1805. Monster, Fakta Potensial dan Fakta Faktual

04-11-2025

Monster adalah serapan bahasa asing, yang pada tahun 1550-an berarti juga sebagai "person of inhuman cruelty or wickedness, person regarded with horror because of moral deformity".[1] Dari berbagai aspek, profil, sudut, dan banyak lagi, bisa dikatakan setiap manusia pastilah akan menggendong potensi untuk menjadi monster. Siapapun itu. Hannah Arendt dengan konsep banality of evil dan percobaan Stanley Milgram setelah itu menunjukkan bahwa siapa saja dapat menjadi seorang monster. Maka masalahnya, apa ‘syarat-syarat kemungkinan’ sehingga fakta potensial monster dalam diri itu bisa berkembang menjadi fakta faktualnya? Dari hanya melihat berbagai perkembangan dalam perkembangan penggunaan bahasa, kita bisa melihat bahasa bisa menjadi salah satu factor penting dalam memberikan ‘syarat kemungkinan’ monster dalam diri sebagai fakta potensial itu, apakah nantinya akan berkembang menjadi fakta factual atau tidak, Atau menjadi terkendali dalam bermacam tingkatannya.

Atau kalau kita memakai istilah George Lakoff, pada dasarnya dalam diri sudah ngendon sebuah deep frame terkait dengan ‘monsterisasi’ diri itu. Surface frame adalah frame yang akan mendapat tempat digantungkannya dalam deep frame. Menurut Kant, syarat-syarat kemungkinan pengetahuan adalah ketika adanya interaksi antara data inderawi dari luar dan kerangka konseptual yang sudah dimiliki subyek dalam dirinya. Kesadaran dalam Fenomenologi berarti juga adalah soal keterarahan (intensinoalitas) dan juga soal bagaimana sesuatu itu menampakkan atau memberikan diri, yang mungkin saja itu merupakan data-data inderawi yang sampai atau bertemu dengan (keterarahan) kita. Masalahnya, sesuatu itu tidak akan pernah memberikan dirinya secara lengkap. Sebuah kubus misalnya, tidak akan pernah memberikan data-data inderawi penglihatan pada kita secara utuh sebagai kubus, mungkin saja sebagai jajaran genjang. Di satu sisi, keterarahan kita itupun tidak lepas dari ‘kerangka konseptual’ tentang kubus yang mungkin saja sudah lama ngendon dalam kesadaran kita. Dan dengan keserta-mertaan, sesuatu yang memberikan dirinya sebagai jajaran genjang itu dapat segera saja kita hayati sebagai kubus.

Fokus tulisan ini adalah soal peran ‘relawan’ yang paling tidak selama lebih dari 10 tahun terakhir terus saja tanpa henti mewarnai dinamika perpolitikan repubilk. ‘Relawan’ yang tidak hanya seliweran dalam rentang waktu ‘merebut kuasa’ tetapi juga ternyata saat ‘penggunaan kuasa’, yang menurut Machiavelli soal ‘merebut kuasa’ itu bisa saja sangat berbeda dengan saat ‘penggunaan kuasa’. ‘Relawan’ yang lebih dari 10 tahun terakhir ini lebih menampakkan diri sebagai yang tanpa henti melantunkan puja-puji dan melakukan pembelaan membabi-buta. Pertanyaannya, apa akibat dari bombardier ‘data-data inderawi’ berupa puja-puji dan pembelaan membabi-buta ini, terutama bagi penguasa? Atau sosok yang sedang memegang kekuasaan (ter)tinggi? Jadi, tidak hanya soal dampak pada khalayak kebanyakan. Hal yang sungguh sebaiknya kita perhatikan terlebih dengan semakin terkuaknya penyelidikan sains terkait mirror neuron system. Bahkan Machiavellipun memperingatkan soal penjilat-penjilat di sekitar kekuasaan.

Apakah Hitler menjadi Hitler ‘seperti itu’ adalah salah satunya akibat adanya ‘relawan’ yang berperan sebagai petugas tata tertib ketika rapat umum dilakukan saat itu, dan dikemudian hari berkembang menjadi sayap polisi rahasia Nazi? Dan menjadi kekuatan utama Nazi? Dengan penuh puja-puji tidak hanya secara verbal dan bahasa tubuh di depan hidung Hitler, tetapi juga melakukan pembelaan membabi-buta terhadap Hitler? ‘Relawan’ yang juga bisa berarti ‘rela berkerumun’ di sekitar Hitler? Apalagi telah berkembang dalam diri Hitler terkait konsep Ubermensch dari Nietzsche yang mungkin saja salah penghayatan itu? ‘Monsterisasi merangkak’ yang ujungnya menjadikan Hitler ‘seperti itu’? Bermacam hal tentu ikut menambahkan pengaruh termasuk pengalaman ikut Perang Dunia I komplit dengan segala dimensi kekalahannya, dan beban ekonomi ikutan akibat kekalahan itu. Di satu pihak seperti sudah disinggung di atas, setiap manusia memang sudah ada juga ‘bakat’ untuk menjadi monster.

