1815. Perlu Dicermati

1816. Merawat Jiwa Republik

25-11-2025

Kadang ada analisa mengapa soal isu ijazah palsu menjadi berlarut-larut, karena pihak sik-J ingin mengambil keuntungan dari kegaduhan itu. Bak selebriti yang keranjingan membuat kontroversi, dan dengan itu ia terus dibicarakan. Hasilnya? Tetap ngetop, demikian paling tidak keyakinannya. Benarkah logika selebriti itu bisa bekerja juga di ranah politik? Tetapi apapun itu, jika ada politisi yang mengambil taktik seperti gaya selebriti itu, benar atau salah relative itu tidak tergantung kita. Selalu saja ada sontoloyo-sontoloyo itu tidaklah tergantung pada kita. Jika kita kemudian mengutuk gaya politisi seperti itupun bisa-bisa ia malah senang karena merasa tujuannya berhasil. Yang tergantung pada kita adalah respon terhadap kelakuan sontoloyo seperti itu. Paling tidak kita bisa berangkat bahwa memang sedang ada iblis yang mau merusak jiwa republik. Ujungnya? Penguasaan, jika bukan itu mau apa lagi?

Tetapi bagaimana mau ‘merawat jiwa’ jika sebagian besar hidup kita dijalani dengan taken for granted? Maka memang kadang perlu ‘berhenti’ sejenak, menunda atau memberikan ‘tanda kurung’ dan kemudian ‘melihat’ sebagai pemula jalan hidup yang sudah atau akan kita lalui. Atau di depan mata kita. Tidak mudah memang, maka untuk itu dalam ranah negara kita melahirkan partai politik, atau pengelola-pengelola negara, yang padanya diharapkan lebih mau dan mampu untuk ‘lebih sering’ keluar sejenak dari ke-taken for granted-an itu. Terutama terkait dengan hidup bersama.

Jika kita meminjam pemikiran Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan, taken for granted bisa dibayangkan dalam ‘tahap mitis’. Seakan kita ada dalam ‘lingkaran tertutup’ segala rutinitas keseharian kita. ‘Menunda’ atau memberi tanda kurung terhadap segala endapan masa lalu, konsep-konsep yang sudah ngendon dalam otak kita, atau segala bingkai-bingkai, adalah upaya ‘meretakkan lingkaran tertutup’. Atau paling tidak menjadi berjarak. Dengan berdiri sebagai ‘pemula’ kita mencoba menggali apa yang menjadi esensi dari yang sudah-sedang kita alami, atau apa yang sedang ada di depan mata kita. Tahapan ini disebut Van Peursen sebagai ‘tahap ontologis’. Dengan semakin mengenali apa yang menjadi esensi itu, maka perlahan kita bisa membangun cara berinteraksi (mungkin: baru) dengan diri atau hal-hal sekitar. Atau lainnya. Tidak hanya berhenti mengenal esensi, tetapi mau dan mampu bertindak kongkret dengan ‘cara-cara baru’ jika itu memang diperlukan. Tidak hanya berhenti mengambil jarak, tetapi juga mau dan mampu membangun relasi. Tahap ini disebut Van Peursen sebagai ‘tahap fungsionil’. Atau dalam pendapat Van Peursen dalam Phenomenology and Reality, bisa saja ini dibaca terkait dengan horizon. Katakanlah: ‘memajukan horizon’, yang berarti pula itu sebagai kemajuan, the nature of progress.

‘Contoh kasus’ yang diduga sik-J atau dalang-dalangnya sengaja ‘merawat’ isu kontroversial yang semestinya dengan mudah selesai: tunjukan ijazah asli, tetap harus direspon, bahkan jika perlu dengan ‘tingkat kegaduhan’ yang sama. Dalam sebuah ruangan ketika audiens sibuk bicara sendiri, kadang palu di atas meja perlu dipukul keras-keras. Yang membedakan adalah, dalam kegaduhan itu tetap selalu mengarah pada penguakan hal-hal mendasar. Dan salah satu narasi penguakan yang penting adalah sains dan ilmu pengetahuan, sebagai ‘lawan’ dari taktik olah emosi olah gerombolan yang selalu dikedepankan kaum sontoloyo itu. Sains dan ilmu pengetahuan yang juga sekaligus mengenalkan sol ‘batas’. Bukankah sains itu berkembang karena adanya ‘batas’? ‘Batas-batas’ yang terus saja dimajukan sesuai dengan perkembangan sains itu sendiri. Tentu ini tidak mudah karena khalayak kebanyakan itu lebih mudah ‘terbakar’ karena olah emosi dari pada olah pikir. Maka kata kuncinya memang ‘stamina’, karena bagaimanapun pasti ada yang akan diterima dan ngendon sebagai ‘pengetahuan tersembunyi’ yang siapa tahu pada suatu saat nanti dengan adanya satu hal atau katakanlah katalis, ‘pengetahuan tersembunyi’ itu tiba-tiba saja mulai bekerja dengan modus know-how. Seperti dulu pernah bisa naik sepeda, sekarang tiba-tiba saja bisa naik sepeda lagi tanpa harus membuka-buka manual atau buku petunjuk tentang naik sepeda.

Akan selalu ada gerombolan sontoloyo yang dengan tanpa beban maunya merusak-membunuh jiwa republik, dan itu mesti dilawan. Tanpa lelah. *** (25-11-2025)