahu-tahu terjadi infeksi. Dan pada penderita kencing manis kronis tak terkendali, infeksi seperti itu bisa melanjut pada berkembangnya gangrene, dan akhirnya mengancam jiwa. Untuk keputusan kaki diamputasipun prosedurnya menjadi tambah rumit.
Pada usia anak-anak juga akan terlibat intens dalam tumbuh-kembangnya terkait dengan mekanisme umpan balik ini. Puisi Dorothy Law Nolte (1924-2005), Children Learn What They Live (1954) menggambarkan dengan jelas. Dalam budi daya tanamanpun dikenal istilah hardening. Soal ‘umpan’ nutrisi sudah jelas apa yang akan ‘kembali’ dituai. Demikian juga soal kedaruratan iklim ini, mekanisme umpan balik yang selama ini bisa ‘terjaga’, alam nampaknya sedang memperlihatkan batas-batasnya. Tak jauh-jauh amat ketika pancreas menjadi terganggu dalam menghasilkan insulin seperti contoh di atas. Demokrasi pada dasarnya adalah ‘membangun daya tahan hidup bersama’ melalui mekanisme umpan balik. Dengan berkembangnya daya tahan maka diharapkan hidup bersama lebih dimungkinkan untuk dikembangkan. The Pendleton Act yang muncul tahun 1883 di AS sono (lihat tulisan nomor 1748) pada dasarnya adalah juga aksi membangun hidup bersama untuk lebih berdaya tahan. Apa jadinya ketika spoils system a la Andrew Jackson presiden AS ke-7 itu terus berjalan dan tiba-tiba saja menghadapi Depresi Besar 1929-1930?
Spoils system yang kemudian diganti dengan sistem meritokrasi melalui The Pendleton Act di tahun 1883 itu ternyata tidak hanya kemudian mengikis ketidak kompetenan, tidak hanya mengikis laku ugal-ugalannya korupsi, tidak hanya kemudian membangun nuansa integritas, tetapi sebenarnya juga bisa dilihat sebagai membangun daya tahan ketika menghadapi dunia yang semakin tidak bisa diprediksi. Termasuk juga peristiwa Depresi Besar 1930-an misalnya, dan bermacam krisis lainnya di kemudian hari. Dengan berbekal kompetensi dan integritas, maka dalam keseharian akan selalu terlatih ketika mekanisme umpan balik datang dalam bermacam bentuknya. Baik dalam menjelaskan perencanaan atau dalam ruang perdebatan. Baik ketika ‘umpan’ itu datang dalam bentuk kritik atau perkembangan situasi. Dengan kompetensi dan integritas yang dipunyai, ia akan mempunyai keberanian untuk mendengar, sebuah syarat mutlak dalam mekanisme umpan balik ranah demokrasi.
Maka tidak mau mendengar adalah salah satu sebab mengapa mekanisme umpan balik menjadi seakan tidak berfungsi. Hal lainnya adalah, megalomania. Bertahun terakhir berkembang di ranah negara republik sebuah ‘kebiasaan berbahaya’, sebuah ‘paradigma’: emang loe siapa? Dikritik untuk tidak melakukan ini malah diulang-menantang, seakan sedang bilang: “Emang loe siapa?”[1] Maka tidak mengherankan orang-orang yang kompeten dan mempunyai integritas kemudian disingkirkan karena akan ‘mengganggu kenikmatan’ yang diperoleh melalui modus ‘tidak mendengar’ dan kemegalomania-an itu. Mekanisme umpan balik menjadi ‘tidak berfungsi’ karena rusaknya ‘pankreas’ sehingga muncullah diabetes mellitus. Masih ugal-ugalan juga, maka diabeteus mellitus itupun berkembang lanjut-kronis dan mungkin saja kemudian muncul gangrene di kaki. Karena tertusuk paku berkarat-pun ia sudah tidak merasakan lagi. Infeksi yang sudah jadi parahpun masih ugal-ugalan, jadilah gangrene itu. Gangren yang tidak dikelola dengan baik, pasti akan mengancam jiwa.
