1795. Republik vs Kerajaan Iblis

09-10-2025

Kerajaan iblis adalah semau-maunya. Sama sekali tidak mau mendengar ‘suara Tuhan’ yang menampakkan diri pada ‘suara rakyat’, vox populi vox dei. Bahkan vox populi-pun akan dibolak-balik, dijungkir-balikkan melalui surveiRp dari ‘survei-survei’ yang dilakukan oleh para anak-anak iblis. Ijazah meragukan atau tidak punya? Palsukan! Butuh tanah? Gusur paksa! Hasil pemilu? Curang habis-habisan! Dialog? Datang untuk lebih memaki! Argumentasi dangkal, yang kuat tudang-tudingnya. Janji kampanye? Diingkari habis-habisan, penuh dengan tipu-tipu! Ngibul-tipu-tipu yang sudah tak tahu batas. Data-data statistic diubah dengan semau-maunya, disesuaikan dengan selera. Aturan-perundang-undangan diubah semau-maunya. Pengadilan diatur-atur semau-maunya. Bahkan dijual sebagai asset perlindungan. Pendidikan diobok-obok, bahkan diolok-olok habis-habisan. Akal sehat? Dikubur dalam-dalam! Butuh uang? Korupsi, korupsi, korupsi! Jika perlu: jual kedaulatan! Kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat telah menjadi praktek standar. Juga perburuan rente gila-gilaan. Kebocoran anggaran tidak tanggung-tanggung lagi. Terhadap para pembayar pajak? Asal mangap, asal njeplak, bahkan asal ancam! Sama sekali tidak punya empati lagi. Bahkan pembayar pajak yang terhormat terus saja dicekik dengan bermacam pajak! Pamer-pamer kemewahan di depan publik sudah tanpa beban lagi. Jogat-joget tak tahu tempat lagi. Bahkan di tengah bencana-pun justru malah ‘main-solo’ demi citra diri. Ada bencana karena pandemi? Kesempatan korupsi besar-besaran! Badan usaha milik negara dibuat merugi! Tumpukan utang terus menggunung tanpa dirasakan hasilnya oleh khalayak kebanyakan. Bagian besarnya entah kemana. Suka lempar-lempar bingkisan pada khalayak dari mobil yang berjalan pelan, sambil pecingas-pecingis. Ditanya soal meninggalnya seratus lebih penonton saat nonton sepakbola, dijawab: nanti, lain kali. Juga sambil pecingas-pecingis. Belum ratusan petugas pemilihan yang meninggal, tidak ada pertanggung-jawaban yang kokoh terhadapnya. Yang pegang senjata-pun dirusak mentalnya habis-habisan. Menjadi enteng-enteng saja melawan-merepresi-menggusur-bahkan membunuh pembayar pajak yang membelikan senjata itu. Banyak cerdik-pandai justru kemudian terjerumus dalam ‘pengkhianatan kaum intelektual’. Karena iming-iming uang atau terjerat sandera kasus. BBM dioplos, beras premium dioplos. Judi on-line dibiarkan merebak tak terkendali. Subsidi dikemplang, bahkan juga bansos. Tambang illegal merebak tak terkendali. Belum illegal fishing. Juga hutan digunduli semena-mena. Keindahan alam yang sungguh anugerah semesta banyak yang rusak karena keserakahan tambang. Barang-barang selundupan dengan riang gembira masuk menggempur industry dalam negeri. Dibiarkan saja sambil pecingas-pecingis. Penjilat-penjilat berjaya, dan penjilatan-pun menjadi banal. Kehormatan menghilang entah kemana. Dan kemarin, sik-iblis-yunior sedang asyik coba-coba main ‘hatta-hatta’-an. Sok-sok-an, gegayaan, padahal kopong isi kepalanya. Tak jauh beda dari sik-iblis-senior yang suka main ‘raja-raja-an’ itu. *** (09-10-2025)

1796. "Negara Pembelajar"

