1785. Beban Berat Pembukaan UUD 1945

25-09-2025

Kalau ada pengelola republik bilang bahwa ia ‘tanpa beban’ dalam mengelola negara maka itu menunjukkan bahwa ia tidak paham republik yang dikelolanya. Ia sama sekali tidak paham bahwa dalam Pembukaan UUD 1945 itu ada beban sungguh berat di pundak para pengelola negara. Kalimat pertama saja sungguh sebuah tantangan besar: melawan penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Penjajahan di atas dunia harus dihapus.

Penjajahan di atas dunia itu mempunyai beberapa dimensinya, dimensi ‘dalam negeri’ dan ‘luar negeri’. Dimensi ‘dalam negeri’ tidak hanya bebasnya republik dari penjajahan ‘dari luar’ tetapi juga dihapuskannya penjajahan terhadap sesama anak bangsa oleh bangsa sendiri. Banyak contoh dalam hal ini. Dimensi ‘luar negeri’ adalah sikap politik menolak penjajahan yang dialami bangsa lain. Bahkan jika itu dilakukan republik terhadap bangsa lain, misalnya terkait Timor Timur di jaman old. Semestinya itu juga melanggar semangat Pembukaan UUD 1945.

Dan sejarah menunjukkan bahwa melawan penjajahan itu selalu ada resikonya. Dimanapun, karena yang dilawan adalah juga segala kenikmatan tanpa batas. Yang dilawan adalah orang-orang atau pihak-pihak penikmat kenikmatan tanpa batas itu, dan tentu tidak mau segala kenikmatan itu berhenti begitu saja. Apapun bentuk kenikmatan itu. Terutama memang kenikmatan akan uang, dan juga tentu kenikmatan akan kuasa. Itulah mengapa bahkan penjajahan atas sesama bangsa sendiri menjadi juga tidak mudah dihapus di atas dunia. Di atas ibu pertiwi. Karena sekali lagi, apapun akan dijalani, akan dilakukan demi langgengnya kenikmatan. Kenikmatan dalam menguasai kekayaan alam, misalnya. Atau lainnya.

Dalam salah satu unggahan di YouTube,[1] Anthony Budiman menggambarkan bagaimana saat harga batu bara di pasar dunia naik, justru harga pertalite naik, pajak naik, dan seterusnya yang mencekik-cekik khalayak kebanyakan itu, pada jaman presidennya sik-J. Nampaknya ini tidak hanya soal keserakahan tanpa batas, atau kemaruk yang gila-gilaan, tetapi adalah juga soal pengendalian ‘massa’, dengan terus ‘dicekik’ dan ‘dicekik’. Juga terus saja ‘ditantang-tantang’[2] seakan khalayak kebanyakan itu adalah entitas tak berdaya. Atau dibuat tidak berdaya. Semua adalah demi segala kenikmatan tanpa batas itu. Belum lagi pengerahan aparat bersenjata untuk menekan warga sekitar pertambangan, misalnya. Atau yang berhak atas tanah adat.

‘Watak’ penjajah(an)’ ini bisa juga dibaca ‘lain’ dari beberapa hal di atas, kenikmatan yang diperoleh dari terkonsentrasinya modal. Lenin mengatakan bahwa imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme. Dan jangan pernah dilupakan asal-usulnya: konsentrasi modal. Hal yang sebenarnya merupakan inti dari bukunya Thomas Piketty Capitalism in 21st Century (2013): ketimpangan ugal-ugalan yang bahkan dibayangkan tidak jauh berbeda saat kapitalisme liberal dominan di abad 18-19. Dan apa reaksi dari situasi tersebut lebih dari se-abad lalu? Pada abad-19 bagian awal di sana-sini muncul yang kemudian disebut sebagai sosialisme utopia. Apapun itu paling tidak ini mengindikasikan ada yang salah dalam situasi seperti itu. Tetapi ada ‘reaksi’ yang betul-betul mempunyai daya koreksi terhadap situasi tersebut, sosialisme-ilmiahnya Karl Marx dan gerakan-gerakan lanjutannya, dan munculnya nasionalisme di banyak negara terjajah pada abad-20.

Dengan masa lalu telah memberikan banyak pelajarannya, maka sebenarnya situasi sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan ‘nafas baru’ terhadap apa yang disebut si-Bung sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu. Nasionalisme yang jelas tidak berangasan, demokrasi yang tidak menjadi mudah dibajak oleh surveiRp dan buzzerRp, tetapi yang tanpa henti berpihak pada (kemanusiaan, keadilan) terhadap yang serba kecil-kecil. Atau kalau memakai kata-kata dalam Pembukaan UUD 1945, membebaskan ‘yang serba kecil-kecil’ itu dari situasi terjajah. Dan terlebih karena kita sudah masuk pada Abad Pengetahuan, maka ‘nafas baru’ dari sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi ini mestilah harus bersekutu dengan ‘kekuatan pengetahuan’. Dan apa ‘syarat mutlak’ untuk menjadi mampu bersekutu dengan ‘kekuatan pengetahuan’? Itulah yang sering kita sebut sebagai: etika. Dan tidak ada kata terlambat untuk melatih diri, berlatih dan berlatih dalam hal etika ini. Bahkan dalam diri kaum teknokrat sekalipun. Pengalaman paling tidak sepuluh tahun terakhir kita bisa melihat dengan telanjangnya bagaimana yang digadang-gadang sebagai kaum teknokrat itu telah kehilangan nuansa etisnya, dengan segala akibatnya. Maka jadilah ia sekedar kasir saja daripada seorang menteri keuangan, misalnya. *** (25-09-2025)