Dari pengalaman bertahun terakhir ini, adanya ‘relawan’ saat penggunaan kuasa sungguh bisa dilihat ‘kontribusinya’ dalam mendorong segala carut-marut perpolitikan republik. Juga termasuk bermacam kerumunan yang diorkestrasi di sekitar pemimpin. Seakan pemimpin dihampiri stimulus puja-puji tiada henti, dan juga stimulus tertentu dari bermacam pembelaan membabi-buta. Termasuk survei-survei bayaran untuk menjungkir-balikkan realitas. Atau sulapan angka-angka statistik. Akhirnya kenyataan dari kerja-kerja-kerja itu dalam praktek menjadi uang-uang-uang. Semua bisa dibeli dengan uang, termasuk ‘relawan’. Tak mengherankan pula soal aliran puja-puji ini terus saja mengalir, tanpa beban lagi. Termasuk pembelaan membabi-buta. Demi uang maka banyak pihak mau melakukan apa saja.

Puja-puji atau pembelaan membabi-buta bagaimanapun juga hadirnya tidaklah tergantung kita, pada umumnya. Dan jika itu yang terjadi maka menjadi penting untuk melihat lagi apa-apa yang tergantung kita. Dan itu adalah respon atau sikap kita terhadap sesuatu itu, dalam hal ini puja-puji atau pembelaan membabi-buta. Kita melihat misalnya semakin banyak saja puja-puji atau pembelaan terhadap Menteri Purbaya, misalnya. Tidak masalah apakah itu tulus-ikhlas, atau sudah sampai pada ‘tahap membabi-buta’, masalahnya apa respon atau sikap Purbaya dalam hal ini? Apa yang mau dikatakan di sini, tetaplah: focus, focus, focus. Tentu pujian boleh didengar, tetapi harus selalu diingat bahwa kritik atau masukan jelas lebih perlu untuk didengar. Menjadi focus dalam satu hal tentu tidak berarti menjadi tidak mau mendengar, apapun itu yang menghampiri atau memberikan dirinya. Tetapi juga hati-hati jika tiba-tiba saja ada massa berkerumun dan mengelu-elukan, bahkan sampai minta tanda tangan segala. Bukan soal paranoid, tetapi sebagai pejabat publik, janganlah sampai ‘dididik’ oleh kerumunan. Bahkan lebih buruk lagi, segala kerumunan di sekitar itu justru sedang ‘membunuh’-nya, dan itu bukan karena ia tidak tepat dalam merespon misalnya, tetapi ‘glorifikasi’-nya bisa-bisa akan dihayati oleh pihak lain sebagai ‘ancaman’, termasuk atasannya. Bagaimana itu kemudian bisa-bisa dimainken dan ‘dijungkir-balikkan’ di depan atasannya, misalnya. Atasan yang seperti manusia lainnya, menggendong potensi juga berkembang menjadi sosok monster. Repot memang. *** (04-11-2025)

[1] https://www.etymonline.com/word/monster

1806. Bumi Makin Panas

05-11-2025

Sekitar dua puluh tahun lalu, keluhan tentang panas muncul di titik 32 derajat celcius. Sekarang? Hari-hari ini 35 derajat rasanya sudah sehari-hari. Bumi makin panas bukan sekedar judul film, tetapi sudah menghampiri diri sehari-hari. Dan tidak hanya soal manusia, tetapi perilaku alampun sudah berubah. Kedaruratan iklim bukanlah isapan jempol belaka. Nyata, baik hadir dalam berita atau langsung masuk lewat pori-pori kulit. Atau terjangan banjir. Apakah kita sedang masuk dalam ‘keseimbangan baru’? Keseimbangan siapa? Apakah alam tidak dimasukkan sebagai variable ‘penyeimbang’ juga? Ada geopolitik, geoekonomi, dan mestinya ada geoekologi.

Bumi makin panas akan dihadapi oleh semua saja, di republik dari Sabang sampai Merauke. Dan semestinya itu menjadi perhatian semua saja, terlebih para pemangku kebijakan. Terlalu banyak ketidak-pastian di depan mata yang semua itu menunggu respon tepat dari para pemangku kebijakan. Maka sangat wajar di tengah segala ketidak pastian yang dihadapi para pembayar pajak mereka menjadi ‘mudah marah’ ketika siapa saja yang terlibat dalam pembuatan kebijakan malah jogat-joget sambil pecingas-pecingis di depan publik. Di tempat dimana kebijakan publik ikut diputuskan. Juga laku asal mangap, asal njeplak, asal ancam, gegayaan main citra di tengah kerumunan, dan laku-laku medioker lainnya. Maka tidak salah jika pembayar pajak membayangkan, para pemangku kebijakan itu betul-betul serius dalam menghadapi tantangan. Cari penghasilan susah, cari pekerjaan susah, eh para pembuat kebijakan pethakilan tanpa empati, tanpa beban. Lupa bahwa saat ini sedang dalam ruang diantara cita-cita republik dan bermacam tantangan di depan mata. Konyolnya, dalam waktu bersamaan lupa bahwa bermacam keterbatasan sedang melilit republik.