11-10-2025

Menurut Harold J.Laski (1893-1950, Ketua Partai Buruh Inggris 1945-1946) dalam The State in Theory and Practice (1935), karakter sebuah negara hanya bisa dihayati melalui karakter pemerintahannya. Maka ‘negara pembelajar’-pun hanya bisa dihayati melalui perilaku pengelola negara. Tetapi apakah ada negara yang mendadak saja menjadi ‘negara pembelajar’? Atau bagaimana supaya ‘negara pembelajar’ itu semakin ‘terlembagakan’? Apakah pendapat Toynbee bahwa peradaban berkembang karena adanya tantangan dan respon itu bisa dipakai untuk membayangkan bagaimana ‘negara pembelajar’ bisa semakin terbentuk? Tetapi bagaimana jika sik-penguasa sudah mapan dan begitu menikmati kekuasaannya? Mungkin satu-satunya mata pelajaran pembelajaran yang serius ditekuni adalah soal mempertahankan kekuasaan saja. Tak peduli lagi apakah ada tantangan baru di luar mempertahankan kekuasaan yang bisa saja itu juga merupakan tantangan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Maka ‘negara pembelajar’ paling tidak perlu prakondisi politis, teknis, dan sosial. Kapitalisme liberal a la abad 18-19 telah membangkitkan reaksi yang paling tidak muncul dari ‘gerakan’ yang di kemudian hari sering disebut sebagai ‘sosialisme utopia’. ‘Prakondisi sosial’ perlahan mulai menggeliat. Tetapi belum menemukan ‘prakondisi teknis’ yang efektif dalam mendukung ‘perjuangan’: “tanpa teori revolusioner, tidak akan pernah ada gerakan revolusioner”. Ditegaskan lagi oleh Abraham J. Heschel dalam Who Is Man? (1965): “Teori tentang bintang tidak akan mengubah esensi tentang bintang, tetapi teori tentang manusia bisa mengubah manusia secara eksistensial.” Titik berangkat Marx pada dasarnya tidak jauh berbeda dari para pejuang ‘sosialisme utopia’: berangkat dari perspektif korban, dalam hal ini korban dari sik-pemilik kapital saat itu. Korban jelas adalah pihak yang kurang atau bahkan tidak berdaya. Atau dibuat tidak berdaya. Atau kalau dalam istilah si-Bung, yang serba kecil-kecil. Jika itu ‘ditempatkan’ setelah Revolusi Perancis (1789-1799), itu semua ada di sebelah kiri. Jadi salah besar jika ‘yang kiri’ itu isinya hanya komunisme saja.

Dari hal-hal di atas paling tidak bisa mulai dibayangkan bahwa ‘prakondisi politis’ di ranah negara bukanlah soal ‘maksud baik’. Pengalaman ‘fatal’ bertahun terakhir ketika propaganda ‘orang baik’ begitu masifnya, ternyata justru menjerumuskan republik habis-habisan. Faktanya malah jadi rusak-rusakan. Karena bagaimanapun juga ia -kekuasaan, begitu dipengaruhi oleh hasrat menumpuk, hasrat untuk akumulasi. Terutama akumulasi kekayaan, dan juga akumulasi kekuasaan, kenikmatan, segala ke-megalo-mania-an. Mengandalkan ‘maksud baik’ dalam arti mampu mengendalikan hasrat secara sendiri-mandiri menjadi terlalu riskan bagi hidup bersama. Ia mesti ‘dipaksa’ masuk ranah ‘hasrat vs hasrat’ (‘agere contra’), atau tegasnya harus ada control. Harus ada yang menjadi ‘lawannya’ sehingga tidak menjadi ugal-ugalan. Harus ada yang berperan sebagai ‘devil’s advocate’ sehingga tidak ada yang merasa sebagai satu-satunya sik-‘advocatus dei’. Adanya ‘lawan’ itulah yang akan menjadi ‘prakondisi politis’ untuk terbangunnya ‘lembaga negara pembelajar’.