Di atas disebut paradigma ‘emang loe siapa’ sebagai ‘kebiasaan berbahaya’. Mengapa bisa ‘berbahaya’? Bukan hanya akibat-akibatnya terkait dengan daya tahan, tetapi juga alasan mengapa itu menjadi begitu mudah bersekutu dengan ke-megalomania-an. You are what you eat, demikian ada ungkapan yang sedikit banyak juga menggambarkan mekanisme umpan balik. Bagaimana jika ‘yang dimakan’ berulang dan berulang adalah seperti dicontohkan atau diceritakan Machiavelli pada Sang Pangeran seperti di bawah ini?
Ketika sang pangeran telah menguasai Rogmana dan merasa perlu untuk menenangkan dan membuat Rogmana patuh kepada pemerintahannya, ia menunjuk Remirro de Orco, seorang yang kejam, cakap dan diberinya segala kepercayaan dan wewenang. Dalam waktu yang singkat, Remirro telah berhasil memulihkan tata tertib dan persatuan dan mendapatkan pujian besar.
Kemudian sang pangeran mengambil keputusan bahwa wewenang yang berlebihan ini tidak diperlukan lagi, karena bisa tumbuh dan tak dapat dikendalikan lagi. Karena itu ia mendirikan di tengah propinsi sebuah pengadilan sipil, yang dipimpin oleh seorang ketua yang sangat terkenal. Setiap kota mempunyai perwakilannya di pengadilan tersebut. Dengan menyadari bahwa kekejaman dari masa lalu telah banyak menimbulkan kebencian padanya, sang pangeran bertekad untuk membuktikan bahwa kekejaman yang ditimpakan, bukanlah merupakan tindakannya, tetapi dilakukan oleh sifat kejam para menterinya.
Cesare menunggu kesempatan baik ini. Kemudian, pada suatu pagi, tubuh Remirro ditemukan terpotong dua di lapangan Cesena bersama sepotong kayu dan sebilah pisau berdarah di samping tubuhnya.[2]
Akankah Mr. PS akan bernasib seperti Remirro de Orco dengan tubuh terpotong dua dengan di kanan-kirinya ada sepotong kayu dan sebilah pisau berdarah? Bahkan tubuhnya itu kemudian dipamerkan di tengah-tengah lapangan (untuk diolok-olok, bahkan sambil jogetan di depan tubuh yang tergeletak itu. Yang ‘lapangan’ itu sudah dipersiapkan oleh Y, F dibantu P dan G, dan lainnya. Ketika masih hiduppun sudah diolok-olok dijogetin saja setelah pidato berapi-api). Dengan tanpa beban, sambil pencingas-pecingis lagi. Setelah Mr. PS sudah mau membawa ‘sang-pangeran’ naik ke puncak kekuasaan? Meski sementara ini (masih) sebagai orang ke-dua? *** (21-08-2025)
[1] Malah nantangin, demikian akun @Gojekmilitan https://x.com/Gojekmilitan/status/1957998136808599640
[2] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit Gramedia, 1987, hlm. 29-30


1752. SD, SMP, SMA, dan PT
23-08-2025
Apa beda SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi? Tentu banyak. Atau, mengapa Perguruan Tinggi, termasuk Universitas misalnya, menjadi berbeda dengan SD, SMP, dan SMA? Juga TK dan PAUD? Banyak sekali. Perguruan Tinggi jelas salah satu tujuannya adalah mendidik calon ahli, apapun bidang studinya. Juga dalam berargumentasi, lulusan Perguruan Tinggi semestinya mampu membangun argumentasi yang mengarah pada ‘tak terbantahkan’, paling tidak dalam ilmu yang ditekuninya. Kan dia juga seorang ahli? Disebut ‘mengarah’ karena pasti akan ada lapangan adu argumentasi juga, maka lulusan Perguruan Tinggi dibekali juga melalui didikan bertahun itu untuk mampu terbuka dalam bermacam kemungkinan. Dengan hasil didikan selama empat-enam tahun itu diharapkan ia mampu membangun greget-nuansa ‘belajar seumur hidup’ dalam dirinya.