Dari hal-hal di atas, dapat dipahami bagaimana semakin merebak kemuakan terhadap mantan presiden Joko Widodo yang secara telanjang masih menampakkan diri banyak ikut campur dalam pemerintahan baru. Juga terhadap Gibran yang justru sering menampakkan diri sebagai bagian pemangku kebijakan yang tidak kompatibel terhadap perkembangan situasi. Maka banyak kalangan yang merasakan bagaimana ugal-ugalannya rejim terdahulu itu seakan terus saja melanjut meski sudah ganti pemerintahan. Ketidak prudence-an seakan masih menggelayuti langkah republik dalam mengantisipasi bermacam tantangan yang terus saja semakin sulit diprediksi. Padahal dalam bayangan khalayak kebanyakan, pemerintahan baru itu berarti juga harapan baru. Apakah republik nantinya tidak hanya merasakan bumi yang semakin panas, tetapi justru malapetaka ketika ‘bumi sungguh menjadi terbakar’? Apalagi berbagai ‘kesepakatan global’ tentang ‘hal-hal baik’ kita bisa melihat dari bermacam berita telah banyak dilanggar. Bahkan dicampakkan. Crimea dan bagian timur Ukraina sudah dicaplok Rusia dengan segala kehancurannya. Demikian juga Gaza. Akankah hal serupa bisa terjadi di republik?

Sebenarnya tulisan ini direncanakan ditutup pada titik ini, tetapi berita soal sikap presiden terkait dengan carut marut kereta api cepat membuat tulisan ini dilanjutkan dengan permainan. Permainan ‘jika aku presiden’. Apa yang mesti aku lakukan pada titik sekarang ini? Tetapi sebelumnya ada yang ingin aku sampaikan: apa mesti aku jelaskan secara terang benderang mengapa perlu diperkuat angkatan perang kita? Bukan karena aku mantan serdadu, tetapi jelas mata ‘awam’-pun akan atau bahkan telah melihat ujung penyelesaian konflik hari-hari ini, perang telah menjadi salah satu pilihan favorit. Sayang memang, tetapi faktanya begitu, apapun alasan pilihan perang dipilih. Putin memakai alasan ‘alasan kesamaan bahasa’ untuk menyerang Ukraina. Gombal memang, tetapi tetap saja dilakukan. Dan tetap merasa sah-sah saja. Maka suka atau tidak, memperkuat angkatan perang adalah salah satu ‘gertak’ yang mesti dilakukan.

Aku tahu persis bagaimana pemerintah yang ada dalam komandanku sekarang ini tidak hanya terlalu gemuk tetapi juga banyak menteri yang tanpa sungkan seakan mempunyai ‘dua tuan’. Menjengkelkan memang, tetapi tidak mudah melawan jaringan kuasa yang terbangun selama 10 tahun. Tidak mudah, terlebih ini adalah ‘jaringan kacung’ dari salah satu kekuatan besar geopolitik global yang ada sekarang ini. Perkacungan ini membuat orang-orang seperti itu mau melakukan apa saja. Apa saja karena mereka sudah tidak punya kehormatan lagi. Bahkan menusuk dari belakang jika itu diperintahkan oleh tuan yang lain maka itu akan segera dilaksanakan, dengan tanpa beban lagi. Mereka-mereka itu tidak peduli lagi jika apa yang sedang diperankan sekarang itu akan menghancurkan republik atau tidak. SUDAH TIDAK PEDULI. Dasar pengkhianat republik, saudara-saudaraku.

Tidak mudah melawan orang-orang sekitar, para pengkhianat republik yang sudah nekad karena jika mereka kalah maka nyawa atau masa depan mereka akan gelap total. Maka saudara-saudaraku, mengapa aku memutuskan carut-marut kereta api cepat itu menjadi tanggung jawabku? Tidak mudah melawan komplotan perkacungan ini, dan hanya waktu sekarang harapanku. Aku sungguh berharap kasus ijazah palsu dan surat keterangan kesetaraan abal-abal itu dapat diselesaikan dan mampu memotong kepala local jaringan perkacungan ini. Dan sayangnya saudara-saudaraku, semakin lama penyelesaian dua kasus itu maka waktu bisa-bisa tidak berpihak lagi padaku. Belum lagi yang pegang senjata belum seratus persen kendali ada padaku. Repot memang.

Saudara-saudaraku, kalau aku mengambil alih tanggung jawab kereta api cepat itu lebih pada soal keuangannya. Tentu ini akan memancing kontroversi, tetapi yang sudah terjadi harus tetap dihadapi dengan segala pertimbangannya. Dan resikonya. Tetapi aku tidak pernah mengatakan bahwa tanggung jawab hukum karena adanya penyelewengan wewenang, aku ambil alih juga. Tidak pernah aku mengatakan itu. Silahkan jika ada temuan, mari kita basmi bersama. Demikian saudara-saudaraku. Merdeka! *** (05-11-2025)