Bertahun terakhir khalayak kebanyakan menjadi saksi betapa telanjang hancurnya ‘negara pembelajar’. Tidak hanya justru menjadi aktif-agresif menyingkirkan ‘lawan’ tetapi sekaligus juga menutup telinga, mbudeg, terhadap bermacam kritik masukan: sebuah ‘amuk elit’ dalam membunuh ‘negara pembelajar’.[1] Bukan ‘negara pembelajar’ yang terbangun tetapi justru ‘negara toksik’, bahkan tidak hanya toksik dalam pengelolaan negara, tetapi juga aktif-agresif dalam menyebarkan ‘toxic culture’ terutama melalui tangan-tangan pihak-pihak yang ‘tersandera kasus’ atau ‘tersihir-termakan’ nikmatnya uang. Ya, ada dalam bagian sadar bahwa ‘mereka-mereka’ memang dengan sengaja merusak peradaban dengan menebar bermacam ‘toxic culture’ itu. Mengapa ini semua dilakukan? Penguasaan! Penguasaan terhadap alam semesta, dalam hal ini republik dengan segala isinya, dan juga tentu: manusia-manusianya.

Krisis modernitas gelombang ketiga menurut Leo Strauss adalah fasisme. Dan fasisme dalam hal ini adalah hasrat tidak terbendung lagi untuk menguasai manusia lain dan alam semesta. Penguasaan atas manusia dan alam semesta. Se-abad lalu, fasisme seperti ini akhirnya mendorong pecahnya Perang Dunia II, dengan segala akibat mengerikan.

Maka kita harus hati-hati dengan banyak ditampilkannya ‘model-model’ yang jauh dari keberpikiran dan lebih menampilkan diri sebagai ‘yang berangasan’. Bukan soal ‘sok-pintar’ atau sekitar-sekitarnya, bukan juga ‘sok-intelek’ atau sekitar-sekitarnya, tetapi dengan terbunuhnya akal sehat maka fasisme akan mempunyai kesempatan lebih untuk berkembang. Termasuk juga ketika ‘negara pembelajar’ itu semakin sekarat. Banality of evil yang disebut Hannah Arendt itu mempunyai ‘syarat mutlaknya’: ketidak-berpikiran.[2] *** (11-10-2025)

[1] Hari-hari ini, terkait dengan pelaksanaan program MBG dan Kopdes itu bisa menjadi salah dua ‘patok duga’ apakah ‘negara pembelajar’ sudah mulai menampakkan diri atau sama saja, business as usual.

[2] Ketidak-berpikran yang dalam banyak hal adalah juga soal etika. Etika yang akan selalu lekat dengan hal timbang-menimbang itu. Termasuk tidak mbudeg, mau mendengar, sebagai bagian dari hal timbang-menimbang.

1797. Keadaban Kampus?

15-10-2025

Dari mana ‘hati nurani bangsa’ akan keluar mengusik atau mendorong sebuah kegelisahan? Apakah salah satunya itu bisa diharapkan berasal dari kehidupan kampus? Kehidupan Perguruan Tinggi? Bagaimanapun juga dinamika kampus semestinya akan menyediakan dan atau mengembangkan hal timbang-menimbang, yang itu akan sangat berguna ketika hati nurani bertemu dengan bermacam realitas berkembang. Ketika hati nurani perlahan ‘merubah diri’ menjadi ‘suara hati nurani’, dan diuji untuk menjawab bermacam realitas yang terus berkembang. Ada sebuah nama yang bagus bisa sebagai contoh: “Suara Ibu Peduli”. Suara Ibu Peduli lahir di sekitar menjelang runtuhnya Orde Baru, tahun 1997-an. Bisa dibayangkan bahwa ‘suara ibu’ itu didorong oleh ‘hati nurani’ yang mendesak untuk ‘disuarakan’, atau yang telah ‘merubah diri’ menjadi ‘suara hati nurani’ karena (juga) ‘peduli’ terhadap situasi yang berkembang. Penampakan isu pertama-tamanya adalah soal harga susu yang melambung tinggi saat itu, meski jelas pemahaman bahwa perlunya Pak Harto turun saat itu pastilah sudah ada dalam penghayatan. Gerakan itu dimulai dari pertemuan-pertemuan intensif dalam ruang-ruang Jurnal Perempuan (lahir sejak 1995) saat itu. Bagaimana jika dinamika dalam Jurnal Perempuan itu kemudian kita bayangkan terjadi juga dalam dinamika Perguruan Tinggi?