Hasrat untuk menjadi ahli, atau juga hasrat untuk menjadi mampu membangun argumentasi yang ‘tak terbantahkan’ atau paling tidak ‘sulit dibantah’, dan mempunyai sikap ‘terbuka’ terhadap bermacam kemungkinan di kemudian hari, sebenarnya tidak hanya soal pendidikan mata kuliah beserta segala tugas dan ujian-ujiannya, tetapi juga soal ‘meniru’. Mangunwijaya pernah menggambarkan bagaimana Politik Etis doeloe ternyata tidak hanya soal dinamika transfer ilmu, pendidikan ketrampilan, untuk menyediakan tenaga trampil dan terdidik bagi kepentingan penjajah, tetapi hadirnya guru-guru yang berkualitas, punya integritas, dan terbuka dari Barat itu ternyata mereka juga menjadi ‘model’ bagi sementara peserta didik. Diam-diam hadir pula ‘kurikulum tersembunyi’ dalam arti positif itu. Maka jajaran Universitas, dari Rektor, Dekan, Ketua Jurusan, dan terutama dosen-dosen yang langsung sehari-hari bersentuhan dengan dinamika keseharian mahasiswa, ia tidak hanya menjadi salah satu ‘sumber pengetahuan’, tetapi juga menjadi ‘model’ yang akan ditiru oleh mahasiswa. Rene Girard dalam ‘teori mimetic’ atau ‘teori segitiga hasrat’-nya akan membantu penghayatan akan proses ini.
Saat tulisan ini dibuat, satu unggahan di channel YouTube dengan judul UGM Menjawab terkait ijazah Jokowi sudah muncul selama 17 jam. Kemunculan yang serasa ‘tiba-tiba’, mendadak menjawab. Apakah ini terkait dengan ‘momentum’, saat publik nampak ‘shock’ terkait penangkapan OTT sik-wamen ketenagakerjaan Noel maka ada keinginan untuk ‘menulis ulang’ dalam kesadaran khalayak terkait isu ijazah palsu? Kata Naomi Klein dalam The Shock Doctrine, akibat shock yang sangat berat, kesadaran khalayak bisa-bisa menjadi seperti kanvas kosong. Dan saat itulah tangan-tangan kaum neolib melukis di atasnya, sesuai dengan ideologinya. Tetapi yang dicontohkan Klein adalah badai dahsyat Katrina yang menerjang dan menghancurkan New Orleans saat itu. Sedangkan penangkapan pejabat tinggi karena korupsi di republik bukan lagi sebuah ‘shock’ bagi publik, kaget saja. Atau karena sedang ada pemanggilan oleh kepolisian terkait dengan ijazah palsu ini, hari-hari ini di Jakarta sana itu?
Tetapi apapun itu, katakanlah baru saja bangun tidur, tiba-tiba saja petinggi UGM punya ide: UGM Menjawab? Tetapi melihat ‘jawaban-jawaban’ itu membuat kita prihatin.
Ketika dulu giliran masuk bagian Kedokteran Forensik, dosen yang juga jelas ahli forensic memberikan contoh di kamar mayat bagaimana membangun argumentasi, komplit dengan bukti-bukti ‘tak terbantahkan’. Dengan otopsi luar dan dalam, misalnya. Juga hasil tes-tes laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya. Komplit, dan siap diadu argumentasi dengan ahli-ahli lainnya, dengan sekaligus terbuka terhadap kemungkinan lain ketika ada pemeriksaan yang lebih canggih dalam dukungan alatnya, misalnya. Terbuka untuk dites ulang. Maka, melihat dan mendengar apa-apa yang disampaikan oleh petinggi UGM itu, timbul pertanyaan yang mengusik sebagai pembayar pajak, yang mana pajak-pajak dari kita salah satunya ya mengalir ke UGM itu, pertanyaannya, lalu apa beda petinggi UGM dengan petinggi SMA, SMP, atau SD? Bahkan TK dan PAUD? Prihatin berat …, boleh kan? Toh kita juga sudah bayar pajak. Bermacam pajak. *** (23-08-2025)