1790. Watak Sabot dan Pecah Belah
02-10-2025
Sabot dalam judul adalah kata ringkas dari sabotase. Sabotase merupakan serapan bahasa asing, berasal dari kata sabot (Perancis): ‘sepatu kayu’, sehingga: berjalan dengan berisiknya. Keberisikan yang bisa-bisa sungguh mengganggu, menyabot ‘rantai ketenangan’. Maka sering memang sabotase itu berujung pada ‘keberisikan’, apapun itu bentuk luarnya. Atau bahkan sebaliknya, tiba-tiba saja senyap. Maka jangan heran jika sabotase bisa-bisa jadi mata kuliah wajib dalam kurikulum intelejen atau kontra-intelejen. Jika Alvin Toffler dalam Power Shift (1990) menyinggung soal ‘invisible party’: ‘partai birokrasi’ dalam hal ini, bisa dibayangkan jika ada partai sejenis sama-sama invisible-nya, par-in, ‘partai intelejen’. Menyusup dimana-mana, termasuk dalam partai politik, dan tugas utamanya bisa-bisa: sabotase. Tentu harus dikatakan di sini, ketrampilan sabotase bukanlah monopoli dunia intelijen.
Tetapi bukankah kemiskinan republik 50 tahun terakhir terutama adalah karena sabotase? Terlebih sabotase pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam …… dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”? Rute kekayaan alam yang semestinya menuju pada kemakmuran rakyat itu telah mengalami bermacam sabotase habis-habisan di tengah jalan. Bagai pipa gas bawah laut itu kemudian disabot sehingga bocor kemana-mana, terkait dengan gelapnya perang Ukraina itu. Atau semestinya konsumen mendapat bensin RON 98 atau 92 misalnya, tetapi ternyata sudah disabotase dengan oplosan. Demikian juga beras premium, dioplos juga. Atau triliunan bansos, di-embat juga, disabot juga. Bahkan Keputusan MK, atau ketika khalayakan kebanyakan ingin mendapatkan keadilan di ruang-ruang pengadilan. Atau pejabat korup semestinya masuk jalan pengadilan, disabot juga akhirnya menjadi ‘sandera kasus’. Juga harapan untuk melihat asli atau palsunya ijazah petinggi. Atau tentang masa lalu. Bahkan program MBG dan Koperasi Desa itu. Bahkan (hasil) pemilihanpun disabot mulai dari input, proses, dan outputnya. Maka memang ada yang wataknya tukang sabotase, atau katakanlah, spesialisnya memang sabotase. Hidup tahunya ya sabotase itu. Pecah belah atau adu domba adalah juga salah satu bentuk sabotase terhadap persatuan, atau apapun itu mau disebut.
Maka jika mau nakal, ada ‘logika garis lurus’ dan ‘logika dielektis’, tetapi ada juga ‘logika sabot’. Bukan ‘kebenaran’ yang dicari dalam ‘logika sabot’, tetapi sungguh hanya satu: kekuasaan dan kenikmatan. Atau ‘kemenangan’ dengan segala caranya. Maka ‘habitat’ yang bisa dibayangkan dalam ’logika sabot’ adalah imajinasi Hobbes soal state of nature. Tidak ada kesepakatan yang ada, jika ada kesepakatan-pun akan disabot juga jika perlu. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada kesepakatan di luar ‘kekuasaan dan kenikmatan’ yang sudah di tangan, emang loe siapa? Sabotase kemudian menjadi pilar utama untuk menjadi paling fit dalam lapangan survival of the fittest. Dan apa alat utama sabotase? Jika memakai pembedaan kekuatan menurut Toffler, terutama adalah kekuatan uang, dan kemudian kekerasan dan pengetahuan. Pengetahuan? Lihat misalnya jaman demen pembredelan itu, atau juga ulah buzzerRp, surveiRp. Distorsi, misinformasi, bahkan juga hoaks bisa dikatakan ada dalam ranah sabotase. Juga tentu ngibul, tipu-tipu yang sudah tanpa batas. Termasuk juga masa lalu-pun disabot pula. Hak atas informasi? Tidak ada dalam kamus ‘logika sabot’ mereka! Bahkan dunia pendidikan-pun kalau perlu disabot. Diacak-acak, diobok-obok. Kekuatan kekerasan bisa soft power, apalagi hard power. Soft power, terkait dengan hukum, misalnya.
Tak mengherankan dalam ‘logika sabot’ ini tidak akan mengenal apa itu kehormatan, atau komitmen. ‘Hal-hal baik’ akan disabot juga jika mengganggu ‘kekuasaan dan kenikmatan’. Common good? Sama sekali tidak dikenal terjemahannya. *** (02-10-2025)