Tulisan ini didorong oleh unggahan Refly Harun: https://www.youtube.com/watch?v=u1EwFM3YK20, terutama menit ke 42.30 – 43.30, dimana pada rentang waktu itu ‘romo di Amerika’ dalam wawancara tersebut mengatakan bahwa disertasi Wawan Mas’udi (sekarang dekan Fisipol UGM) yang berjudul The Rise of Joko Widodo in Solo doeloe itu sama sekali tidak menyebut bahwa Joko Widodo itu adalah alumnus UGM. Jika memang Joko Widodo adalah alumnus UGM, maka tidak disebutkannya kealumnusannya di UGM itu adalah sebuah cacat besar dalam sebuah disertasi yang bicara soal sosok. Sebab bagaimanapun aktifitas -terutama ‘ekstra-kurikuler’-nya, selama studi di Perguruan Tinggi itu bisa-bisa akan sangat mewarnai ‘pandangan hidup’ selanjutnya. Tetapi faktanya, disertasi itu tidak menyinggung sama sekali bahwa Joko Widodo adalah alumni UGM, demikian menurut sik-romo yang mantan aktivis PRD itu. Apalagi segala pernak-pernik selama menjalani rentang waktu perkuliahan tersebut. Mana yang benar? Saya mengambil posisi untuk percaya pada disertasi tersebut, dan dari situ sangat beralasan jika kemudian berpendapat bahwa ijazah S1 Kehutanan UGM dari Joko Widodo itu memang 99,99% palsu, seperti dikatakan oleh trio Rismon, Roy, dan Tifa selama berbulan-bulan itu.

Jika memang palsu, apa memang begitu berharganya selembar ijazah? Kita bisa berdebat lama tentang ini, masalahnya adalah bagaimana jika pemimpin mempunyai ijazah palsu? Dimana pemimpin itu bisa menggerakkan tentara dan polisi? Jika ia mampu menetapkan mana yang bisa jadi Proyek Strategis Nasional dan tidak? Yang mempunyai kemampuan untuk menetapkan berapa utang tahun ini, dan tahun depan? Dan banyak lagi, termasuk memilih rektor PTN dan para menterinya. Dan juga apa ‘dampak internal’ dalam dirinya ketika ia tahu begitu mudahnya republik dibohongi bahkan soal ijazah palsu? Atau kemudian kita bisa mengatakan sekarang ini sebagai pelajaran sangat sangat sangat berharga: kepakan ‘kecil’ kupu-kupu ijazah palsu ini ternyata telah membuat badai dahsyat yang menerjang memporak-porandakan republik. Badai korupsi, badai asal mangap, asal njeplak, asal ancam, badai kerusakan lingkungan karena dibabatnya hutan dan penggalian ugal-ugalan bermacam tambang, badai penggunaan kekerasan senjata oleh negara terhadap rakyatnya sendiri dengan tanpa beban lagi, badai yang menghancurkan lembaga pengadilan, hukum diacak-acak semau-maunya, badai yang juga semakin menghancurkan partai politik, badai sulap-sulap statistik, badai pencaplokan sewenang-wenang tanah adat, badai yang menerjang pemilu tranparan dan adil menjadi pemilu porak-poranda, badai pamer-pamer kemewahan para pejabat, badai jogat-joget yang sudah tak tahu tempat lagi, BBM dioplos, beras premium dioplos, dengan tanpa beban lagi, barang selundupan menghancurkan industri dalam negeri, dan masih banyaaak lagi badai-badai menerjang republik, termasuk dalam hal ini: hancurnya ‘keadaban kampus’. Dan semua karena ‘kepakan kecil’ ijazah palsu lebih dari 20 tahun lalu? Ya, mengapa tidak?!

