1835. People Power Di Tengah Dua Matahari
28-12-2025
"A pure democracy may possibly do, when patriotism is the ruling passion; but when the State abounds with rascals, as is the case with too many at this day, you must supress a little of that popular spirit." (Surat Edward Rutledge ke John Jay, 24 November 1776)[1]
People power bisa dibayangkan kurang lebihnya ada dalam ranah supress a little of that popular spirit, meski sebenarnya tetaplah itu (people power) mesti diyakini sebagai bagian dari demokrasi juga. Hanya saja menampakkan diri di luar ‘prosedur normal’-nya. Ketika berurusan dengan ‘gerakan orang banyak’ memang harus hati-hati. Bukan masalah akan ditunggangi atau tidak, tetapi ketika massa terbentuk sering muncul ‘kekaburan-kekaburan’ tersendiri. Maka sejak awal memang harus jelas siapa saja sik-rascals-nya, sik-sasaran utama people power. Apalagi dalam situasi dengan ‘matahari kembar’ yang seakan bersinar sama terangnya. Dimana kebanyakan para rascals itu lebih banyak bersembunyi? Di balik ‘matahari A’ atau ‘matahari B’? Tentu ini ada nuansa ‘spekulasi’, tetapi ini juga soal mana yang masih bisa diharapkan dan yang sama sekali tidak. Soal harapan tersisa, dan satunya: yang sudah terbukti bertahun-tahun justru sebagai ‘pembunuh harapan’, khas salah satu karakter dari kaum rascals di ranah negara.
Keluarnya keputusan Komisi Yudisial berupa sangsi terhadap hakim-hakim sidang Tom Lembong dulu itu, memberikan sedikit harapan terkait dengan perbaikan lembaga peradilan. Keputusan sangsi itu keluar setelah Komisi Yudisial baru dilantik sekitar awal Desember lalu. Tetapi kita juga bisa membayangkan apa-apa di belakang mengapa para ‘bintang’ dan juga yang sudah purnawirawan di BNPB itu misalnya, terkait dengan bencana banjir di Sumatera, bicaranya seakan di luar harapan normalnya warga negara. Mulai dari “itu hanya mencekam di medsos, tak ada penggundulan hutan, listrik sudah menyala, sampai dengan ‘himbauan’ supaya memberitakan atau mengunggah hal-hal baik saja”. Bahkan termasuk yang berpangkat kapten itu (cat. sudah naik pangkat, bukan kapten lagi, cuk). Jika membayangkan hitung-hitungan ‘kekuatan kekerasan’, apa yang menampakkan diri melalui ujaran-ujaran ‘para bintang’ di atas, sedikit banyak kita bisa membayangkan bahwa ‘kekuatan kekerasan’ itu belumlah sepenuhnya di tangan ‘panglima tertinggi’-nya. Apalagi jika ditambah dengan yang pegang senjata tetapi sipil itu. Yang direncanakan untuk direformasi tapi malah dengan terang-terangan ‘menantang’ di depan hidung. Bagi yang berpuluh tahun hidup dalam ‘kekuatan kekerasan’ hitung-hitungan seperti itu tidak hanya penting dan sentral, pastilah juga akan cukup menggetarkan. Tetapi apakah kemudian kita menjadi maklum-maklum saja? Yang pasti, apapun itu yang namanya kesabaran tentu ada batasnya.
Siap mati untuk rakyat tentu kata-kata yang menggetarkan. Bahkan akan dengan spontan mengundang tepuk tangan. Tetapi bagi khalayak kebanyakan, bukan ‘kematian heroik’ yang ditunggu, tetapi lebih pada apa keputusan, tindakan yang kalau itu dilakukan memang mempunyai resiko kematian semakin mendekat. Bagaimanapun kematian itu adalah sebuab kepastian, mau heroic atau tidak, tetapi yang lebih penting adalah apa keputusan dan sikap di depan kematian itu. Sebelum kematian menjemput -entah kapan itu, bermacam kemungkinan terhampar di depan mata, mana yang akan dipilih? Apakah ia memilih sebagai orang bebas, misalnya? Maka jika ‘siap mati untuk rakyat’ belajarlah dari seorang ibu, ia ‘siap mati’ untuk sebuah kelahiran baru. Pertanyaannya adalah, apa yang diputuskan dan dijalankan demi sebuah ‘kelahiran baru’ di ranah negara? Bagi Hannah Arendt, politik merupakan interaksi dari manusia-manusia bebas, dan dengan segala kapasitas dirinya ia bersama-sama lainnya menyingkap apa yang tersembunyi: potensi untuk sebuah kelahiran baru. Dan itulah esensi dari demokrasi sebenarnya.
Di atas disinggung pentingnya sangsi dari KY terhadap hakim-hakim persidangan Tom Lembong, mengapa? Karena dalam salah satu pilar rejim sontoloyo terdahulu, sandera kasus, peradilan menempati posisi sentral. Salah satunya melalui ‘ancaman’ dari lembaga peradilan. Tetapi ini baru separuh kebenaran, separuhnya itu adalah penegasan bahwa ‘ia’ adalah sik-godfather. Mafia yang siap memberikan perlindungan (dan diganti dengan kesetiaan), termasuk lembaga peradilan yang selalu siap dimainken dalam hal ini dan segala apparat yang terlibat dalam penegakan hukum pada umumnya. Maka kembali pada pertanyaan di atas, people power itu ‘menyasar’ pada ‘matahari’ yang mana? Yang dengan segala upaya justru sudah terbukti menolak sebuah kelahiran baru? Status quo? Status quo yang jelas semakin nampak terus saja membunuh harapan dengan tanpa beban lagi, sambil pecingas-pecingis itu, terutama terhadap generasi mudanya? *** (18-12-2025)
[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/304-Surat-Edward-Rutledge-ke-John-Jay-24-Nov-1776/