[1] https://www.youtube.com/watch?v=-D8YJgqyqD0

[2] https://pergerakankebangsaan.org/tulsn-142, No. 1782

1786. Beban (Paling) Berat Pembukaan UUD 1945

26-09-2025

Apa yang disebut si-Bung sebagai romantika, dinamika, dialektika (rodinda) bisa dibayangkan pula sebagai tesis, anti-tesis, sintesis. Romatika adalah ‘sintesis’ yang umurnya sebenarnya ‘sekejap’ saja karena ia dengan serta merta menjadi ‘tesis’, dan dengan serta merta pula akan dihadapkan pada dinamika realitas obyektif yang terus berkembang. Segera pula ia akan masuk dalam ‘mekanisme umpan balik’ yang paling minimal dalam pengertian ‘biologis’ dimana tubuh kita misalnya, penuh dengan feedback mechanism itu. Tetapi jelas dialektika lebih dari yang ‘minimal’ itu, karena manusia mempunyai kemampuan dalam berlogika bahkan bisa dibayangkan tak terbatas dalam potensinya. Bisa dikatakan, rodinda di atas tidak jauh-jauh amat dari apa yang disebut Tan Malaka sebagai madilog, materialisme-dialektika-logika.

Suka atau tidak, hidup memang perlu romantika itu, dalam arti apapun. Romantika akan bisa bertransformasi menjadi elan vital, energi hidup seperti pernah disinggung oleh Henry Bergson (1859-1941), yang mana ini akan mendorong berkembangnya sebuah creative evolution. Tetapi sebenarnya kita tidak bisa membayangkan munculnya creative evolution jika tidak ada tantangan, realitas obyektif di depan hidung. Maka jika mengikuti pendapat Arnold J. Toynbee (1889-1975), berkembangnya (evolusi) peradaban itu memang adalah soal tantangan dan respon. Respon yang merupakan juga sebuah creative evolution itu. Tetapi jangan sampai terjebak dalam romantika ini. Jaman old adalah pelajaran berharga bagaimana ‘jebakan’ romantika ini perlahan meminggirkan olah dinamika dan dialektika, yaitu romantika tinggal landas. Dan terus diganti dengan ‘logika garis lurus’, yang tiba-tiba saja term stabilitas perlahan (dalam praktek) menggantikan romantika tinggal landas. Karena ‘logika garis lurus’ itu seakan mensyaratkan ‘gangguan nol’ dalam menapak ‘jalan lurusnya’. Kaizen yang mampu mengantarkan Toyota menjadi terbesar di dunia adalah soal bagaimana rodinda diimplementasikan dalam manufaktur. Dimana romantika yang menampakkan diri dalam rantai produksi itu tetap memberikan peluang bagi proses dinamika dan dialektika melalui ruang perbaikan terus-menerus dalam proses produksinya. Yang bahkan itu tidak hanya monopoli dari ‘politbiro’ R&D misalnya, tetapi juga semua lapis atau jenjang produksi.

David Hume (1711-1776) seorang filsuf dari Skotlandia pernah menulis bahwa "reason is, and ought only to be, the slave of the passions and can never pretend to any other office than to serve and obey them". Passions, atau juga hasrat, emosi, dan juga bisa kita bayangkan dalam kesempatan ini, romantika, telah ‘diperhalus’ oleh Henry Bergson sebagai elan vital itu. Tetapi bisa juga -‘tanpa tèdèng aling-aling’, tanpa basa-basi, masuk dalam situasi ‘perbudakan’. Dan bagaimana jika romantikanya adalah soal uang? Atau soal kebesaran diri? Atau hasrat gelap lainnya? Dan di sinilah kita bisa membayangkan beban paling berat dari Pembukaan UUD 1945.

Jika hari-hari ini ada ‘plesetan’ Indonesia Emas menjadi Indonesia Cemas, itulah satu contoh dari dinamika dan dialektika. Romantika tentang Indonesia Emas itu kemudian dibentur-benturkan dengan realitas faktual dan potensial yang berkembang, dan ‘sintesisnya’ adalah ‘Indonesia cemas’ itu. Tentu kemudian akan ada pertanyaan selanjutnya, jadi what is to be done? Dan seterusnya. Atau di jaman old, tinggal landas menjadi lha ndas-mu. Tetapi bagaimana jika romantika-nya ‘diganti’ dengan uang dan segala kenikmatannya? Bukan lagi ‘penjajahan yang harus dihapus di atas dunia’? Bahkan karena itu kemudian bersekutu dengan penjajah demi uang dan segala kenikmatannya? Dan kemudian segala rasio-pun kemudian diperbudak demi akumulasi uang dan segala kenikmatannya? Bahkan tidak hanya diperbudak, tetapi di sana-sini ‘dimatikan’. Atau bayangkan ketika ada yang lantang bersuara keras menantang segala bentuk penjajahan di PBB misalnya, ada yang justru diam-diam bersekutu dengan pihak-pihak (luar-dalam) yang demen menjajah untuk minta bantuan menikamnya dari belakang! Lihat hari-hari ini persidangan mantan presiden Perancis Nicolas Zarkozy dimana figur Mohammad Khadafy ikut nongol juga. Apakah itu hanyalah teori konspirasi belaka? Tidaklah, nyatanya terbukti di pengadilan dan Zarkozy-pun diputus untuk masuk penjara. *** (26-09-2025)