Banyak pihak kemudian menjadi mau ‘pasang badan’ melindungi kepalsuan ijazah itu, dan tentu ini ada imbalannya. Imbalan yang sangat mungkin akan memicu bermacam badai di atas. Termasuk juga dengan tanpa beban ‘membunuh’ keadaban kampus yang dengan susah payah berpuluh tahun dibangun tanpa lelah oleh para pendahulu. Kemampuan diskursif kampus terus saja tidak hanya diobok-obok, tetapi juga diolok-olok. Bahkan hanya dengan ‘biaya’ tidak lebih dari 30 milyar rupiah, sebuah kampus negri ternama dan mempunyai sejarah panjang, seakan sudah menjadi ‘bernafas dalam lumpur (kehinaan)’. Sungguh rejim bertahun terakhir ini kejahatan paling jahat salah satunya adalah: menghancurkan dunia pendidikan republik. Selain juga hancurnya lembaga peradilan. Sangat jahat. Khas rejim iblis. Iblis yang akan tanpa lelah selalu berusaha membunuh ‘hati nurani’. Yang akan selalu berusaha membungkam ‘suara hati nurani’. Iblis yang pasti tidak akan pernah mengenal apa itu etika. *** (15-10-2025)

1798. Semakin Tersingkap

18-10-2025

Apa di balik Hari Kebangkitan Nasional? Kemampuan membuka selubung fakta lapis demi lapis! Fakta potensial manusia dalam menyingkap bermacam ‘selubung fakta’ perlahan semakin menampakkan diri sebagai fakta faktualnya. Dan disebut ‘bangkit’ karena itu mengalami percepatannya. Dengan ditemukannya telepon, radio dan masuknya bermacam barang cetak, juga film bioskop seakan telah menyediakan ‘habitat’ untuk percepatannya. Tak terbayangkan sebelumnya misalnya, penari-penari Kraton Jogja itu menari di Belanda dengan iringan gamelan yang ditabuh di Jogja, disiarkan langsung melalui radio. Kemampuan menyingkap yang sekaligus juga akan memajukan horizon. Dengan semakin ‘majunya’ horizon maka bermacam kemungkinanpun semakin banyak menampakkan diri.

Bagaimana seratus tahun kemudian setelah modus komunikasi mass-to-mass via jaringan digital internet merebak? Ketika modus komunikasi man-to-mass merebak melalui film, radio, barang cetak, dan memuncak pada televisi, pada awal abad kita bisa melihat bagaimana itu digunakan oleh Amerika atas perintah Woodrow Wilson, presiden AS ke-28 (1913-1921) untuk membuat propaganda sehingga keterlibatan AS dalam Perang Dunia I mendapat dukungan dari warganya. Propaganda yang dirancang dan dilaksanakan oleh Komite Creel (1917-1919) saat itu. Tak jauh beda ketika manusia masih ada dalam pusaran modus komunikasi man-to-man ditambah sudah masuknya era manuskrip: lahir kaum Sofis.

Maka apapun atau siapapun ada di belakang bermacam modus komunikasi di atas -man behind the gun, dengan segala akibatnya, tetap saja perkembangan modus komunikasi akan mampu mendorong bermacam percepatan ketersingkapan. ‘Kebenaran’ sebagai akibat tersingkapnya selubung fakta itu selalu saja akan mendapat momentumnya dengan perkembangan modus komunikasi. Demikian juga soal ‘ijazah palsu’ atau ‘surat keterangan kesetaraan abal-abal’ itu semakin tersingkap saja apa yang sebenarnya menjadi fakta-faktanya. Yang menarik tidak hanya ketersingkapannya dari waktu ke waktu, tetapi tak jauh dari proses ‘pemalsuannya’, respon dari para pembela ‘ijazah palsu’ ini semakin lama semakin menampakkan diri sebagai yang brutal saja. Ketika horizon semakin maju dengan didorong oleh penggunaan sains dan ‘ketersingkapan-diskursif’, respon justru seakan menampakkan diri sebagai ‘pokrol bambu’, atau sekali lagi: brutal.

