1825. Saat Klaster Berpikir Roboh
12-12-2025
Lembaga keberpikiran itu bagaimanapun juga butuh prakondisi politis, teknis, dan sosial. Paling tidak. Dengan itu pula ‘lembaga keberpikiran’ itu menjadi lembaga yang terdukung. Sebagian besar hidup kita dijalani dengan modus ‘tidak berpikir’, atau katakanlah taken for granted saja. Makanya kita juga bayar pajak. Pajak dalam bermacam bentuk yang dikumpulkan dari warga negara itu salah satunya untuk membangun ‘lembaga keberpikiran’ ini, melalui tangan-tangan sik-pengumpul pajak. Dengan segala aparatus di tangan termasuk modal uang dari pajak, semestinya negara tidak dikelola dengan modus taken for granted saja. Maka dari sini saja kita bisa melihat betapa jahat dan tak tahu diri rejim sebelum ini, sepuluh tahun terakhir, yaitu ketika mereka bahkan sambil pecingas-pecingis dan jogetan merobohkan klaster keberpikiran ini. Terlalu banyak bukti bagaimana republik memang dengan sengaja dijauhkan dari upaya membangun ‘lembaga keberpikiran’ ini. Mereka membuat ‘bodoh’ warga negara justru dengan uang pajak yang dikumpulkan dari warga negara. Tidak tahu diri, dan memang: rejim iblis. Bagaimana tidak iblis jika sudah dengan tanpa beban lagi ‘membunuh’ yang menghidupinya, ‘membunuh’ yang melahirkannya. Apa ada yang lebih iblis dibanding dengan membunuh ibu (pertiwi)?
Jika kita membuat daftar siapa saja pejabat publik yang asal mangap asal njeplak nir-empati terkait dengan bencana banjir di Sumatera hari-hari ini, nampak dengan telanjang mereka adalah bablasan ‘logika’ rejim iblis terdahulu. Dan rejim sekarang ini seakan tanpa daya terus memelihara figure-figure seperti itu. Maka jangan kaget jika pada titik tertentu khalayak kebanyakan akan menghayatinya sebagai: apa bedanya dengan rejim iblis terdahulu? Apa akibat dari ketidakberpikiran ini, terutama di kalangan pejabat publik? Kita bisa kembali melihat istilah Hannah Arendt pasca Perang Dunia II: banality of evil, yang sumber utamanya adalah juga ketidakberpikiran itu. Lalu siapa korban holocaust-nya dalam hal ini? Khalayak kebanyakan, warga negara sik-pembayar pajak! Ada sekelompok kecil warga negara: pejabat-pejabat publik, dengan ketidakberpikirannya telah membuka diri bagaimana laku evil itu menjadi banal, dan sasaran kegilaannya adalah warga negara rakyat itu sendiri, siapapun itu. Mereka -para ‘pangeran’ itu, juga telah mendefinisikan diri sebagai ‘bangsa atau kelompok unggul’, ‘unggul’ karena mempunyai sumber daya uang berlimpah. ‘Unggul’ karena mempunyai ‘hak istimewa’ untuk menumpuk kekayaan melalui cara korupsi, merampas sumber daya alam, menjual jabatan, kong-ka-li-kong, pat-gu-li-pat, dan banyaaak lagi. ‘Unggul’ karena juga merasa tak tersentuh hukum. Unggul yang semu karena itu hasil olah-eksploitasi hasrat atau insting tidak sadarnya, dalam hal ini: hasrat akan uang. Kegilaan akan uang yang berujung meminggirkan keberpikiran dengan semena-mena: telak, dan dengan itu akhirnya membuka pintu terhadap banality of evil.
Lalu siapa SS (Schutzstaffel)-nya? Yang utama adalah siapa saja yang bekerja dengan ‘sandera kasus’ di tangan. Dan jangan dibayangkan bahwa ‘pasukan khusus’ ini tidak termasuk ‘raja tega’. Tidak, mereka bisa bekerja dalam rentang kekejaman tanpa batas, termasuk ancaman pembunuhan sekalipun. Tentu sebelumnya ancaman pembunuhan karakter lebih dahulu. Kejam, paling tidak dapat dilihat bagaimana mereka mengacak-acak penegakan hukum. Semau-maunya. Dan bekerja dalam senyap. Maka bermacam bacot dari pejabat publik yang asal mangap, asal njeplak nir-empati terkait bencana banjir di Sumatera itu sebenarnya adalah juga salah satu puncak gunung es dari praktek (bablasan) fasisme. Yang akan diteruskan? Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana ketika fasisme itu berkembang dalam negara yang berposisi sebagai ‘pakta dominasi sekunder’? Siapa saja yang akan menikmatinya, termasuk yang ada di ‘pakta dominasi primer’ itu? Jangan-jangan ada varian baru dari fasisme: fasis-kacung! *** (12-12-2025)