Jika memakai pikiran Kang Eep Saefulloh Fatah dalam Tempo 28 September 2009,[1] yang tanpa lelah berusaha menyingkap kasus ‘ijazah palsu’ dan ‘surat keterangan kesetaraan abal-abal’ bisa dikatakan mereka sedang ‘merendra’. “Sebagai kata sifat, ”rendra” bermakna sebagai seseorang atau sekelompok orang yang punya keyakinan teguh akan kebenaran yang ia atau mereka perjuangkan serta pandai menjaganya lantaran menolak menjadi pecundang,” demikian tulis Kang Eep. Bahkan juga sedang ‘memunir’: “Kata ”munir” saya usulkan kepada khalayak pembaca untuk dimaknai sebagai ”seseorang atau sekelompok orang yang tak punya rasa takut karena yakin berada di jalan yang benar”.[2]

Apa yang sebenarnya dihadapi oleh Rendra dan Munir? Kebrutalan. Brutal adalah serapan bahasa asing, yang maknanya sebenarnya tak jauh-jauh amat dari barbar, banyak menunjuk pada laku yang berlawanan dengan peradaban. Bahkan kata brutal sendiri menggendong lekat nuansa kebinatangan. Dan sayangnya, perlahan bertahun terakhir kebrutalan dalam bermacam bentuknya itu seakan telah mengalami banalisasinya. Jika sekarang kita masuk Abad Pengetahuan misalnya, bertahun terakhir kita dengan telanjang melihat kebrutalan asal mangap, asal njeplak, asal ancam, bahkan kebrutalan otak-atik data statistik. Tipu-tipu, ngibul yang sudah tak tahu batas itu, adalah juga satu bentuk kebrutalan sendiri. Belum lagi otak-atik peraturan-perundangan semau-maunya, brutal. Dan ketersingkapan terakhir terkait ‘ijazah palsu’ dan ‘surat keterangan kesetaraan abal-abal’ berupa ‘pasal selundupan’ yang diterbitkan oleh KPU, adalah juga bentuk kebrutalan sendiri. Dan bagaimana brutalnya bermacam lembaga negara dalam menutupi kasus ‘ijazah palsu’ dan ‘surat keterangan kesetaraan abal-abal’ itu, juga sungguh brutal. Semau-maunya. Seakan republik ini sedang dikelola oleh segerombolan binatang saja. Semakin jauh dari hal timbang-menimbang. Sama sekali tidak punya lagi perspektif ‘keadaban publik’. Tak jauh-jauh amat dari perilaku penjajah yang penuh dengan nuansa kebinatangannya. Dan inilah yang sebenarnya sedang dilawan: “penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”(Pembukaan UUD 1945).

‘Dunianya kaum pemalsu ijazah palsu dan surat keterangan kesetaraan abal-abal’ itu adalah dunia kebrutalan -terbiasa berbuat brutal, dan itulah yang sebenarnya dihadapi republik hari-hari ini. Kebrutalan yang juga merenggut kebebasan Rendra, dan bahkan merenggut nyawa Munir. Maka sebaiknya kita mempersiapkan diri untuk situasi terburuk, ketika kebrutalan itu bisa saja tiba-tiba berubah menjadi darah dan nyawa melayang. Ketika segala potensi amok karena terpojok, karena semakin tersingkap, sudah dirasa di depan mata: ‘efek domino’ sudah mulai dirasakan. Karena selama bertahun-tahun tahunya hanyalah jalan brutal, jalan semau-maunya, bahkan sukanya nantang-nantang -emang loe siapa? Maka yang terburuk bisa segera saja membayang: perang, dalam arti vulgar tanpa basa-basi lagi: saling bunuh. Membunuh atau dibunuh. Jauh lebih mengerikan dari kejadian Nepal atau sejenisnya. Binatang-binatang itu sudah tidak peduli lagi apa yang sedang dipertaruhkan kecuali kepentingan diri dan komplotan-gerombolannya. Jika untuk menyelamatkan diri itu harus mengorbankan kedaulatan republik, mereka akan enteng-enteng saja untuk melakukannya. Tanpa beban lagi. *** (17-10-2025)

[1] https://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/09/28/rendra-merendra-munir-memunir/

[2] Ibid

1799. Abad Pengetahuan, Brain Rot, dan Universitas

21-10-2025

Menurut Alvin Toffler, Abad-21 adalah Abad Pengetahuan. Dengan berkembangnya Revolusi Informasi, terjadi powershift: kekuatan pengetahuan akan bergeser menjadi ujung tombak. Berada di depan kekuatan uang dan kekuatan kekerasan. Tetapi ironi (kembali) muncul di Abad Pengetahuan ini, kata ‘brain rot’ dibaptis menjadi ‘word of the year 2024’ oleh Oxford University Press.[1]Brian rot’ atau ‘pembusukan otak’ banyak ditengarai lebih diprovokasi oleh merebaknya sosial media. Mungkinkah ini yang juga menjadi alasan utama dilarangnya sosial media pada anak-anak di beberapa negara? Atau dimasukkannya segala smart-phone di kotak khusus selama proses belajar di sekolah? Katakanlah, otak generasi mendatang itu janganlah layu dan busuk sebelum berkembang. Mungkinkah langkah ini akan berhasil untuk mencegah ‘pembusukan otak’ di kemudian hari? Tidak mudah menjawab ini sebab apa yang dinamakan kemajuan tekhnologi itu bisa-bisa tidak bisa diprediksi lagi. Terlebih jika hasrat profit sebagai dorongan utamanya.

Judul disinggung soal ‘universitas’ atau perguruan tinggi, adalah kita bisa bayangkan ada klaster yang sangat bisa diharapkan mampu ‘melawan’ pembusukan otak ini. Tidak di ‘klaster’ anak-anak yang dijauhkan dari sosial media misalnya, tetapi lebih dengan membangun ‘daya tahan’ otak terhadap segala ancaman atau virus pembusukannya melalui pengenalan dan latihan. Mungkin bukan hanya soal artificial intelligence yang penting untuk dipelajari, tetapi juga bagaimana otak manusia itu bekerja. Jika di Perguruan Tinggi di Indonesia ada mata kuliah wajib, misalnya ada MK Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia, maka nampaknya perlu ditambahkan dengan hal-hal terkait dengan otak manusia, bagaimana bekerjanya dan sebagainya. Tujuannya? Mampu mengindentifikasi bermacam ancaman pembusukan di kemudian hari. Mengenal dan mampu merawat apa yang menjadi asset utama dalam menghadapi Abad Pengetahuan ini: otak manusia. Lihat betapa pentingnya pengetahuan mengenai tumbuh-kembang otak, soal golden periode-nya, soal mirror neuron system, soal nutrisinya, soal stimulasi, dan juga mengapa sosial media bisa memprovokasi ‘pembusukan otak’, dan banyak lagi. Kata cerdik pandai, kenalilah diri sendiri maka separuh pertempuran akan ada di tangan. Kalau di Posyandu sudah sejak doeloe para kadernya diberi masukan tentang tumbuh kembang anak misalnya, mengapa yang sudah duduk di Perguruan Tinggi itu -semua saja, tidak diberi pengetahuan tentang ‘otak manusia’ dalam kedalaman dan keluasan tertentunya?

Tetapi lebih dari itu, universitas atau perguruan tinggi disinggung di sini jelas lebih dari sekedar pentingnya mata kuliah (dasar) tentang otak manusia, tetapi adalah keseluruhan dinamikanya. Keseluruhan dinamika dalam klaster atau ranah atau arena pendidikan tingginya. Atau kalau memakai kata-kata si-Bung, bagaimana romantika-dinamika-dialektika ‘klaster’ pendidikan tinggi itu menjadi mampu salah satunya melawan ‘pembusukan otak’ ini. Tentu banyak ‘klaster’ lain yang mempunyai potensi melawan ‘pembusukan otak’ ini. Lihat bagaimana dinamika klsater seperti dinampakkan oleh Dandhy Laksono dkk, ‘klaster’ belajar lapangan tanpa lelah. Atau klaster-klaster seperti Komunitas Bambu dengan segala penerbitan dan diskusinya, Utan Kayu, Salihara, kelompok-kelompok perempuan, mahasiswa, dunia jurnalisme, dan banyak lagi. Semestinya juga: partai politik.

Mata Kuliah tentang otak manusia seperti disinggung di atas, bagaimanapun itu hanya ‘romantika’ saja. Dinamika dan dialektika akan terus dilatih selama mengikuti perkuliahan, dan tentu diharapkan akan melanjut setelah lulus. Kita bisa membayangkan ‘praktek-tindakan melawan pembusukan otak’ itu -dalam perguruan tinggi dalam hal ini, akan dipengaruhi oleh capital, ranah, dan habitus. Capital tidak hanya berurusan dengan modal uang saja, tetapi juga modal sosial, simbolik atau kultural. Ranah? Atau klaster, atau juga arena dalam hal ini lekat dengan dinamika pendidikan tinggi itu sendiri, dan tentu ini tidak akan pernah lepas dengan bermacam tantangan yang berkembang, termasuk salah satunya di sini tengara soal ‘pembusukan otak’ itu. Habitus akan semakin terbentuk dengan langkah-langkah dialektis, sebenarnya. Jadi meski sedikit spekulasi, teori tindakan dari Pierre Bourdieu itu sebenarnya adalah juga sebuah tindakan yang akan dipengaruhi oleh romantika, dinamika, dialektika-nya si Bung.

Bagaimanapun kedudukan sebagai capital (terlebih: tertinggi) sedikit banyak akan memberikan ‘sihir mimesis’ pada yang lain dalam ranah tersebut. Atau dalam teorinya Rene Girard, ia akan menjadi ‘model’ sehingga yang lain akan ikut atau meniru menghasrati apa yang sedang dihasrati sik-model. Romantikapun sedikit banyak akan ada rute meniru ini. Tulisan ini didorong ketika melihat para pemegang capital tertinggi di sebuah universitas negeri ternama dan mempunyai sejarah panjang, mengacak-acak dinamika dan dialektika yang semestinya dibangun sehingga lebih mampu melawan ‘pembusukan otak’. Para petinggi universitas tersebut telah secara bersama-sama melacurkan diri, dan dengan kesadaran penuh telah memilih menjadi bangsat pengkhianat republik. Bahkan pintu masuknya tidak lebih dari masalah uang 30 milyar rupiah. Sungguh ndèk-ndèk’an sekali. Rendahan-murahan sekali. Hai, anda-anda memang bangsat laknat! Pengkhianat republik. Bajingan semua anda-anda itu! Bajingan yang semakin nampak hobinya pecingas-pecingis saja. Universitas yang anda kelola itu makan pajak rakyat, cuk …! Katanya ‘universitas rakyat’, ndas-mu-lah … Mengapa mesti berkata ‘kasar’? Bahkan berkata kasar sekalipun anda-anda akan tetap mbudeg, tidak mau dan mampu mendengar lagi. Sudah terbukti. Berkali-kali. Petinggi macam apa jika sudah hilang kemampuan ber-empati? Sudah tidak punya kehormatan lagi? *** (21-10-2025)

[1] https://corp.oup.com/news/brain-rot-named-oxford-word-of-the-year-2024/